25. Kanker Darah

23 4 0
                                    

"Rasanya seperti menjadi ironmen"

Nara mengacak-acak rambutnya. Menutup telinga sebal. "Sya bisa diem gak lo gue sumpel kaos kaki mang oleh lo!" pasalnya dari jam enam pagi sampai istirahat habis Resya tak henti hentinya berkata seperti itu. Lagi nulis, ngomong, lagi makan, ngomong, cuci tangan,ngomong.

Resya menoleh ke arah gadis itu. Menggeleng polos. "Rasanya seperti menjadi ironmen."

"Pindah gak lo sama pingkan!" Nara menatap tajam.

Resya beranjak diri, pindah ke tempat duduknya bersama Pingkan. Kelas Difa itu anaknya ngacak. Tempat duduk ngacak. Kayaknya semua tempat duduk udah pernah di coba Resya.

Harusnya Nara duduk dengan Pingkan. Karna Difa tidak masuk dan Resya paling anti duduk sendiri. Jadilah Pingkanengalah ke tempat duduk Difa.

Resya sudah berpindah duduk. Posisinya di belakang Nara. Resya mencondongkan badannya. Gadis itu berbisik ke Nara. Yang membuat Nara meledak saat itu juga.

"Rasanya seperti menjadi ironmen!" bisik Resya.

"SYA MULUT LO GUE RAUP SINI ANJ-"

"Nara,"

Sial. Bisa-bisanya ia lupa kalau sekarang adalah jam pelajaran bu Rika. Nara memejamkan matanya. Menatap tajam Resya yang tengah senyum menjengkelkan.

"Ada apa Nara?" tanya Bu Rika mendekat ke meja pemilik nama.

Vibes bu Rika itu bikin semuanya jadi canggung,takut. Emang bu Rika membawa vibes buruk kalau kata Resya.

Nara hanya memandang bu Rika. Bingung ingin beralasan apa. Sumpah dia benar benar kesal level tinggi sama Resya. Laknat.

Bu Rika menurunkan kaca matanya. "Duduk! jangan mengganggu waktu saya mengajar!" Ujarnya kembali ke depan papan tulis.

Nara hanya mengangguk. Kemudian duduk. Meraba kolong meja,mengambil earphone nya dan memasang benda itu di telinga nya. Rambut kuncir kudanya di lepas. Membiarkan rambut itu tergerai indah.

Pingkan yang sedari tadi memang memakai earphone hanya memandang keduanya cuek. Dan kemudian lanjut dengan bukunya.

Sebelum Nara kembali memperhatikan papan tulis. Ia menunduk sedikit. Berbicara sesuatu. Masih bisa di dengar oleh Resya. Dan membuat gadis jahil itu diam membeku.










"Ke rumah sakit gausah nebeng mobil gue!"






Mampus.





Pulang sekolah gue harus mengemis mohon ke Nara.

****

"Kanker darah."

Difa mengulang apa yang dikatakan Orian. Hati Difa langsung mencelos. Badannya kaku. Gadis itu memandangi raut wajah Orian yang benar-benar serius. Tidak ada kebohongan disana. Mata Difa beralih ke sang Mamah, melihat raut wajah duka, membuat Difa tak tahan menetes kan air mata. Orian yang sejak tadi duduk di samping tempat tidur kini menggenggam erat tangan putri nya,dan sekarang Difa terbenam dalam pelukannya.

Difa tidak terlalu mengerti penyakit kanker darah nya ini, tapi tubuh gadis itu gemetar hebat. Yang hanya ia tahu bahwa penyakit yang di deritannya bisa menyebabkan kematian.

"Kamu tenang aja sayang, jangan banyak pikiran, mamah sama papah akan melakukan yang terbaik untuk kamu." Eria memeluk Difa dengan erat,mengecup kening putrinya itu.

Rasanya tak ada lagi mamahnya yang selalu bikin lelucon dan papahnya yang selalu menimpali. Difa dan kedua orang tuanya sangat jarang sekali berbicara penuh serius seperti ini, apalagi ditambah duka.

Saat itu juga Difa sangat merasa energi kasih sayang kedua orang tuanya bertambah berkali-kali lipat,yang membuat gadis itu menjadi sesenggukan.

Rasa nya ia ingin segera pulang dan berinternet apa itu penyakit kanker darah. Belum terlalu tahu tentang kanker darah saja rasanya sesak.

"Mah, pah, aku mau rawat jalan?" tanya Difa mengusap air matanya. Ia ingin menghabiskan waktunya untuk masa remaja.

Orian menoleh ke arah Eria, begitupun sebaliknya. Entah apa yang dipikirkan dan apa yang di sepakati oleh mereka.

"Gak bisa sayang, kanker itu cepat menjalar,tapi kamu punya lima hari." Ujar Eria mengelus rambut anak satu-satunya itu.

"Lima hari lagi kita terbang ke singapura, untuk berobat kamu,disana fasilitasnya lebih lengkap dan dokter Zion merekomendasikan kamu agar di kirim ke Singapura." Ujar Orian

Sangat kaget. Lima hari waktu yang sangat singkat. Apalagi dia harus meninggalkan sahabat-sahabatnya.

"Kenapa harus ke Singapura pah?" Difa sedikit membantah.

"Ini demi kebaikan kamu sayang, kita hanya perlu satu tahun untuk disana." Ujar Eria lembut.

"Aku mau ketemu dokter Zion." Ujar Difa

"Sayang, dokter Zion berada di luar kota, lusa dia udah kembali ke rumah sakit. Kita bicara nanti setelah dia pulang." Ujar Eria lagi

"Besok kamu bisa pulang untuk lima hari kedepan." kata Orian

Difa hanya diam. Mungkin ini yang terbaik. Ia masih ingin melanjutkan sekolahnya, masih ingin masuk kuliah dan mencapai cita-citanya. "Aku minta satu permintaan."




















"Jangan kasih tau soal ini ke sahabat-sahabat aku."

****

"Papah,"

Seorang remaja SMA berdiri di depan pintu masuk rumah. Sang empu yang merasa terpanggil memandang kaget. Jantungnya berpacu lebih kuat.












"Dia datang mah,"

💗

AHAY SPOILER DIKIT 🙈

Di part dua puluh keatas emang banyak teka teki yang belum keungkap.

Jadi tunggu ya!!

Vote komen oke?!

Ada yang mau liat visul Eria sama Orion gakkkkkk?

Mau ketemu kapan???

dhitasyv

ABOUT DIFASAKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang