CHAPTER 11 Pria Berhoodie

268 79 8
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.


20 : 12 pm

           Malam terlihat pekat dan gelap, udara seolah membawa angin suram yang panas mencekam. Menyisakan debu-debu berhamburan menyisir sekitar area jalan kota yang dipadati sekawanan mobil kaum fana. Diantara kesibukan kota yang pelik, sesuatu yang besar tengah terjadi di tempat yang gelap dan sunyi. Menyisakan kebisuan yang kejam pada seseorang yang telah tergeletak kaku, diantara timbunan sampah dan dus bekas.

      Wajah penuh darah dan mata membeliak dengan sorot mati. Seseorang diantaranya menyorot dengan datar--lurus pada si mayat kaku yang beberapa waktu lalu ia tarik nafas kehidupannya. Lantas, perasaan yang paling dia rindukan menyeruak dengan nikmat merasuki jiwa raganya. Ia menyukai aroma darah segar yang mengalir, ia menyukai bagaimana orang-orang memelas padanya meminta kesempatan hidup, dan ia menyukai saat-saat tarikan nafas terakhir seseorang menderu ditelinganya.

            Tersenyum, ia berjongkok sedikit, lantas menebas kepala si mayat kaku. Sorot kekejaman yang ada dimatanya membesar bersamaan dengan perasaan bahagia yang ia rasakan. Oh! Perasaan ini membuatnya hidup. Kepalanya yang tertutupi hoodie mendongak ke atas, menatap cakrawala hitam dan tanpa taburan bintang. Langit gelap dan semakin gelap.

     Suara guntur pun terdengar timbul bersahutan, seakan berlomba menyuarakan apa saja yang sudah dilakukan Si Sosok Suram. Maniknya terpejam merasakan bagaimana rintik hujan yang dia sukai menyentuh kulit wajahnya. Itu terasa dingin dan menusuk. Rasa sakit dihatinya pun perlahan ikut menyeruak membuat ulu hatinya serasa diremas. Tapi dia tidak menyesal. Dia sudah melakukan hal yang benar--yah, tidak ada yang salah.

           Suara sirene mobil polisi terdengar dalam radius terjauh di telinganya. Tersenyum senang ia berjalan menjauh dengan langkah ringan. Maniknya kembali menyorot kosong untuk yang terakhir kali pada Si Mayat. Lantas membungkuk sembilan puluh derajat sebagai ucapan terima kasih. Lalu, dia melangkah pergi, benar-benar meninggalkan satu sosok yang sudah mati dalam kepedihan. Sepanjang jalannya yang tanpa beban, bibirnya bersiul ringan, tangannya terentang menumpu kepalanya yang miring ke samping kanan, seakan menunjukkan dia adalah sosok periang.

       Keluar dari lorong yang sunyi dan gelap, dia telah mendapati jalan ramai yang terang. Orang-orang berlarian menghindari hujan yang kian deras. Tetapi dia berbeda. Dia membiarkan hujan mengguyur tubuhnya, langkah ringannya membawa tubuh tinggi tegap itu menyusuri jalan kota yang ramai. Dan tidak satupun dari orang tersebut menyadari warna hoodie-nya yang telah bercampur pekatnya merah darah--pun, kedua tangannya. Mereka semua terlalu sibuk dengan hujan dan diri sendiri.

       Tapi, ia tersenyum karenanya.

        Tepat setelah menunggu selama beberapa menit, bus yang ia tunggu tiba. Membawa sisa-sisa kebisingan dimensi-nya yang sudah lama berkerja. Berjalan menaiki bus pengangkut itu, ia masuk lantas melewati beberapa orang yang sudah duduk terlebih dulu di dalamnya.

Adiptara Family's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang