4. Oh Inikah Kagum?

73.4K 11.3K 412
                                    

Akhir pekan ini gue ke rumah orangtuanya Kamila. Kata Kamila, ada pembicaraan penting antara Clara--adik Kamila--sama orangtua mereka. Bonyoknya Kamila udah kayak nyegah-nyegah Kamila buat nggak dateng, tapi Kamila tetep mau dateng. Dia minta gue jadi supir pribadinya pagi-pagi. Tumben banget seorang Kamila yang ngebo udah siap cantik cetar jam tujuh pagi.

"Ini tuh penting banget, Dhil," tuturnya pas make stik warna merah entah apa namanya itu ke bibirnya. Soalnya namanya ada banyak. Lipstik, lah, lipbalm, lah, lipgloss, lip tint.

Tunggu, kok gue tahu banyak soal perlipstikan?

Oh, iya. Gue punya adek-adek cewek.

Tinggal ama Kamila jadi lupa sama adek sendiri. Soalnya Kamila itu kayak seluruh adek gue jadi satu wujud. Berisiknya itu, loh.

"Ada apaan sih?" tanya gue.

Jam segini Jakarta masih sepi. Ramenya sama yang Car Free Day. Makanya kalo hari biasa ke rumah Kamila bisa makan waktu satu jam, sekarang mah cuma dua puluh menit.

"Clara nggak boleh nikah sama pacarnya," balas Kamila.

Gue nengok cepet. Eh, malah sampe Wonogiri. Kejauhan.

"Serius?" tanya gue. "Kenapa?"

"Katanya nggak jelas bibit bobot bebetnya," jawab Kamila. Kamila mengerlingkan mata ke arah gue. "I know, right? So old fashioned."

Lah, sok-sok bahasa Inggris dedemit satu ini.

"Terus lo mau ngapain?" tanya gue.

"Ngelabrak Bonyok gue," tandas Kamila.

Gue melotot. "Mil!"

Kamila nggak peduli. Dia udah asyik mengaplikasikan make up ke mukanya. Gue ngehela napas pasrah. Kalo ada orang yang lebih keras kepala di muka bumi ini selain Ladit, jawabannya adalah Kamila.

Sesampainya di rumah Bonyoknya Kamila, Kamila langsung turun dari mobil dan nggak nunggu gue buat bareng. Jadilah gue ngekor di belakang Kamila dengan gerakan super buru-buru.

Rumah Kamila luas banget. Lebih luas dari rumah gue. Gue sampe capek jalannya. Ni Kamila mungil-mungil jalannya kayak Mario Bros. Cepet gitu. 

Ternyata, keluarga Kamila lagi ngumpul di ruang keluarga. Gue liat adeknya Kamila lagi nangis-nangis sesegukan sementara kedua orangtua Kamila kaget liat Kamila dateng.

Kamila ngelempar tasnya ke sofa, lalu berkacak pinggang. "Papih sama Mamih mau Clara kawin lari sama itu orang?! Mau?!"

Papih sama Mamih mengkeret. Gue bengong liat semua ini. Apakah peran orangtua dan anak ini tidak terbalik...?

"Udahlah Pih, Mih, biarin Clara sama pilihannya dia. Orangnya emang miskin, tapi dia kerja keras, cerdas, terus pasti bisa bawa Clara ke jalan yang bener. Papih sama Mamih aja solatnya belang bentong, noh lihat calon ipar Kamila, ngaji terooos," cecar Kamila kemudian duduk di sebelah Clara. Nepok-nepok punggung Clara supaya berhenti nangis.

Dari muka Clara, tentu aja adeknya ini seneng dibelain kakaknya. Sementara gue?

Inilah ekspresi gue. Untuk kesekian kalinya.

"Terus kenapa kamu dulu mau dijodohin kalo sekarang kamu nentang Clara buat dijodohin?" Papihnya Kamila mencoba berargumen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Terus kenapa kamu dulu mau dijodohin kalo sekarang kamu nentang Clara buat dijodohin?" Papihnya Kamila mencoba berargumen. Dia kayaknya belum sadar kalo mantunya juga denger percakapan ini. Gue makin grogi dan nggak enak buat masuk ke percakapan.

Terus, tiba-tiba aja, Kamila ngomong. "Ya karena Kamila nggak suka sama siapa-siapa, Papiiih! Terus Papih emang nggak liat mukanya Fadhil? Aktor di film Papih semuanya juga lewat!"

Eh?

Perasaan apa ini?

Gue garuk-garuk kuping yang kerasa panas. Entah kenapa gue seneng, tapi mau seribu tahun pun, gue nggak akan ngaku hal itu ke Kamila.

"Pokoknya Kamila nggak mau denger lagi ya Papih sama Mamih nentang-nentang Clara kayak gini! Papih sama Mamih bersyukur dong harusnya punya anak pinter, cantik, rajin, kayak Clara. Nggak kayak aku yang nggak doyan belajar. Jangankan S1, lulus SMA aja pas-pasan!" bela Kamila, kini udah meluk Clara sepenuhnya.

Papih sama Mamihnya Kamila akhirnya nurut. Mereka juga akhirnya sadar kalo gue nunggu di deket vas bunga. Jadilah akhirnya kami berlima sarapan nasi uduk. Sementara Kamila lagi asyik ngobrol sama Clara soal dress code gaun pernikahan Clara nanti, gue diem-diem lirik Kamila.

Oh inikah kagum? Atau terpesona sesaat? Nggak tau kenapa, Kamila keren banget. Kayaknya gue nggak bisa ngomong segamblang itu. Waktu diputusin Siska aja, gue cuma bisa nerima, tanpa debat.

Apakah Kamila nggak sebego yang keliatannya?

"Kenapa lo?" tanya Kamila pas kami pulang siangnya. 

Gue nyetir sambil dehem-dehem, berusaha cairin suasana. Namun Kamila kayak tau ada sesuatu di pikiran gue. Dia liat mata gue, memicing gitu.

"Mulai suka ya lo sama gue?" tembaknya langsung.

"KAGAK!" seru gue tanpa pikir panjang, yang malah membuat gue kayak ketauan banget suka dia.

Kamila ketiwi-tiwi. Seneng banget dedemit satu ini.

"Fadhil kalo udah suka sama gue, bilang, ya. Nanti gue masukkin daftar tunggu," kekeh Kamila.

"Ngimpi," decak gue.

"Mimpi itu bisa jadi kenyataan," balas Kamila riang gembira. "Eh, eh, makan sushi yuuuk!" ucapnya padahal tadi dia makan nasi uduk dua bungkus.

Gue tersenyum.

Dasar bar-bar.

PrivilegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang