Ame

16 5 0
                                    

Keiichi duduk termangu sembari memandang hujan yang turun dengan derasnya. Karena tidak mengecek ramalan cuaca, ia lupa membawa payung. Akhirnya, siang itu, ia terpaksa menunggu hujan berhenti di teras sekolah. Keiichi tidak mungkin pulang dengan hujan-hujanan. Ia tidak ingin terkena flu.

“Membosankan,” gumam Keiichi.

Suasana di sekolah sudah sepi saat itu. Hanya ada melodi hujan yang menemani Keiichi. Mungkin semua murid sudah pulang lebih dulu. Mereka pasti membawa payung pagi tadi. Di saat-saat seperti ini, Keiichi menyesali nasibnya sebagai seseorang yang sedikit introvert. Sebenarnya, ada teman sekelas yang menawarkan untuk pulang bersama. Ia membawa payung dan rumah mereka searah. Namun karena hukuman mereka tidak begitu dekat, Keiichi menolak dengan halus tawaran tersebut.

Detik demi detik berlalu dan hujan belum juga berhenti. Keiichi menghela napas. Ia pun duduk di bangku teras. Di sampingnya terdapat mesin minuman. Kebetulan ia sedang haus. Ia pun beranjak untuk membeli minuman dari mesin tersebut. Sebuah saputangan putih terjatuh ketika ia mengambil beberapa koin dari dalam saku celananya. Sebuah ide terlintas di otaknya.

Keiichi membungkus sebuah gumpalan kertas dengan saputangan putih itu. Setelah itu, ia mengikat bagian tengah saputangan dengan tali bekas pelajaran prakarya. Ia pun menggambar mata dan mulut di bagian yang bulat. Hasil dari pekerjaannya adalah sebuah boneka penangkal hujan bernama teru-teru-bozu.

Dengan susah payah, Keiichi menggantungkan boneka itu di kanopi teras. Setelah boneka itu berhasil digantungkan, ia duduk, memejamkan mata, dan menepukkan kedua tangan sebanyak tiga kali. Kemudian, dengan suara lantang ia menyanyikan sebuah lagu.

Teru-teru-bōzu, teru bōzu (teru-teru bozu, teru bozu)

Ashita tenki ni shite o-kure (buatlah esok hari yang cerah)

Itsuka no yume no sora no yō ni (seperti langit dalam mimpi pada suatu waktu)

Haretara kin no suzu ageyo (jika cerah aku akan memberimu sebuah bel emas)

Teru-teru-bōzu, teru bōzu (teru-teru bozu, teru bozu)

Ashita tenki ni shite o-kure (buatlah esok hari yang cerah)

Watashi no negai wo kiita nara (jika kamu membuat keinginanku menjadi kenyataan)

Amai o-sake wo tanto nomasho (kita akan banyak minum anggur beras manis)

Teru-teru-bōzu, teru bōzu (teru-teru bozu, teru bozu)

Ashita tenki ni shite o-kure (buatlah esok hari yang cerah)
Sorete mo kumotte naitetara (tetapi jika awan menangis)

Sonata no kubi wo chon to kiru zo (aku akan memotong kepalamu)

“Teru-teru-bozu ya?” ucap seseorang. Keiichi sontak membuka mata dan mendapati seorang gadis berseragam seperti dirinya berdiri mengamati teru-teru-bozu yang ia buat. Gadis itu kemudian menoleh pada Keiichi. “Apa kau masih memercayai dongeng masa kecil?”

Wajah Keiichi memerah. Pasti di hadapan gadis itu, ia tampak aneh. Pasalnya, ia menyanyikan lagu teru-teru-bozu dengan keras tadi. Di Jepang, anak-anak biasanya memasang boneka teru-teru-bozu di jendela rumah mereka dan menyanyikan lagu tentang boneka itu dengan harapan esok akan cerah. Namun kini Keiichi bukan anak-anak lagi. Mempercayai mitos masa kecil seperti itu akan membuatnya diangap aneh. Rasanya lebih baik ditelan Bumi daripada berada di sini sekarang.

Si gadis tertawa kecil. “Wajahmu lucu.”

Keiichi menutupi wajahnya yang semerah tomat. Ia tidak bisa mengatakan sepatah kata pun untuk membela diri. Gadis ini benar-benar telah mempermalukannya.

SEPTEMBER HOROR : Let's Sing a SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang