Akbar, sampai kapan pernikahan ini selesai?
Memberontak berulang kali, bahkan menghadiahkan pukulan besar di bahu laki-laki itu, hingga kini Dessy bisa merasakan Akbar semakin mempererat gendongannya di pinggang. Dessy berulang kali mendesah seraya menggerakkan kakinya untuk mempersulit jalannya Akbar, tapi tetap saja energi laki-laki itu seolah makin besar.
"Turunin aku di sini!" teriak Dessy lagi tatkala sudah sampai depan pintu. Dan ia tak mampu mendeskripsikan bagaimana raut malunya kala beberapa pasang mata merangkum netra ke arah mereka.
"Akbar, I believe that you are crazy."
Akbar menghentikan langkahnya dengan menahan bobot Dessy yang sempat membuatnya limbung. Pernyataan yang menaikkan bara api di hatinya seolah ditumpahkan oleh ribuan solar. Dia muak, tentu saja. Dan Akbar pastinya lebih lega ketika Dessy melarikan diri dari pernikahan yang akan digelar, tapi rasa amarah yang merongrong dalam jiwa ingin membuatnya membalas semua.
Karena dengan pernikahan inilah ia bisa membalaskan semua kesakitan yang pernah keluarganya derita. Baik untuk Dessy atau untuk jiwanya nanti.
"And because of you I'm crazy." Akbar semakin merapatkan gendongannya kala iris mata Dessy hanya berjarak beberapa jengkal.
"Mari kita hentikan kegilaan ini."
Akbar melepas kungkungannya terhadap perempuan ini seraya mendengkus geli. Menghentikan kegilaan di saat semuanya sudah rampung, bukankah akan semakin gila jadinya?
Ah, bukan dia saja tentunya. Ada kedua keluarga yang sudah menunggu-nunggu kehancuran ini akan terjadi.
"Belum saatnya, Des. Aku masih harus menunjukkan kepada mereka bagaimana kehancuran kita."
Dessy meringis mendengarnya. Sebuah kehancuran yang tak pernah ia harapkan, seolah begitu nyata tatkala janji sakral terlantun jelas dari bibir Akbar. Sebentar lagi. Kehancuran yang di damba-dambakan oleh laki-laki ini akan terlaksana. Semakin membiru kala tiga bulan perjalanan mereka, lalu menghempaskan begitu saja nahkoda yang ia bawa.
Bahkan Dessy pun tak tahu harus membawa ke mana arus perjalanan ini, di saat semua orang membencinya. Bahkan untuk sekadar membawa kedua orang tuanya saja ke dalam janji suci yang sebentar lagi akan terleksana, enggan dilakukan oleh Akbar.
Seolah tak ada harga diri atau jangan-jangan tak diharapkan janji suci ini akan terjadi. Dessy bukankah harus mengerti?
Karena jika ia tetap ngotot agar Akbar membawa serta kedua orang tuanya, bukankah kebencian itu semakin menguar? Tidak ada seorang ibu yang menginginkan anaknya sengsara. Dan untuk menikah dengannya tidak akan pernah mungkin direstui oleh ibunya Akbar.
"Dessy."
Panggilan lirih itu membuatnya tersadar, bukan dari seorang Akbar, tapi dari wanita tua yang kini menatapnya iba. Entahlah, ia tak bisa mendeskripsikan bagaimana tatapan itu di saat ujaran kebencian selalu ia terima akhir-akhir ini.
Namun, Dessy tak bisa menafikkan hati bahwa iris yang terukir di balik telaga hitam milik wanita tua tersebut adalah tatapan simpati.
"Terkadang apa yang buruk menurut kita, mungkin lebih baik bagi Allah. Nggak semuanya membenci kamu, Des. Karena dengan pernikahan ini kamu bisa memperbaiki nama baik kamu, nama baik Akbar, dan nama baik semua orang. Jangan patah semangat, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Salah Jodoh
Chick-Lit"Berjodoh denganmu mungkin adalah salah satu dari sekian hal yang tak pernah terbayangkan." ** Mereka jarang bertemu, tapi kenal walau hanya sekadar nama yang tersemat itu. Mereka berdua punya tambatan hati di masing-masing hidupnya, lalu tanpa tah...