6. Nggak Jadi Meeting, Ya?

69.4K 10.7K 348
                                    

Kamila nggak bisa tidur.

Sepanjang malem dia nangis sesegukan kayak bayi nggak dikasih dot sama emaknya.

Kan.

Udah dibilang nggak segampang beli es krim.

"Katanya mau debay," ucap gue sambil ngelus-ngelus pala dia.

Kamila masih aja sesegukan. "Kok kayaknya mau ketemu debay susah ya, Dhil?"

Ya memangnya kayak dongeng anak-anak. Ada burung bangau nganterin bayi.

Gue nenangin Kamila sampe subuh. Barulah jam empat gue beranjak ke kamar mandi.

"Mau ke mana?" tanya Kamila manja banget.

"Mandi. Solat," tandas gue.

"Jangan pergi!"

Ya ampun....

"Bentaran doang," gue garuk-garuk kepala. Punya bini gini amat, yak.

"Lo juga harus mandi. Pernah belajar Agama kan pas SMA?" tanya gue meyakinkan diri kalau Kamila tau apa yang harus dia lakukan sekarang.

Kamila berdesis sengit. "Pernah, lah."

"Belajar apa hayo?"

"Ngaji."

Gue nepok jidat. Ya Allah... begini amat punya bini.

Jadilah gue ngajarin Kamila apa yang harus dia lakukan setelah... bikin debay. Kamila ngangguk-ngangguk. Gue ragu dia ngerti atau nggak. Yang penting udah gue ajarin.

"Pas sekolah lo ngapain aja, dah?" tanya gue heran.

"Ketemu temen, lah," jawab Kamila seraya gue tuntun ke kamar mandi. Jadi ceritanya setelah tau kalo dia harus mandi, Kamila pengin mandi duluan.

Kamila jalan susah payah di samping gue. Gue jadi nggak enak. Kayak abis melukai anak orang.

"Nggak belajar?" tanya gue makin heran.

Gue sama Kamila udah sampe depan kamar mandi. Dia ngeliat kamar mandi, celingukan kayak bocah minta jajan. Lalu dia liat gue. "Dhil, tadi doanya gimana?" tanya Kamila.

Ya Allah....

***

Pas sarapan, Kamila ngeliat gue terus. Kayak ada yang mau diomongin. Padahal sekarang gue lagi nggak mau banget ngomong sama bocah satu itu. Pertama gue ngantuk. Kedua gue capek. Ketiga jam satu siang gue bakal ada meeting.

"Kenape?" tanya gue setelah dilirik berkali-kali.

Kamila meneguk ludahnya. "Dhil, hari ini bolos kerja, yuk...."

Lah. Kayak ngajak main ketapel dia.

"Gimana, gimana?" tanya gue menuntut penjelasan.

Kamila natep gue penuh permohonan. "Temenin gue hari ini, yuk...."

"Gue ada meeting, Mil."

"Gue pengin banget ditemenin lo, Dhil. Hari ini, aja. Nggak neko-neko, deh," pinta Kamila.

"Mil...."

Gue nggak tau harus ngapain. Ini kali pertamanya gue liat Kamila mohon-mohon sampe kayak gitu. Lama kelamaan gue lemah juga, kan....

"Kali aja debaynya udah terbentuk. Ini ratapan debaynya, Dhil, bukan ratapan gue," tambah Kamila makin ngaco.

"Nggak! Nggak bisa!"

Satu jam kemudian, gue ganti baju lagi dari kemeja jadi kaos oblong dan dari celana bahan jadi celana boxer. Di samping gue, Kamila udah seneng banget. Dia muterin drakornya di laptop sambil meluk-meluk gue di kasur.

Dikata guling.

"Dhil, lo mirip deh sama Gang Tae," ucap Kamila tiba-tiba.

Siapa pula Gang Tae?

Melihat wajah gue yang kebingungan, Kamila menunjuk drakor di hadapannya. Gue cuma mangap O doang.

"Sama-sama penyayang, sama-sama perhatian, sama-sama ganteng," tutur Kamila.

"Lo suka sama Gang Tae?" tanya gue dengan alis berkerut kayak ulet bulu.

"Suka, lah!"

Kok gue merasa terselingkuhi.

"Ya udah, dipeluk sama Gang Tae aja," decak gue berusaha melepaskan diri.

Kamila terkekeh, mengeratkan pelukan kita berdua. "Suka soalnya mirip Fadhil."

Dih. Bisaan.

Ini juga kenapa gue nggak bisa berhenti senyum?! Perlihatkan ketegasan di wajah lo, Dhil! Jangan senyum-senyum! Jangan mesem-mesem. Apalagi gara-gara ucapan Kamila!

Ketika jam menunjukkan pukul sepuluh, gue berusaha bangkit dari kasur. Tapi lagi-lagi, Kamila nahan gue dengan muka sok unyunya. "Mau kemanaaa?" tanyanya.

Clingy banget Anda.

"Mau meeting jam satu," tandas gue langsung.

"Diundur aja. Hari ini mau bareng lo pokoknya!" seru Kamila kekeuh.

Gue mengerutkan alis. "Apaan sih, Mil, manja banget."

Mendengar itu, Kamila sejenak terdiam. Dia natep gue, lama. Gue ngerasa ucapan gue udah keterlaluan karena dia kayak sakit hati gitu dengernya. Gue mau nyoba buat bilang kalo gue bakal mundurin meetingnya, tapi Kamila keburu senyum.

"Ya udah, nggak apa-apa," ucap Kamila.

"Mil–"

"Sana, nanti telat," Kamila ngedorong gue ngejauh, terus membelakangi gue sambil nonton drakornya lagi.

Hati gue rasanya kayak kecubit.

Pokoknya abis ini gue bakal beli sushi kesukaannya Kamila.

Gue beranjak mendekat dan memberi sun di kepala Kamila. "Entar gue pulangnya cepet, kok. Cuma meeting doang," ucap gue.

"Hmmm."

Dih. Gitu doang. Apa beneran marah ya ni bocah?

Ah, tau, ah. Lagian tujuan awal gue kan buat merger. Kenapa harus peduli sama perasaan dedemit satu ini?

Iya, kan?

PrivilegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang