Obsession 38

3.4K 371 32
                                    


Gulf menutup mulut dengan kedua tangannya, tidak percaya apa yang sedang ia lihat saat ini... detik ini. Kehidupannya yang semula sangat monoton dan tidak bersemangat sekarang semuanya berubah dalam sekejap. Ketika ia terpuruk dalam waktu yang cukup lama dan harus berhadapan dengan sebuah perubahan yang begitu besar bahkan mampu membuat Mild sahabatnya itu berulangkali menyaksikan atas apa yang Gulf rasakan.
 
Bagaimana rasanya ketika melangkah di atas tumpukan duri yang siap melukai telapak kaki mu dalam waktu yang lama, bertahun-tahun bersamaan dengan rasa takut dan sakit yang membuat mu sulit bernafas? Ketika sudah mulai terbisa, mendadak harus melangkah di atas untaian kapas menyeberangi jembatan pelangi. Membingungkan sekaligus menakutkan.
 
Takut apa yang baru saja berubah dan harus dialami hanyalah sebuah penyemangat sebelum kembali terjatuh dalam jurang mimpi buruk yang tiada berujung. 
 
"Oh God..."

Mild mengalihkan pandangannya, menepuk pundak belakang Gulf sebelum akhirnya memberi kode pada Mew bahwa ia harus pergi. Tidak ingin mengganggu pasangan yang tengah mabuk asmara itu. Mild keluar sambil tersenyum tipis sekaligus menghela nafas lega. 
 
"Apa kau merasa tenang?" tanya seorang wanita berambut coklat itu.
 
"Pattie?"
 
"Kalian meminjam kedai ku pada jam kerja untuk hal-hal semacam ini. Sebuah roman picisan layaknya seorang remaja."
 
Mild tertawa kecil mendengar bagaimana cara Pattie bicara. Tidak terlalu sinis tapi juga dingin. Wanita berbeda dari kebanyakan yang memiliki karismanya sendiri. Mereka sudah mengenal satu sama lain. Seperti sebuah rantai, entah bagaimana siapa pun yang berhubungan dengan keluarga emas itu maka mereka akan terhubung dengan yang lainnya. Seperti sebuah takdir atau memang dunia memang sempit?
 
"Maaf mengganggu kalian."
 
Kedua pria itu menoleh kearah asal suara. Seorang pria dengan jas dongker berdiri, bersandar pada pintu depan mobil. Ia tersenyum, sangat tampan dan mampu membuat siapapun jatuh hati dalam hitungan detik. 

"Kau menjemput kekasihmu?" tanya Pattie setengah kesal.
 
"Oh ayolah Pattie~ kau hanya tertutup dan enggan bergaul." 
 
"Mark, berhenti mengatakan bahwa aku ini anti-sosial."
 
"Kalian tidak akan bertengkar di depan sini,'kan?" sela Mild.
 
Mereka semua terdiam sebelum akhirnya Pattie memutuskan untuk pergi menuju tempat dimana mobilnya diparkir sementara itu Mark langsung merangkul Mild dari belakang dan mendorongnya lembut untuk masuk ke dalam mobil.
 
*****
 
"Kau tahu? Kau membuat ku takut dan gila."
 
Hal pertama yang Mew dengar dari bibir Gulf begitu pria itu selesai menangis haru dengan sedikit ingus yang hampir membuat wajah manisnya itu kelihatan jelek, di sela dengan sebuah keluhan. Mew tidak berharap banyak apalagi mengharapkan hal-hal romantis kekanakan yang biasa ditunjukan para remaja. Ia tahu, mereka sudah sama-sama dewasa dan bukan saatnya untuk melakukan hal-hal seperti itu.

"Memangnya apa yang kau pikirkan?"
 
"Dirimu kecelakaan atau..."
 
"Kau menginginkan aku mati, ha?"
 
"Tidak! Tentu saja tidak!"
 
Gulf tidak tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Pribadi yang selalu tegas itu berubah menjadi seorang pria yang seolah tidak bisa mengatakan apa-apa di depan orang ia cintai, penuh dengan kegugupan tidak masuk akal. Apakah ini sebuah cinta? Hanya sebuah hasrat atau ketakutan? 
 
"Cinta."
 
Pria itu mengangkat kepalanya, menatap langsung pada sepasang bola mata milik Mew yang tanpa ia sadari telah membiusnya sejak awal pertemuan mereka. Tatapan mata yang menunjukan ekspresi tidak bisa, mengundang rasa penasaran Gulf yang berakhir dengan ragam hal mengejutkan.
 
"C-cinta?"
 
"Mari kita sepakati hal itu."
 
"Sepakati?"

Mew mengangguk kemudian tersenyum tipis sebelum akhirnya berdiri dan mengulurkan tangannya. Mengusap puncak kepala pria itu dengan sayang. Gulf tidak melakukan apa-apa selain menatap pria itu, pria yang sangat ia inginkan dan tidak bisa ia lepaskan dengan cara apapun. Pria yang memutar dunianya kearah rotasi yang berbeda. 
 
"Aku memiliki sesuatu untukmu."
 
Pria itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kotak beludru kecil berwarna Grey. Ia membuka kotak itu, sebuah cincin perak dengan desain sederhana.
 
"Tidak ada permata apapun dipermukaanya, tapi ada ukiran didalamnya dan kau tahu aku tidak cukup kaya untuk..."
 
Kalimat Mew terhenti ketika Gulf berdiri dan mengecup bibirnya. Menselajarkan kaki sambil mengalungkan tangannya leher pria itu dengan erat. Ciuman kali ini begitu berbeda, tidak ada tuntutan apapun didalamnya. Hanya sebuah sentuhan lembut penuh ketulusan dan sensasi basah karena air mata Gulf. Pria itu menangis, lagi. Ia melepaskan ciumannya dan berusaha untuk tetap tenang. Mew tersenyum, meraih tangan kiri Gulf dan memasangkan cincin itu di jari manis milik Gulf.

AKU MENYIAPKAN HADIAH LIBURAN UNTUK KALIAN! TIKETNYA ADA DI MEJA KAMAR APARTEMEN MU, MR. GULF? OR SHOULD I CALL YOU MR. SUPPASIT? SEE YOU!
 
Kemudian sambungan telepon itu terputus begitu saja.
 
Gulf mematung ditempatnya dengan kesunyian yang berlangsung selama beberapa detik sebelum akhirnya tawa Mew meledak. Gulf menatap layar ponselnya mendengus pelan kemudian tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Butuh waktu untuk meredakan gelak tawa Mew sebelum akhirnya pria itu menghapus air mata diujung matanya dan menggenggam tangan Gulf.
 
"Mari kita pulang, aku tidak ingin kau sakit."
 
"A-aku baik-baik saja."
 
"Aku akan menemani mu. Seperti biasa."
 
Wajah Gulf langsung saja memerah.

Mew mengecup pipi pria itu singkat dan merangkul pinggang rampingnya untuk pergi dari kedai kopi menuju halaman depan dimana mobil yang ia parkir tadi pagi. Sekarang semuanya tampak sangat sempurna, tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk Gulf dan masa depan mereka berdua. Ada banyak hal yang ia perlu lakukan untuk menyempurnakan semua kebahagiaan ini dan hal ini adalah satu langkah terbesar yang harus ia lakukan untuk hubungan mereka.
 
*****
 
"Ku dengar Mew Suppasit ingin menikahi Gulf."
 
Tris membuka percakapan keluarga itu. Seperti biasa, ini adalah minggu kedua yang berarti siapapun diantara mereka yang memiliki waktu akan datang ke suite mewah milik Edwin untuk berkumpul dan mendiskusikan beragam hal mulai dari masalah pribadi, keluarga hingga bisnis (bahkan terkadang masalah politik). 
 
"Mew?" tanya Lilly.
 
"Memangnya dia punya apa untuk menghidupi seorang Gulf Kanawut?" tanya Tris dengan alis mata yang berkerut.

"Mr. kanawut tidak keberatan dengan pernikahan atau apapun itu." Jawab Saint santai.
 
"Kita sama-sama tahu bagaimana Gulf yang gila belanja." Ucap Devan, kali ini ia berada dipihak Tris. Membayangkan bagaimana Gulf harus menikah dengan Mew serta menghabiskan hidup bersama rasanya merupakan sesuatu hal yang cukup ajaib. Bahkan seorang supermodel pun tidak akan sanggup memenuhi keinginan pria itu.
 
"Kau tidak akan mengatakan apa-apa, Daren?" tanya Devan.
 
Daren duduk di kursinya, di ujung ruangan sambil menatap kearah meja billiard dimana para sepupu prianya sedang membunuh waktu disana. Ia kemudian menatap Devan dan tersenyum tipis.
 
"Mew tahu apa yang ia lakukan dan adikku itu tahu keputusan apa yang harus ia ambil."
 
Hanya sebuah jawaban yang memunculkan pertanyaan baru dikepala mereka, mungkinkah Daren tahu sesuatu atau pria itu sudah memiliki sebuah rencana yang tidak diketahui oleh siapapun?





















Tbc~
___________________________

Ujiannya Mew banyak amat yaa. Harus ngehadapin para sepupunya Gulf, jadi kasihan aku.😂

Gini nih resiko kalo pacaran sama orng tajir melintir. Halangannya pasti banyak banget bukan cuman satu atau dua aja. Tapi kalo punya tekad dan keseriusan pasti bakal dapat jalan tengahnya. Semoga aja Mew bisa dapat restu dari para sepupunya Gulf. 🤭

See u

Bye.bye👋🏻👋🏻

OBSESSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang