18 | Praduga

1K 173 31
                                    







Sesaat setelah pintu dibuka dari dalam, Rama melempar senyum lebar seperti biasa ketika melihat Shinta berdiri di hadapannya. Namun ada yang berbeda, malam ini Shinta tidak seperti biasanya. Perempuan itu tidak membalas senyuman Rama dan langsung meninggalkan Rama yang masih berdiri di ambang pintu.

Rama mengangkat satu alisnya. Menatap punggung Shinta yang kian menjauh dan berakhir menghilang terhalangi oleh tembok. Rama mencoba untuk tidak berpikiran macam-macam dan memilih mengikuti Shinta.

Ketika sampai di kamar, Shinta terlihat sedang sibuk melipat baju. Sama sekali tidak mau melihat ke arah Rama yang kini menghampirinya dan berakhir duduk di tepi ranjang. Baru akan membuka mulut untuk bertanya, Shinta sudah menyela duluan.

"Air angetnya udah aku siapin." Ujarnya, masih enggan menatap Rama. Bahkan nada suaranya tidak seperti biasanya.

"Ya udah aku mandi dulu." Rama kembali beranjak dari duduknya. Meninggalkan Shinta untuk mandi.

Rama memang penasaran dengan sikap aneh Shinta malam ini, namun ia lebih memilih mendinginkan pikirannya lebih dulu daripada malah membuat semuanya menjadi lebih rumit. Padahal siang tadi saat menelepon untuk mengingatkannya makan siang, Shinta tidak seperti ini. Perempuan itu masih sama seperti biasanya.

Waktu duapuluh menit digunakan Rama untuk mandi sembari memikirkan sikap Shinta. Rama masih mencoba untuk berpikir positif, mungkin Shinta sedang merasa lelah dengan pekerjaannya di butik. Namun ia kembali berpikir, selelah apapun seorang Aruna Shinta, perempuan itu tidak pernah melampiaskannya pada orang lain.

Sudah sekitar tiga bulan ini Shinta kembali aktif di butik yang dulu pernah perempuan itu titipkan pada Lea. Sedangkan Rama, setelah menikah dengan Shinta, sang bunda langsung memberikan kepercayaan penuh untuk meneruskan bisnis restoran dan katering miliknya.

Selama hampir enam bulan menikah, mereka tidak pernah mengalami pertengkaran hebat. Hanya perdebatan-perdebatan kecil yang umum terjadi pada suatu pasangan. Seperti saat Rama lupa menaruh handuk pada tempatnya, Shinta pasti akan mengomelinya. Atau saat Shinta lupa makan karena terlalu asik dengan aktifitasnya, Rama juga pasti akan mengoceh panjang lebar.

Selepas mandi dan berganti pakaian, Rama mengambil ponselnya untuk ia charge. Shinta sudah tidak ada di kamar. Perempuan itu biasanya sibuk di dapur membuat makan malam.

Dan benar saja, saat Rama sampai di dapur, Shinta baru saja selesai memanaskan makanan. Perempuan itu kini tengah menata beberapa lauk di atas meja, setelah itu duduk dan mengambilkan nasi untuk Rama. Namun masih diam seperti tadi.

Rama yang duduk di seberang meja persis di hadapan Shinta terus memusatkan pandangannya ke arah Shinta. Ia menghela napas pelan ketika lagi-lagi Shinta tidak mengucapkan sepatah kata pun, bahkan ketika menyodorkan piring untuknya.

Rama memilih untuk ikut diam hingga makan malam mereka selesai. Sekitar sepuluh menit yang mereka habiskan di meja makan itu, tidak ada yang bersuara. Hanya dentingan piring dan sendok yang saling beradu.

Namun ketika Shinta hendak berdiri untuk membereskan bekas makan malam mereka, Rama menahan tangannya. Tidak membiarkannya pergi. Masalah yang bahkan tidak ia tahu sebabnya ini, harus segera diselesaikan.

"Kamu kenapa? Kok kayanya nyuekin aku daritadi? Aku ada salah?"

Shinta masih enggan menjawab. Bahkan ketika tangannya digenggam erat oleh Rama, Shinta memilih menatap objek lain di ruangan itu.

"Shinta." Tidak ada bentakan atau suara keras yang Rama lontarkan. Intonasi suaranya masih sama lembutnya seperti biasa.

Dan berhasil. Panggilan lembut itu mampu membuat Shinta menatap Rama. Namun Rama jadi semakin khawatir begitu menyadari mata Shinta terlihat berkaca-kaca.

CROSS THE OCEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang