CHAPTER 12 Menghadapi Maut

266 76 15
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

      Rain menatap keluar jendela berjeruji dengan pandangan lurus. Tatapan dingin miliknya kian dingin pun datar, menambah kebisuan merebak di dalam ruangannya. Senja menyorot wajah rupawannya dengan luar biasa melalui kaca jendela transparan, cahaya kekuningan menyapu rupa itu dengan gradasi yang memukau.

       Gelap terangnya berada di titik yang pas membuat visualnya kian indah. Dan tidak ada yang bisa mengubah hal tersebut. Perpaduan senja dan dirinya menyatu dengan kuat, seakan apapun tidak dapat memisahkan. Kendati demikian, dia merupakan bagian dari istilah 'burung dalam sangkar emas'. Dan Rain sangat mengutuk istilah tersebut.

        Meski tubuhnya sedikit kurus sebab terlalu jarang makan, tetapi itu tidak dapat mengubah hal mutlaknya sebagai sosok yang menawan. Tangannya terulur meraih sebuah buku tidak jauh dari tempatnya duduk; berwarna merah darah, sedikit tebal, dengan gambar bayangan hitam hampir mengelilingi sebagian besar sampul depan. Dan anehnya buku itu tidak berjudul.

      Sorot tajamnya memaku Sang Buku tetapi tidak melakukan apa-apa, baik dibaca atau sekedar dibuka.

      Sorot gelapnya hanya terfokus pada titik buku tersebut.

      Pohon-pohon di luar sana menampilkan keagungan yang mencekam; tinggi, kokoh, dan lebat. Bayang-bayangnya saling tindih satu sama lain membuat kesan horor yang nyata. Rumah sakit itu jauh di dalam lumbung hutan, seolah sengaja dibangun di tempat terpencil untuk menyembunyikan sosoknya. Tetapi dia tidak sendirian. Orang-orang buangan berada di sana, menemaninya kendati ia berada di ruangan khusus dengan penjagaan ketat.

     Kawanan berbaju hitam laknat yang paling dia benci, silih berganti menjaga pintu keluar satu-satunya. Jelas, orang paling berkuasa dibaliknya memegang kendali atas dirinya. Menjaganya agar tidak kabur. Senyum miringnya terbentuk samar, rencana besarnya akan ia mulai dalam beberapa hari ke depan.

      Tunggu dan lihat.

      Ingatannya kembali pada dua hari lalu dan kekosongan hatinya masih terasa. Sosok gadis manis bertubuh mungil telah hilang dari jarak pandangnya. Dia memilih, dan pilihannya adalah meninggalkan Rain. Rain sontak menertawai keadaan dan dirinya sendiri. Lantas berpikir mengapa harus merasa kosong sedangkan dia selalu menginginkan kepergiannya? Bukankah itu adalah salah satu harapan terbesarnya? Lalu mengapa?

     Mungkinkah karena Rain merasa kehilangan senyum secerah mentari pagi menyambut hidupnya yang suram kala sedang merenungi diri. Lalu bagaimana sebuah tawa sehangat teh tawar yang dia sukai tidak lagi dirasakan. Ataukah karena kehilangan sesosok gadis yang memintanya makan tiga kali sehari.

      Entahlah, Rain tidak mengerti.

      Ketika netra segelap malam itu mendapati sepasang burung kecil terbang, hinggap di salah satu dahan pohon, pandangannya sontak menajam. Mengusap matanya dengan kasar dan cepat, Rain melotot saat menyadari matanya mampu melihat dengan jarak pandang tidak biasa. Perkiraannya, sepasang burung itu berada di radius yang tidak lagi bisa dijangkau retina mata orang normal. Lantas mengapa dia bisa?

Adiptara Family's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang