5. Debay

72K 11K 488
                                    

Gue baru pulang kerja ketika nemu Kamila ngejogrok di sofa ruang tamu. Mana lampunya dimatiin. Bikin Kamila mirip Mbak Kunti. Gue ngelus dada, berusaha mengingat nggak perlu baca ayat kursi karena Kamila bukan setan.

Tapi ya gimana. Kadang kelakuannya kayak setan.

"Ngapain lo di sana?" tanya gue.

Kamila nggak ngerespon. Dia natep lantai kayak lagi banyak pikiran. Banyak pikiran apaan. Kerja aja kagak. Kerjaan Kamila tuh pagi bangun tidur, sarapan, terus ke kamar kalo nggak baca Webtoon, ya baca Kakaopage. Abis itu siangnya makan siang dibuatin ART. Abis makan siang kalo nggak ketemu sama temen ceriwisnya, ya nonton film. Terus sorenya ganggu gue yang pulang kerja sampe malem kita tidur. Gitu aja terus sampe Odading Mang Oleh laku keras.

"Mil," gue nyenggol bahunya.

Kamila ngerjap. Dia liat gue dengan muka kaget. "Apaan sih, Dhil! Ngagetin aja!" serunya bete.

Lah. Yang ngagetin siapa. Yang ngambek siapa.

Kamila bangkit dan ke arah dapur buat nyeduh teh. Meski malesnya kayak apa, dia suka banget bikinin teh buat gue sama dia. Nggak tau kenapa. Padahal gue aja nggak pernah minta. Tapi seduhan tehnya Kamila tuh ngangenin.

"Kenapa?" tanya gue karena muka Kamila masih kayak banyak pikiran gitu. 

"Dhil...," mulai Kamila.

Gue nyeruput tehnya sambil dengerin apa yang akan Kamila katakan.

"Buat anak, yuk," ajak Kamila.

Teh gue muncrat ke meja makan.

Gila.

"Hah?" tanya gue dengan muka cengo. "Tiba-tiba banget?"

Kamila memajukan badannya. Mukanya kayak sales yang lagi menjualkan produknya. "Temen gue udah ada yang ngisi, Dhil! Terus temen-temen bakal ngadain shower, shower apa, gitu."

"Baby shower," koreksi gue.

"Iya, itu!" Kamila mengerucutkan bibirnya. "Dhil... pengen...."

Haduh.

Dikata bikin anak kayak beli es krim, apa.

"Emang lo ngerti caranya?" tanya gue skeptis.

Kamila ngangguk yakin. "Udah cari caranya di internet."

LIHAT APA SAJA DIA?

Gue neguk ludah. Mampus. "Ya udah, gue entar solat Isya dulu," ucap gue sambil garuk-garuk kepala.

Kamila natep gue berbinar-binar. "Bener, ya? Bener kan entar kita bikin anak?" tanyanya penuh harap.

"Iya, iya," ucap gue grogi. Ni anak bener-bener, ya. Apa dia nggak merasa dugun-dugun seperti yang gue rasain sekarang?

"Debayyy, Mama dataaang," ucap Kamila bahagia, lalu naik ke lantai dua entah ngapain.

Gue melihat Kamila dengan senyum kecut. Entah kenapa gue cemburu sama debay, padahal wujudnya aja belum ada. Kayak Kamila tuh lebih seneng punya bayi dibanding bareng gue.

Ini gue kenapa, ya?

Pas gue bersihin sisa teh di meja, ponsel gue bunyi. Ternyata dari asisten gue. Katanya penulis novel yang lagi pengin gue pinang setuju buat ngangkat karyanya jadi film. Tentu aja ini menambah kebahagiaan gue.

Gue langsung nelepon asisten gue. "Kapan meeting-nya?" tanya gue harap-harap cemas.

Iyalah. Gue udah nunggu banget bisa meminang novel si penulis satu ini.

"Besok, Pak. Sekitar jam satu siang."

Gue menari hula-hula. "Oke, oke," ucap gue lalu memutus sambungan telepon.

"FADHIIIL. AYOOO," seru Kamila dari lantai dua.

Gue mendadak migrain. "BENTAAAR!"


PrivilegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang