-22-

18 2 0
                                    

Di sinilah Zia kini berada. Ia duduk termenung di kursi ruang tamu. Ingin melakukan sesuatu, tapi mustahil untuk dilakukannya. Ia merasa seperti tak ada gunanya.

"Bi..." Zia memanggil Bi Asih yang mungkin saat ini masih berada di dapur.

"Iya Non." Sahut Bi Asih dengan berjalan tergesa-gesa.

"Duduk sini, Bi."

Bi Asih ragu dengan permintaan Zia. Ia diminta untuk duduk di kursi itu. Di sini, ia adalah sebagai pembantu bukan majikan.

"Bibi duduk di bawah aja, Non."

"Duduk sini, Bi." Ucap Zia dengan menepuk-nepuk kursi bagian kosong di sebelahnya.

Bi Asih yang mendapatkan perintah dari Zia, mau tak mau harus menurutinya. Bi Asih duduk di samping Zia, "Non Zahra kenapa? Kok mukanya lesu gitu?" Tanya Bi Asih.

Zia menghela nafasnya. Ia menutup matanya lalu membuka matanya kembali. Tanpa aba-aba, ia menidurkan kepalanya di atas paha Bi Asih. Bi Asih yang terkejut dengan perlakuan Zia langsung membuka mulutnya.

"Biarin Zahra gini dulu, Bi." Potong Zia.

Bi Asih hanya bisa menuruti kemauannya. Kepala Zia yang berada di pangkuan Bi Asih memintanya untuk mengelus kepalanya. Bi Asihpun melakukannya. Zia merasakan sentuhan lembut Bi Asih. Sangat persis seperti elusan tangan Bundanya.

"Bibi pernah gak ngalamin sesuatu yang menyakitkan? Sampai-sampai Bibi gak kuat buat nyelesain masalah itu? Dan akhirnya nyerah gitu aja?" Tanya Zia tiba-tiba.

Bi Asih mengangguk, "semua manusia di dunia ini pasti selalu punya masalah, Non. Ya namanya juga hidup, gak ada kehidupan yang selalu berjalan mulus, pasti ada aja masalah yang datang."

"Kalo kita gak kuat? Kita berhak nyerah kan, Bi?"

Bi Asih menggeleng, "Tuhan gak akan kasih cobaan melebihi kemampuan hambanya, Non. Kalau masalah itu terus terjadi, berarti kita sanggup buat hadapi."

"Tapi Zahra engga, Bi. Zahra gak kuat...hiks" Zia menangis. Bi Asih yang melihat itu langsung mendudukan Zia, "Non Zahra kenapa? Maafin Bibi ya, Non. Bibi gak bermaksud nyakitin hati, Non." Ucap Bi Asih memohon.

Zia menyeka air matanya, "Bibi gak salah. I-ini semua takdir Zahra. Zahra di takdirkan sendiri dalam kebutaan. Zahra di takdirkan masuk ke jurang kegelapan, Bi. Hiks...Gak ada orang yang mau selamatin Zahra. T-termasuk Ayah...hikss." Zia menangis tersedu-sedu meluapkan semua isi hatinya yang selama ini di pendamnya sendiri.

Bi Asih terkejut dengan perkataan yang di lontarkan anak majikannya itu, "stts Non Zahra gak boleh ngomong gitu, Non. Ayahnya Non Zahra baik banget. Non Zahra juga gak sendiri. Ada Bibi, Nyonya, Tuan, dan Den Alvaro juga."

Deg

Seketika air mata Zia tak terbendung lagi. Air matanya keluar begitu saja saat Bi Asih mengucapkan nama itu. Nama yang dulu selalu ada menemaninya, membuatnya jatuh ke hatinya. Tapi sekarang, nama itu juga yang membuatnya seperti ini. Ia sendiri, tak ada lagi seseorang yang selalu berada di sampingnya.

"Dia bukan siapa-siapa Zahra lagi, Bi. Hikss...Zahra sendiri, Zahra..."

Brukk

Zia terjatuh pingsan. Bi Asih terkejut tatkala melihat Zia jatuh tergeletak secara tiba-tiba. Bi Asih bingung harus melakukan apa.

"Pak Agus!!" Pak Agus datang saat mendengar teriakan histeris dari Bi Asih yang berada di dalam rumah. Betapa terkejutnya Pak Agus saat melihat Zia tergeletak di lantai yang dingin.

"Non Zahra kenapa, Bi?" Tercetak raut khawatir di wajah Pak Agus. Bi Asih menggeleng sebagai jawaban. Ia juga tak tahu kenapa Zia tiba-tiba jatuh pingsan.

Pak Agus langsung mengangkat Zia dan memasukkannya ke dalam mobil. Pak Agus dan Bi Asih akan membawanya ke rumah sakit dan segera mengabari kedua orangtua Zia untuk mengetahui keadaannya.

***

"Gue suka sama lo, Zi. Gue sayang sama lo. Gue bisa kasih semua rasa sayang gue ke lo lebih besar daripada..." ia menggantungkan ucapannya. Ia menyesal. Sangat menyesal. Bagaimana bisa, ia harus merelakan seseorang yang harus kembali dengan orang itu.

"Gue harus lakuin sesuatu." Ucapnya lalu pergi meninggalkan tempat.

***

Tibalah Pak Agus membawa Zia ke rumah sakit. Ia mengangkat Zia keluar dari mobil dan berlari sekuat tenaga untuk menghampiri dokter.

"Dokter!!"

"Ini ada apa pak?" Tanya Dokter Rangga. Ia melihat keadaan wajah Zia dengan kening mengerut. Mata yang sembab, ada bekas air mata yang masih menempel di pipinya.

"Kenapa sama Zia?" Tanya Dokter Rangga lagi. Bi Asih menggeleng, "saya tadi sama Non Zahra lagi ngobrol dok. Tapi tiba-tiba Non Zahra jatuh pingsan." Ucap Bi Asih dengan keadaan berderai air mata.

Dokter Rangga mengangguk, "suster! Cepat bawa pasien ke ruangan!"

Zia telah masuk ke ruangan. Bi Asih dan Pak Agus hanya bisa menunggu di ruang tunggu saja. Mereka dilarang masuk karena dapat mengganggu konsentrasi dokter untuk mengetahui keadaan pasien.

"Pak Agus uda b-bilang ke Nyonya sama Tuan?" Bi Asih melihat Pak Agus yang sedari tadi mondar-mandir. Pak Agus yang merasa dirinya di panggilpun menoleh.

"Belum, Bi. Sekarang?" Tanyanya dan mendapat anggukan dari Bi Asih. Terlihat jari-jari Pak Agus yang memencet tombol-tombol nomor di ponselnya.

Berbeda dengan Bi Asih yang terlihat gelisah karena dokter Rangga belum juga keluar dari ruangan. Ada apa ini Tuhan?

"Gimana Pak? Nyonya sama Tuan mau kesini?" Pak Agus mengangguk sebagai jawaban. Karin dan Bara akan sampai disini sekitar satu jam lagi. Terdengar suara khawatir saat Pak Agus menelpon Bara. Mereka khawatir dengan keadaan putri semata wayangnya.

Satu jam setelah mereka menunggu, akhirnya dokter Rangga keluar dari ruangan. Bertepatan dengan itu, kedua orangtua Zia juga datang dengan tergesa-gesa. Karin yang baru datang langsung menghampiri Bi Asih.

"Zahra kenapa, Bi? Hiks...Zahra kenapa?!"

"Biar saya yang jelaskan." Karin dan Bara menoleh menatap dokter Rangga. Karin menghampirinya dan menyuruh dokter Rangga untuk menjelaskannya.

"Ikut saya ke ruangan. Saya akan jelaskan semuanya di sana." Ucap dokter Rangga lalu berjalan mendahului mereka.

***

"Gue tau gue salah. Tapi kenapa lo kayak gak akan maafin gue, Zi? Apa sebegitu bencinya lo sama gue?" Alvaro bercermin menatap pantulan dirinya sediri. Ia seperti orang gila yang tak tahu harus berbuat apa.

"Andai gue bisa putar waktu kembali, mungkin semuanya gak bakal kayak gini. Gue...nyesel."

Alvaro duduk di tepi ranjangnya. Ia mengambil ponselnya dan membuka aplikasi galeri. Senyumya megembang saat ia melihat salahsatu foto Zia.

Disini terlihat wajah Zia yang menampilkan senyum bahagianya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Disini terlihat wajah Zia yang menampilkan senyum bahagianya. Kini entah gadis itu masih menampilkan senyumnya ataukah tidak. Membayangkan hal itu, membuat hati Alvaro seakan di cubit.

"M-maafin gue..."

***

TBC!

Slow update:(

ZiaranderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang