05: YANG TERBAIK

644 109 14
                                    

Diana masih diam terpaku di dalam mobilnya. Menatap lurus ke depan, dimana pria itu sedang bergelut dengan dua orang pria lain nya, dan salah satu adalah orang yang pertama kali nyaris ia tabrak tadi saat di lampu merah.
Ia masih terus menatap pada Bumi, sampai sebuah mobil dengan sirine polisi datang dan berhenti di depan mereka.

Diana bergerak turun saat dua orang salah satunya berseragam polisi turun dan membekuk salah satu dua orang yang tadi bergelut dengan Bumi. Dan ia berhenti saat Bumi mengeluarkan sepasang borgol dari belakang saku celananya dan memasangkan pada satu lainnya.

"Ngerepotin banget!". Kesal pria itu menyerahkan orang tersebut pada dua polisi itu.

Diana masih berdiri diam di samping mobilnya. Memandangi pria itu yang sedang berbicara pada dua polisi. Sampai kemudian pria itu menoleh padanya, dan ia reflek langsung menunduk dalam. Kedua ujungnya berkedut seperti menahan senyum.

Saat ujung matanya melihat pria itu mendekat, barulah Diana mengangkat kepalanya menatapnya.

"Maaf membuat mu terkejut". Lagi, Diana menggigit bibir bawahnya. Menahan diri sekuat mungkin untuk tidak melempar diri dalam pelukkan rindu pada Bumi.
"Aku akan mengantar kamu pulang". Pria itu terdiam sejenak, melirik jam di pergelangan tangan nya. " Sudah jam sebelas, jam malam kamu sudah lewat".

Diana tidak lagi mendengar ucapan pria itu. Ia langsung berlalu, berjalan mengintai mobilnya menuju sisi kemudi melewati Bumi begitu saja.

Ia langsung masuk kedalam duduk di balik kemudi. Tidak memberi kesempatan pada diri sendiri untuk melirik pria yang masih berdiri memandanginya. Dirinya langsung menginstruksi diri untuk pergi dari sana. Sebelum ia kalah dan kembali membuat Ayahnya kecewa.

Setelah mobilnya melaju, dan berada di kejauhan baru ia melirik spionnya. Melihat lagi pada Bumi yang masih berdiri memandangi kepergian nya. Di sana lah, air mata yang sejak tadi ia tahan mati-matian keluar dan Diana tidak berusaha untuk menghapusnya. Bahkan sampai suara tangisnya terdengar.

***

"Di, kamu sekarang dimana? Kenapa jam segini belum sampai rumah?".

Dika bertanya dengan perasaan cemas pada seberang telfon sana. Bagaimana tidak, sudah jam dua belas lewat si bungsu belum tiba di rumah. Padahal, dua jam yang lalu anaknya mengatakan jika sedang dalam perjalanan pulang.
Itu membuatnya khawatir takut jika sesuatu terjadi di jalan.
Diana tidak pernah terlambat pulang. Selalu pulang tepat waktu. Karena ia memberlakukan jam malam untuk semua anak-anak nya. Terutama untuk putri-putri nya.

"Dijalan Yah, ini baru nyampe gapura depan".

Dika menghela napas lega, "yaudah,. Ayah tunggu di rumah".

Setelah mendapatkan jawaban sambungan telfon terputus. Beliau langsung kembali duduk di sofa bersama dengan istrinya yang sudah mendelik pada sang suami yang menurut nya lebai.

"Jakarta itu macetnya nauzubillah, Yah. Sudah tidak ada obatnya lagi. Mereka semua terlalu gengsi untuk jalan kaki. Makanya populasi di Jakarta itu sangat banyak. Waktu seharusnya bisa di tempuh setengah jam. Bisa jadi tiga jam'an." Ujar Kinal dengan nada menyindir.

"Polusi, Ma".

"Eh, udah ganti?". Beliau langsung memutar bola matanya jengah sendiri.

"Biasanya juga dia tepat waktu". Jawab Dika tidak terima dengan sindiran tersebut.

Kinal hanya menanggapinya dengan cemoohan saja. Suaminya memang sedikit protective terhadap putri-putri mereka.
Bersyukur tidak sampai pada tahap over protective.

"Btw, gimana soal obrolan kita kemarin? Kamu sudah bicara dengan Di?".

"Obrolan apa?". Tanya Dika mengerutkan dahi.

Ayah, I Love HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang