"ECI, ayo pulang."
Berulang kali Dessy menggelengkan kepala. Menolak uluran sang pria tua yang kini sama nelangsanya. Dessy terlanjur kecewa untuk dikhianati sedemikian rupa. Oleh keluarganya, oleh pria yang selalu ia cinta.
Semakin mempererat genggaman tangannya di jemari Nada, ia tak bisa berkutik sebarang pun juga. Sebab isak tangis kecewa melekat hingga ke relung dada. Harus di ke manakan wajahnya, di saat seluruh umat manusia nusantara menjunjung skandal yang tercipta. Memberikan komentar negatif di sosial media, bahkan di saat kebenaran itu terungkap, tetap saja Dessy yang bersalah.
Dengan penampilannya seperti itu--layaknya wanita murahan yang seenaknya saja menyerahkan tubuhnya--dengan seorang laki-laki yang sudah bertunangan. Bukankah Dessy yang patut dipertanyakan?
"Aku nggak mau pulang. Papa jahat, jika ingin menghancurkan aku bukan seperti ini caranya. Papa bisa bunuh aku sekalian."
"Sayang, Papa nggak bermaksud seperti itu." Johan kembali mendekat di saat air mata sang putri sudah mengucur amat deras.
Dessy semakin mundur, berlindung di belakang Nada yang kendati sama takutnya. Bahkan Nada bisa melihat gamblang di luar kamar kosan Dessy ada beberapa orang yang menyaksikan. Baiklah. Dia kenal satu di antara sekumpul orang di sana.
"Pa, bahkan orang-orang menganggap aku seperti itu sekarang. Jangankan masyarakat lainnya, laki-laki itu saja melabelkan aku pelacur. Aku perebut tunangan orang. Di saat aku mati-matian menjaga ekstensi wanita muslimah. Dan dengan kejamnya Papa dan Abang menghancurkan itu semua."
"Eci ...," Kali ini Dyah yang angkat suara. Tak kuasa melihat sang putri tergugu di balik tubuh Nada. Menangis dengan rasa yang menyesakkan dada, menyayat dada yang mungkin kini sudah berdarah.
Dessy kembali menggeleng, tak berani mengangkat wajah yang sengaja ia sembunyikan di pundak Nada. "Di saat aku mati-matian menarik Papa agar tak masuk ke lubang neraka, Papa malah berusaha mengulur itu semua. Karena aku sayang sama Papa ... Makanya aku ingin kita sama-sama di surga. Setidaknya satu langkah ini membuat aku bisa bersama kalian di sana."
Sudah. Pertahanan Johan luruh. Tepat di ambang pintu, Johan menjatuhkan lututnya ke lantai marmer. Meringkus segala ego yang selama ini ia gaungkan tatkala seorang putri yang selalu ia bangga-banggakan membuka seluruh jiwanya.
Dessy mencintainya, tapi dengan cara yang ia maksud akn tetap sia-sia.
"Eci, kita obrolkan baik-baik, ya?" Dengan sifat keibuannya, Dyah langsung duduk di atas ranjang, hingga kasur busa itu melesak mengisi tiga orang perempuan yang dibalut duka. Dyah mengembangkan senyumnya ketika Dessy perlahan mengangkat wajah dan sedikit menjauh dari Nada.
"Jangan menangis lagi, Mama juga sakit melihat kamu seperti ini."
Dessy menerima pelukan sang mama, mendekap dengan rasa menyayat jiwanya. Menyembunyikan air mata di bahu sang ibunda. "Tapi, Eci malu, Ma. Di saat semua orang meragukan Eci, tapi jangan salahkan jilbab Eci. Dia nggak salah apa-apa."
Dyah berulang kali mengangguk, mengelus pucuk kepala sang putri. Menarik diri untuk merangkum wajah Dessy yang dipenuhi beningan yang menyayat hati. Surai hitam yang perlahan memutih di sanggul membuat Dyah terlihat anggun. Namun perkataan Dessy membuat Dyah tertampar. Di saat sang putri menjaga martabatnya, suami yang ia cinta malah menghancurkan.
"Terima kasih karena sudah menyadarkan Mama, Eci. Mama janji kita sama-sama ke surga-Nya Allah, ya?"
**
Akbar hanya mampu bergeming di samping ambang pintu. Bersidekap, memandang lekat sosok perempuan yang kemarin terlihat tegar. Bahkan dengan sembunyi-sembunyi mengatakan dengan Galang lebih baik dibunuh saja. Apalagi Dessy dengan terang-terangan mengatakan bahwa perempuan itu pernah ia sebut sebagai pelacur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Jodoh
Literatura Feminina"Berjodoh denganmu mungkin adalah salah satu dari sekian hal yang tak pernah terbayangkan." ** Mereka jarang bertemu, tapi kenal walau hanya sekadar nama yang tersemat itu. Mereka berdua punya tambatan hati di masing-masing hidupnya, lalu tanpa tah...