Siapa bilang cuma Kamila yang ketemu sama temen-temen ceriwisnya? Gue juga tiap sebulan sekali ketemu sama Aslan, Bryce, sama Tata. Tempat kami nongkrong juga keren, rumah pohon di rumah Om Juna, bokapnya Aslan.
Di sana banyak peninggalan temen-temen Om Juna. Mulai dari kaset, DVD, sampe komik sama novel juga ada.
Malem itu gue ketemu mereka. Kali ini gue yang bawa makanan. Martabak sama pizza. Meski cuma berempat, percayalah keduanya bakal habis ludes.
Kamila? Dia ke rumah orangtuanya. Katanya kangen sama mereka. Ya udah. Pas, deh. Gue juga lagi pengin sendirian.
Obrolan gue sama ketiga bocil yang lebih tua dua tahun ini kalo nggak soal kehidupan masing-masing, ya berarti soal pasangan masing-masing.
Di pertengahan obrolan dan martabak yang tinggal setengah, Aslan ngedengus geli lihat hapenya.
"Pusing gue," ucap cowok berambut cepak itu.
Bryce yang nyomot pizza terakhir menyahut. "Kenapa?"
"Si Anggi ngidam."
Tata menimpali seraya membuka lembar komik selanjutnya. Emang suka baca komik, si Tata, mah. Mirip Om Julian. "Emang suka gitu. Adek gue ngidamnya banyak bener kalo didaftarin gue kadang suka kasian ama suaminya."
"Ngidamnya nggak tanggung-tanggung. Longan leci. Kalo nggak musim kayak gini gue nyari di mana, coba," gerutu Aslan, garuk kepala frustasi.
Ternyata bukan hanya gue yang frustasi soal bini.
Tata sama Bryce nggak tahan buat ketawa. Gue? Gue mengerti perasaan Aslan. Pake banget.
Muka gue yang aneh ternyata ketangkep sama Tata. Dia nepok bahu gue. "Kenapa lagi lo?"
Gue ngehela napas dramatis. Hal ini bikin Bryce sama Aslan jadi ikut-ikutan kepo. Ni mereka bertiga kalo dijadiin biang gosip emang paling jago.
"Kenapa ni cowok termuda kedua di antara cowok-cowok keluarga besar?" tanya Bryce. Keluarga besar yang dimaksud ya keluarga lingkar pertemanan bokap-bokap kami, bukan keluarga yang sehubungan darah.
"Cerita-cerita dong," tambah Aslan.
"Kamila...."
Aslan, Bryce, sama Tata bener-bener nunggu omongan gue selesai. Mukanya penasaran banget.
Gue ngehela napas, "Mau dede bayi, dia...."
Ketiganya nggak tanggung-tanggung. Langsung ketawa-tiwi terpingkal-pingkal. Memang lucknut ya.
"Ya bikin, lah," seloroh Aslan.
Gue melotot, "Dikata belom kali!"
"Coba lo ke dokter. Kali aja ada suswanto," saran Bryce setelah tawanya mereda.
"Udah. Katanya nggak ada apa-apa tuh," keluh gue nggak tau lagi harus gimana.
"Belum saatnya kali, Dhil," ucap Tata menenangkan. Ni bocah emang yang paling waras di antara kami berempat. Mirip bapaknya, Om Matt.
Gue ngehela napas lagi. Ngehela napas mulu. Gue aja capek.
"Kamila tuh pengen banget punya anak," kata gue putus asa.
Sebagai temen yang baik, mereka bertiga berusaha ngedengerin bacotan gue.
"Tapi guenya juga masih ragu apa iya gue mau punya anak sama dia atau nggak," ucap gue jujur sejujur-jujurnya. Kalo sama mereka bertiga, gue bisa cerita apa aja. Bahkan yang dark sekalipun.
Ceilah dark. Emangnya dark chocolate.
Mendengar itu, muka Aslan, Bryce sama Tata langsung pucet. Kayak kaget gitu dengernya.
"Serius lo? Kok bisa? Kenapa?" tanya Aslan dengan suara rendah, nyaris nggak kedenger.
Di titik itu, gue diem.
Tata langsung megang bahu gue, syok, "Dhil... jangan bilang...."
Emang si Tata mah yang paling peka. Gue ngehela napas lagi sambil nutup muka. Malu, coy. Ketahuan punya sifat serakah.
Bryce yang akhirnya konek langsung nabok gue, "Wah! Kampret ya Anda...."
Gue membela diri. "Tapi gue mau merger! Ini satu-satunya cara supaya gue bisa ngembangin perfilman Bokap!"
Seketika itu juga, suasana hening. Sampai Tata buka suara. Tu cowok kayaknya lagi mikir kalimat terhalus seperti apa yang mau dia omongin ke gue biar nggak sakit hati banget.
"Dhil, mungkin ya. Mungkin nih. Jangan marah," sergah Tata cepet. "Mungkin lo sama Kamila belum dikasih anak karena lo berdua belum bener-bener saling sayang."
Gue tercenung.
"Maksud lo?" tanya gue.
"Kamila butuh lo buat punya anak. Lo butuh Kamila buat merger," jelas Tata.
Kali itu gue tercengang. Anjir si Tata ada benernya!
"Kalo mindset lo berdua belum berubah, gue nggak yakin lo berdua dikasih kepercayaan buat punya anak," Tata menatap gue prihatin. "Sorry to say."
Gue kayak ditabok. Tapi pake kata-kata. Sama si Tata.
***
Tadinya dari rumah pohon gue mau langsung pulang ke rumah. Tapi gue muter balik ke rumah bonyoknya Kamila. Jam udah nunjukkin pukul satu ketika satpam rumah Kamila bukain pintu.
Katanya semua anggota keluarga udah pada tidur. Termasuk Kamila.
Gue nggak hapal rumah Kamila karena luas banget. Ruang tamunya aja kayak lapangan voli. Namun gue masih hapal kamar lamanya Kamila karena cewek itu pernah nyuruh gue buat bawain barang-barangnya dari kamarnya ke mobil pas pindahan. Emang lucknut. Gue dah biasa.
Ketika pintu kamar Kamila gue buka, cewek itu udah gelosoran di kasur.
Muter kan dia.
Kaki ke mana, kepala ke mana.
"Mil," panggil gue, noel-noel pipinya.
Dia berdehem, terus nabok tangan gue yang noel pipinya.
Dasar.
"Mil, bangun yuk," ajak gue. "Pulang."
Kamila buka matanya. Antara sadar sama enggak. Pas ngelihat gue, dia nyengir. Nyebelin. Nyengir aja lucu kayak hamster.
"Eh, Fadhil," ucapnya, lalu ngambil tangan gue dan digusel-gusel.
Ni anak ya. Emang kebiasaan nempel-nempel sama orang. Jangan-jangan bukan sama gue aja begininya.
Eh. Tidak boleh cemburu, Sahabat. Lo sokap?
Gue menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran tadi, dan fokus ke Kamila. "Mil, bangun, ih. Pindah bobonya di mobil," gue kayak ngajak anak bocah yang ketiduran di rumah temennya buat pulang.
"Bobo sini aja yuk. Kasurnya gede, kok," ucap Kamila nepok-nepok kasur di sebelahnya.
Melihat Kamila bener-bener nggak bisa diajak kompromi dan gue juga lumayan capek, gue berakhir nemplokkin pantat di sebelahnya.
Gue ngeliat muka Kamila. Ya emang bener. Cakep. Gue sendiri bingung kenapa dia mau sama gue. Padahal kayaknya banyak cowok yang mau sama dia. Si Bang Sat Bang Sat itu juga kayaknya kalo nggak kerja di Padang....
Gue jadi kelabu.
Kamila butuh lo buat punya anak. Lo butuh Kamila buat merger
Sebenernya, gue sayang nggak sih, sama Kamila?
Gue ngehela napas buat kesekian kalinya, lalu ngebaringin badan.
Pikirin besok aja, lah.
![](https://img.wattpad.com/cover/237351748-288-k951478.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Privileges
HumorTelah tersedia di toko buku seluruh Indonesia dengan judul yang sama Kamila orangnya easy going. Fadhil kaku banget. Kamila pengangguran, Fadhil workaholic nomor satu. Kamila suka duit, Fadhil suka ketenangan. Waktu dua keluarga jodohin mereka, Fadh...