CHAPTER 8 Rain

310 95 8
                                    

      

      

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

       Pagi hari di suatu tempat hujan turun cukup deras. Suasana basah yang khas ditambah aroma tanah yang menenangkan, membuat seseorang yang duduk pada salah satu kursi di dalam sebuah ruangan bercat putih mendominasi--merasa damai. Suasana seperti inilah yang selalu ia suka. Tenang dan sunyi. Matanya yang bening menatap keluar jendela kaca berjeruji yang membatasi dirinya dengan dunia luar, menatap takjub tetesan air hujan yang turun ke bumi.

       Ingatannya berputar mengenang masa kecilnya, ketika hujan turun ia akan segera melepas diri dan membiarkan hujan menyatu dangan raganya. Membasahi tubuh kecilnya sampai ia merasa benar-benar kedinginan dan menggigil. Tetapi sensasi menggigil itulah yang selalu ia nantikan. Ia menyukainya sebab ibunya akan datang menjenguknya ketika dirinya sedang demam, sebagai akibat terlalu lama diguyur hujan.

      Sudah 20 tahun berlalu tetapi ingatan kelamnya masih sangat segar seolah terjadi kemarin, dia ingat betul bagaimana dirinya dipisahkan dari keluarganya. Orang-orang itu membawa ibunya dan membunuh ayahnya yang malang. Tanpa sadar, tangannya mengepal kuat dan rahangnya yang tegas mengeras menahan amarah yang tidak pernah hilang.

       Sumpahnya 20 tahun lalu pada orang-orang berbaju hitam itu masih belum terbalaskan dan karenanya, ia tidak bisa tidur dengan tenang sampai mereka semua musnah--ditangannya sendiri. Tapi ia masih harus menunggu. Menanti waktu yang tepat lantas membuat mereka semua hancur, sehancur-hancurnya. Tunggu sampai dirinya bebas dari tempat terkutuk ini dan mereka akan menyesal telah membuat hidupnya menderita.

      Bibir tipisnya yang sedikit merah dan kering menyinggungkan seulas senyum sinis dan beku. Aura gelap yang suram menguar dari tubuhnya memenuhi ruangan putih tersebut. Lantas, tangannya yang sedikit kurus terangkat mencoba menyentuh sulur-sulur auranya sendiri.

      Benar--ia juga dapat melihat hal-hal seperti ini.

      Melihat warna aura seseorang.

       Ketika pikirannya sedang melayang jauh di masa lalu. Seorang perawat RSJ masuk ke ruangannya, membawa nampan berukuran sedang berisi semangkuk bubur dan juga segelas air. Berdecak malas, pria itu membuang muka lalu kembali pada pemandangan hujan pagi di luar.

       Si Perawat hanya tersenyum melihat, toh ia sudah biasa. Setelah meletakkan bawaannya di meja kecil sudut ruangan, lantas menggeser mejanya menuju ke arah Si Pria. Perawat itu berwajah manis dan imut. Tubuhnya pun tidak terlalu tinggi membuatnya terlihat mungil--tapi siapa sangka dengan perawakan anak smp seperti itu--nyatanya ia sudah berumur 24 tahun. Namanya adalah Caca.

       "Rain, waktunya makan, yah!" Pinta Caca sembari tersenyum.

        Pria yang ia panggil Rain tidak mengubris, tatapannya sama sekali tidak beralih dari hujan. Seolah pemandangan hujan di luar jauh lebih menarik dari pada makanan dan juga Si Wanita imut. Tetapi perlakukan dingin Rain tidak lantas membuat Caca menyerah untuk membujuknya makan. Caca mendekat dan kembali tersenyum. Jujur saja dia cukup takut andai Rain yang terlihat tenang dan diam akan menyerangnya--walau bagaimana pun dia adalah pasien dirumah sakit jiwa--yang mungkin saja akan berubah diwaktu yang tidak diduga dan balik menyerangnya.

Adiptara Family's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang