-21-

27 2 0
                                    

Kini adalah saatnya Alvaro pergi ke sekolah. Sesuai dengan janjinya, ia akan memberi tahu ketiga teman-temannya tentang pembicaraan di cafe kemarin. Sepertinya ia sudah siap untuk menceritakannya. Lagian, tak ada gunanya juga memendam perasaan itu sendiri, toh mereka bertiga yang menyuruhnya untuk menceritakan ini semua.

Alvaro melihat dirinya dari tampilan cermin. Tubuhnya sedikit kurusan. Mungkin karena ia sehabis sakit, dan Alvaro tak menginginkan itu terjadi kembali. Semuanya terjadi karena ia ingin menyelamatkan kekasihnya.

Alvaro menggeleng, "dia bukan pacar gue lagi."

Alvaro menghembuskan nafasnya. Ia masih saja memikirkan gadis itu. Gadis yang selama ini telah mencuri hatinya. Tak ingin memikirkan hal itu lebih panjang, ia mengambil tas dan melangkah keluar kamar.

"Bi ..." panggilnya dari tangga. Ia menoleh ke setiap sudut ruangan. Tak ada siapapun disini.

"Iya den." Sahut Bibi sambil berjalan dari arah dapur.

Mata Alvaro mencari seseorang di segala penjuru ruangan. Kemana perginya semua orang? Kenapa rumah sebesar ini seperti rumah kosong.

"Ayah Bunda kok belum pulang, Bi?" Tanyanya dengan alis sedikit terangkat.

"Itu den, anu--eum--itu--Tuan sama Nyonya pergi lagi. Tadi sempet pulang, tapi katanya mau berangkat ke London. Perusahaan Tuan Dirga katanya di salah gunakan sama sekertarisnya." Ucap pembantu itu gugup.

'Ayah sama Bunda lebih pentingin perusahaan ketimbang gue yang jelas-jelas baru sembuh?'- Batin Alvaro kecewa.

Inilah yang tidak disukai Alvaro kepada kedua orangtuanya. Pulang lalu pergi lagi. Hal yang selalu di rasakan olehnya. Bundanya memang sayang padanya, tapi itu ia rasakan saat Bundanya berada di sampingnya, setelah Bundanya pergi, Alvaro tak merasakan itu lagi.

Ayahnya yang selalu sibuk dengan perusahaannya, sampai-sampai tak peduli dengan keadaan anaknya sendiri. Alvaro bukan manja! Ia hanya ingin diperhatikan. Tak ada pasal-pasal yang melarang seorang anak lelaki untuk minta diperhatikan oleh kedua orangtuanya. Ia diperhatikan, jika ia terkena musibah besar. Jika ia tak mengalami sesuatu yang menyakitkan, apakah kedua orangtuanya itu ada di sampingnya?

Tak ingin membuat hatinya merasa lebih sakit, ia akhirnya menyambar kunci motor dan pergi tanpa sepatah katapun.

***

"Kemana tuh anak. Katanya mau cerita, tapi dia sendiri yang kaga nongol-nongol." Gerutu Wisnu dengan tangannya yang sibuk menepuk meja.

"Mending main game sama gue. Tapi ini gue mainin game apa coba, susah bener." Sahut Rayya.

Tanpa aba-aba, Wisnu yang berada di sampingnya melempar satu botol kosong yang berada di hadapannya. Bisa-bisanya anak yang satu ini, mungkin dunianya tak ada lagi kecuali dunia game!

"Sakit tau!" Rintihan yang di ucapkan Rayya membuat Noval terkekeh pelan.

Inilah yang membuat hubungan persahabatannya terjalin hingga sampai saat ini. Mereka semua memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Mereka tak minder, justru kekurangan itu yang membuat hubungan mereka semakin erat.

"Gausah berantem. Entar pada suka, mampus lo!"

Ucapan itu membuat mereka bertiga menoleh. Dan ternyata seseorang yang ditunggu-tunggupun datang. Alvaro berjalan dengan santainya, padahal disini teman-temannya sudah menunggu lama.

"Baru dateng lo!" Sarkas Rayya.

Alvaro menanggapinya dengan senyuaman lebar, "sorry, tadi gue kebelet, mangkannya telat." Ucapnya berbohong.

ZiaranderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang