03 | Dialog Rindu

1.2K 265 64
                                    

Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.

- Lao Tzu -

•••








Berada di satu ruangan yang sama dengan orang yang pernah dekat, lalu berubah menjadi asing adalah hal yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka.

Ketika memutuskan untuk pergi ke tempat ini, ia sama sekali tidak membayangkan akan bertemu dengan orang yang dicarinya selama satu tahun ini. Tujuannya pergi kemari hanya untuk menenangkan diri. Mencari bahagia di tengah tawa dan cerita-cerita polos anak-anak.

Dari sudut pandang yang berbeda, ia juga merasa terjebak. Ketika pergi ke tempat ini, yang ia bayangkan bukanlah suasana canggung seperti ini. Ia sama sekali tidak membayangkan akan bertemu dengan laki-laki yang sempat ia hindari. Meski sejak tadi ia terus mencoba menyibukkan diri dengan anak-anak dan juga bunda Marwa yang mengajaknya mengobrol sembari melepas rindu, namun tetap saja rasa canggung itu hadir. Seolah menerornya.

Si laki-laki di sudut ruangan diam-diam memperhatikan perempuan cantik yang duduk sedikit berjarak dengannya. Menunggu waktu untuk dapat mengajaknya mengobrol hanya berdua. Karena baginya, ada banyak hal yang harus mereka bicarakan, ada banyak hal yang belum selesai dan tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Maka ketika bunda Marwa ijin untuk memasak di dapur, ia mencoba mendekat. Mengerahkan seluruh keberaniannya.

"Shinta."

Shinta menoleh dengan canggung. "Kenapa, Ram?"

"Ikut aku sebentar."

Shinta baru akan bertanya, namun Rama sudah lebih dulu berdiri. Akhirnya Shinta hanya bisa mengangguk pasrah. Saat ini atau bukan, ia tetap harus mencari waktu untuk dapat mengobrol berdua saja dengan Rama.

"Kak Rama pinjem kak Shintanya sebentar, ya? Mau ngobrol di depan." Rama tersenyum ke arah anak-anak itu, sebelum menarik tangan Shinta yang berdiri canggung di hadapannya.

Shinta menatap tangan Rama yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Rasa hangat yang sama kembali menelusup masuk ke dalam dirinya. Detakan yang sama kembali ia rasakan sama seperti ketika ia berada di dekat Rama dulu.

Rama membawanya ke teras depan. Mereka berakhir duduk bersebelahan dengan meja yang menyekat di tengah-tengah. Sama seperti ketika Shinta pertama kali mengajak Rama ke panti asuhan ini.

Kecanggungan mereka belum juga hilang. Belum ada yang mau bersuara. Hanya tatapan penuh kerinduan yang Rama lemparkan ke arah Shinta yang kini menatap lurus ke depan. Ia sama sekali tidak berani menoleh ke arah Rama.

"Gimana kabar kamu?"

Ketika suara berat dan dalam itu masuk ke dalam gendang telinganya, Shinta memutuskan untuk menoleh. Tersenyum tipis. "Seperti yang kamu liat, aku baik-baik aja." Jeda sebentar, Shinta kembali melanjutkan. "Kamu juga keliatan baik, Ram. Iya, kan?"

Rama tersenyum hambar. Dalam hati mengelak pernyataan yang Shinta lontarkan tentang keadaannya. Karena pada kenyataannya ia sama sekali tidak baik-baik saja satu tahun ini.

"Aku datang ke nikahan Lea sama Bimo, kamu pasti tau kan?" Ujar Rama, tanpa basa-basi.

Pertanyaan Rama membuat Shinta terdiam cukup lama. Karena nyatanya waktu itu ia memang sengaja menghindar. Bersembunyi.

"Perempuan yang aku liat waktu itu ternyata emang kamu." Rama sengaja menatap lekat wajah Shinta yang kini tertunduk. "Aku liat kamu, tapi setelah itu kamu tiba-tiba pergi."

"Aku tau kamu datang, aku juga liat kamu."

"Kenapa kamu ngga temuin aku?"

"Aku ngga mau tiba-tiba datang nemuin kamu, apalagi waktu itu kamu ngga sendirian."

Rama buru-buru menyahut, seolah takut Shinta salah paham. "Dia cuma temen kuliahku dulu. Aku nyuruh dia nemenin aku karena aku ngga tau mau datang sama siapa."

Shinta menghela napas. Tatapannya masih tertuju ke lantai. "Aku butuh persiapan buat ketemu kamu lagi, Ram. Jujur, sekarang ini pun aku belum siap."

"Sewaktu kamu pergi aku juga ngga siap, Shin." Suara Rama memelan. "Ada banyak hal yang perlu kita bicarain. Ada banyak hal yang perlu kamu jelasin ke aku."

Rama mungkin bukan siapa-siapa, namun ia merasa berhak untuk tahu. Kedekatan mereka sebelum Shinta pergi terlanjur membuat hatinya salah paham.

"Maaf, Ram, aku emang mau lari dari masalah waktu itu. Aku ngga tau harus gimana. Yang ada di otak aku waktu itu cuma pergi jauh dari tempat ini, aku pengen lupain semua kejadian buruk di sini." Shinta memberanikan diri menatap Rama. "Aku ikut orang tuaku tinggal di Kanada, dan selama satu tahun ini aku dapat dampingan penuh dari psikiater sampai akhirnya aku bisa kaya sekarang. Butuh keberanian besar buat aku bisa sampai ke kota ini lagi, Ram."

Shinta berbicara seolah ia benar-benar sudah bisa berdamai dengan kenangan buruknya di masa lalu. Shinta terlihat begitu tegar dan memang sudah jauh lebih baik dari saat terakhir kali mereka bertemu. Namun sorot mata perempuan itu mengisyaratkan bahwa masih ada bagian rapuh di dalam dirinya yang siap hancur kapan saja.

"Maaf, aku terkesan ngga mau ngerti kondisi kamu."

Shinta tersenyum simpul. Senyuman yang begitu Rama rindukan. Senyuman yang satu tahun ini selalu ia bayangkan setiap akan jatuh terlelap.

"Ngga papa, Ram. Waktu itu aku perginya mendadak dan ngga sempat nemuin kamu dulu buat pamit, wajar kalau kamu bertanya-tanya."

Rama menatap lekat wajah Shinta dari samping. Ada perubahan besar pada Shinta yang sejak tadi cukup membuat Rama bertanya-tanya sendiri. Telinga cantik perempuan itu dipenuhi oleh piercing. Bukan hanya ada dua atau tiga, lebih dari itu.

"Shinta."

"Hm?"

Rama tampak ragu, namun tetap memaksakan diri untuk bertanya. "Kamu sekarang jadi suka pake piercing?"

Shinta secara reflek menyentuh telinganya sendiri. Ia terdiam selama beberapa saat, kemudian tersenyum. "Ah ini." Jeda lagi, seperti ada yang sedang perempuan itu pikirkan.

"Piercing-piercing ini sebagai bentuk pelampiasanku, Ram. Setiap kali aku ngerasain sakit di dalam sini-" Shinta menunjuk dadanya, "aku selalu lampiasin lewat piercing-piercing ini. Dan tanpa sadar, lama kelamaan hal itu malah jadi kebiasaan. Setiap kali ngerasa stres, aku selalu nambah satu piercing."

Tidak, Rama salah. Shinta belum sepenuhnya baik-baik saja. Rama hanya bisa menatap Shinta dalam diam. Sebagian hatinya seolah bisa merasakan apa yang Shinta rasakan selama ini. Rasa sakit, trauma, perasaan bersalah dan kenangan buruk yang terus membuntuti.

"Apa ngga sakit?"

Pertanyaan Rama membuat Shinta tertawa pelan. "Justru rasa sakit di sini jadi penetral rasa sakit di bagian lain."

Rama jelas paham apa yang dimaksud oleh Shinta. "Kamu ngga akan balik ke Kanada lagi, kan?" Tanyanya kemudian.

"Aku di sini cuma 2 minggu, Ram. Setelahnya aku sama orang tuaku pulang ke Kanada."

"Kenapa? Rumah kamu di sini."

Shinta tampak bingung dengan pertanyaan Rama. "Karena alasan aku buat kesini cuma Lea. Aku kesini cuma mau liat Lea menikah."

Rama menatap penuh wajah Shinta. "Kalau alasan kamu kesini cuma karena Lea menikah, apa aku juga bisa jadi alasan kamu buat tetap tinggal?"

ㅡ CROSS THE OCEAN ㅡ




udah pada seneng kan mereka ketemu akhirnya:))


CROSS THE OCEANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang