Prolog

2.3K 169 12
                                    

"Terimakasih".

Ardika menyalami Ramli, kepala satuan kepolisian Jakarta pusat. Dengan senyuman ramahnya pria berumur 50 tahun itu berpamitan akan pulang.

"Sama-sama Pak Dika". Jawab Ramli dengan sopan dan penuh hormat.

Ardika kemudian berbalik pergi dari ruangan itu. Berjalan melewati beberapa ruangan yang di huni oleh beberapa orang berseragam. Hingga ia melewati koridor yang sepi. Di ujung sana beliau melihat seorang laki-laki remaja duduk di kursi kayu panjang. Melihat itu membuatnya emosi langsung membuncah.
Rahangnya mengetat sempurna, ingin sekali ia menghajar remaja itu saat ini.
Namun seorang Ardika selalu bisa menguasai emosinya. Menekan habis perasaan terlukanya.

Langkahnya mendekat dan sampai di hadapan laki-laki yang langsung berdiri ketika dirinya berhenti di depan.

Dengan tatapan tajam penuh intimidasi Ardika memandangi remaja itu. Yang langsung di balas sejenak karena selanjutnya remaja laki-laki itu langsung menunduk gelisah.

"Saya berharap, ini pertama dan terakhir melihat wajah mu". Kata Ardika dengan nada tidak sama sekali ada keramahan.

Si remaja tidak mampu berkata lagi. Bahkan untuk melirik saja ia tidak memiliki keberanian. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa terintimidasi dengan tatapan seseorang. Dimana ia merasa gelisah dan tidak memiliki secuil keberanian untuk membalas tatapan pria paruh baya di depannya itu. Ia hanya bisa menunduk dalam, menelan ludahnya dengan kelat.

"Kamu sama sekali tidak pantas untuk Diana, putri saya". Lanjut Ardika semakin menciutkan nyali nya.

Setelah mengatakan itu, Beliau langsung pergi dari hadapannya. Meninggalkannya dengan seluruh harga diri yang hancur lebur juga perasaan nya mengenaskan. Dan ia menjadi seperti pecundang sejati ketika hanya berani memandangi punggung pria paruh baya yang masih saja terlihat gagah dan begitu tegap di umurnya yang sudah separuh baya. Seolah seorang Ardika Wahed tidak pernah tua termakan usia.
Seperginya, seorang polisi datang menemuinya. Dan mengajaknya untuk masuk kedalam untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut.

***

Di kursi yang ada di depan lobi gedung, Diana duduk dengan gelisah dan perasaan takut luar biasa. Ia menunggu Ayahnya keluar dari dalam sana dengan perasaan tidak menentu.

Malam sudah semakin larut bahkan menuju subuh. Namun ia seolah tidak memperdulikan nya. Gadis cantik itu menggigiti kuku ibu jarinya dengan begitu gelisah, perasaan cemas yang sangat luar biasa. Ingin sekali ini mengubur dirinya sendiri sekarang.

Ia rasa, dirinya tidak akan sanggup menjalani hidup kedepannya lagi seperti biasanya.

Dari sini, saat ini. Ia tau semua akan berubah.

"Ayah".

Dengan cepat ia berdiri ketika melihat Ayahnya keluar dari dalam gedung.

Ardika meliriknya dengan tanpa minat. Membuat hati gadis itu semakin hancur dan sakit luar biasa. Ayah nya tidak pernah menatapnya seperti itu sejak ia umur 4 tahun hingga sekarang. Ayahnya selalu menatap dengan penuh kasih sayang.

"Di, masih sama". Kata Diana dengan menahan tangis. "Di, masih anak Ayah". Lanjutnya menangis.

Ardika menelan ludah dengan susah payah. Lalu menatap tangan nya yang di genggam anaknya.

"Ayo pulang". Kata Ardika membuang pandangannya langsung.

Lalu berjalan lebih dulu meninggalkan pelantaran lobi gedung kepolisian itu menuju ke parkiran. Diana tidak langsung bergerak, ia memandangi kepergian Ayahnya sejenak dalam kesakitan nya. Lalu dengan hancur ia melirik kedalam gedung. Setelah itu baru ia ikut menyusul Ayahnya dengan perasaan tidak menentu.

***

Setiba di rumah, Ardika langsung masuk tanpa memperdulikan Diana. Beliau bahkan tidak memperdulikan kan istri dan anak-anaknya yang memang sedang menunggu mereka pulang setelah mendapatkan kabar yang sangat mengejutkan pukul 1 dini hari.

"Diana".

Kinal langsung menghampiri si bungsu dan memeluknya dengan rasa cemas dan khawatir. "Kamu gapapa sayang?". Ujar beliau dengan air mata berlinang.

Diana semakin menangis, merasakan perasaan bersalah yang sangat luar biasa. Bahkan ia tidak berani untuk sekedar melirik Abang dan Kakaknya yang berdiri memandangnya khawatir. Ia hanya bersembunyi dalam pelukkan ibunya.

"Ma". Ia hanya mengatakan itu. Memanggil Mamanya dengan segala perasaan bersalah yang semakin membesar. Memeluk wanita hebat itu lebih erat lagi. Tempat dimana ia selalu melimpahkan segala kasih sayang, canda tawa dan juga tangis kesepian nya. Wanita yang selalu menyayangi dan memanjakannya layaknya anak kandung sendiri.

Sedangkan dari tempat sana, Rezky dan Bilqis hanya menatap keduanya dengan cemas dan juga iba.
Lalu melirik pada kamar utama, dimana tadi Ayah mereka menghilang.

Mereka tau, Sang Ayah tengah kecewa. Bahkan dalam waktu berdekatan harus dua kali menelan pil pahit.
Hati sang Ayah pasti hancur lebur saat ini.
Setelah putra kesayangan, kini si putri kesayangan juga telah mengecewakan dirinya, mengkhianati kepercayaan penuh yang telah beliau berikan dengan seluruh hati.

  Rezky tau, dia sangat mengerti. Ayahnya tidak pernah memaksa kan kehendak pada anak-anak nya. Beliau orang nomor satu yang selalu percaya pada mereka. Memberikan kebebasan penuh selama itu baik untuk mereka. Namun dalam hampir dua tahun ini mereka telah menghancurkan kepercayaan itu.

"Ma, Di masih sama Ma. Di.. hiks.." suara Diana tenggelam dalam tangisnya.

Dari tempatnya, Bilqis yang memang sedang menginap di rumah orang tuanya langsung melangkah mendekat pada adik bungsunya yang sedang memeluk Mama.

"Maafin Di, Ma." Racau Diana lagi.

  Mama Kinal hanya diam memeluk anaknya. Beliau mengusap punggung putrinya dengan hangat dan penuh kasih sayang. Walau beliau belum tau apa yang sebenarnya terjadi. Tapi, sepertinya sesuatu yang buruk telah terjadi.

  Tidak ada yang berani bertanya untuk saat ini. Mereka semua memilih diam. Memberi udara untuk Diana bernapas, dan memberi waktu untuk Diana menenangkan diri. Sampai Ayah nya kembali keluar dari dalam kamar menatap mereka dengan tajam. Terutama pada Diana.

"Ayah." Panggil Diana pelan dengan suara bergetar.

  Hatinya terjepit ketika sang Ayah membuang pandangan dari nya.

"Laki-laki itu.." Ardika menjeda perkataan nya. Beliau terlihat sangat marah, rahangnya mengeras sempurna. Memejamkan kedua matanya untuk menekan habis perasaan nya. Putri bungsunya baru saja mengkhianatinya. Membuat hati seorang ayah merasa telah gagal. Dua kali, dua kali hatinya di pukul bolak balik oleh anak-anak kesayangan nya.
"Tidak pantas buat kamu."

  Dia terkejut, dia langsung menggeleng kepalanya berlari menghampiri sang ayah. Dia berlutut di kaki sang Ayah dengan tangis.

"Ayah,.. dia enggak seperti itu.. dia.."

"Masih mau membelanya?." Tanya Ardika dengan nada lelah dan lirih.

Diana menelan ludahnya sendiri melihat tatapan sang Ayah yang membuatnya jatuh dan tidak lagi berani mengeluarkan kata-kata pembelaan.

"Baiklah." Beliau kembali bersuara setelah menenangkan diri. Masih dengan rahang mengeras. "Silahkan kembali bersamanya. Ayah tidak akan melarangnya."

  Diana lagi-lagi terkejut, dia langsung menoleh menatap sang Ayah dengan semangat dan senyum bahagia. Tapi, setelah bertemu mata dengan sang Ayah senyum nya langsung lenyap. Hatinya semakin hancur berantakan. Saat itu dia tau dan sadar jika semua akan berbeda. Dan sirat mata kecewa itu telah memberinya keputusan. Semua tidak akan lagi sama.

Ayah, I Love HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang