Let Me In

10 6 1
                                    

Entah dari sisi mana asal-muasalnya, tahu-tahu dia sudah duduk berselanjar kaki di kusen jendela kamar. Pandangannya menusuk tepat padaku yang sedang enak-enakan rebahan di malam minggu.

Setelah sepekan penuh menjalani home schooling bersama Bu Guru yang hidungnya akan membesar kala mendapati jawaban matematiku 99,9% salah dan sisanya entah bagaimana bisa benar, seharusnya di hari libur begini aku bersantai meskipun hanya di rumah saja. Lagi pula, sejak kapan aku pergi berlibur? Ke halaman belakang rumah pun, tidak pernah.

Sejak ragaku masih seukuran paha orang dewasa, aku sudah dikunci dalam rumah bergerbang serupa benteng jepang. Dindingnya kukuh dengan tinggi---biar aku hiperboliskan---mencapai langit ketujuh. Entah hal apa yang ada di balik sana, aku tidak pernah tahu. Namun, setiap kegelapan malam telah total di lingkup rumah, aku acap kali mencuri informasi melalui ponsel Ibu yang kuambil diam-diam di kamarnya saat beliau sudah tertidur. Susah payah aku mencerna berita dari yang serius sampai nyeleneh seperti: 'Hukuman pidana bagi masyarakat yang menggunakan kata ANJAY'

Entahlah, ... Ibu, kau tega sekali melarang putrimu terbebas dari penjara megah ini sehingga aku begitu antusias mencari tahu apa itu anjay sebenarnya?

Seperti malam-malam selanjutnya, yang mana selalu sama, aku akan berbaring di ranjang sambil membayangkan segala hal. Dunia luar, memiliki teman, ketawa-ketawa tak jelas di pinggir jalan seraya mendendangkan lagu diiringi uku lele, dan tentu saja; jatuh cinta.

Ah, kapan kiranya aku akan mengalami rangkaian alur istimewa itu dalam hidupku?

Dan pertanyaan itu terjawab malam ini. Malam ke sekian dari yang tadinya selalu sama. Malam ke enam ribu seratus duapuluh hari aku hidup. Malam di mana aku menemukannya tersengih tak jelas ke arahku.

"Siapa kamu?"

Lelaki berkaus coklat kumal dengan celana lepis selutut robek-robek itu mengerut bingung. "Siapa kamu?"

Tadinya aku ingin mengomel karena dia mengulang pertanyaan, tetapi kudapati diriku malah menjawab, "Lily Azalea."

"Oh, hallo, Lily!"

Aku merasa telah dikibuli orang gila.

Semenjak saat itu, malam-malamku tak lagi sama. Tak lagi monoton seperti dulu. Kini, setiap kali matahari terbenam, aku bersiap menunggunya muncul tiba-tiba di kusen jendela. Kemudian kami menghabiskan waktu mengobrolkan hal-hal luar biasa di luar sana.

Dan darinya, aku tahu kalau anjay adalah nama hewan peliharaan dalam versi alim.

"Nah, sekarang beritahu aku, dari semua hal-hal hebat yang aku ceritakan, apa yang paling menarik perhatianmu?"

Aku terdiam sejenak, menikmati bola mata kelabu miliknya yang entah bagaimana seperti bersinar. Membuatku nyaman saat berbicara padanya. "Pelangi. Aku ingin melihat sebagus apa gugusan warna-warna yang berbeda itu saat langit berawan setelah hujan," terangku.

Dia tersenyum menampilkan kedua lesung pipi dan sederet gigi putih bergingsulnya. "Kamu bisa melihatnya."

"Sungguh?"

Dia mengangguk, lantas berdiri dan mengulurkan tangannya padaku. "Ikuti saja aku."

Ya Tuhan, saat mengatakan itu, tatapannya begitu melenakan. Aku tak kuasa meredam debar hebat di dalam sana sampai saat hendak berdiri dan menyambut uluran tangannya, tubuhku nyaris terhuyung ke belakang. Kukira itu karena kaki kanan yang salah mengijak, tetapi ketika kepala melengok kebelakang, kudapati Ibu menggenggam kuat-kuat tangan kiriku---setengah menarik.

"Jangan tatap matanya!" gertak Ibu, genggamannya kian menguat di tanganku.

Dalam satu kali hentakan, tubuhku seperti terhempas kasar. Kali ini, aku sungguhan terhuyung jatuh. Berdebum di lantai keramik tanpa sanggaan. Namun, sakit di punggung serta-merta tak terasa ketika aku tak melihatnya lagi.

SEPTEMBER HOROR : Let's Sing a SongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang