10. Kegiatan Kamila

60.7K 9.8K 240
                                        

Gue ngelirik Kamila yang lagi ganyem nasi uduk di meja makan. Tadi malem, Kamila bener-bener pisah kamar. Padahal awal mula nikah, gue yang ngotot mau pisah kamar karena tidur Kamila muter. Sekarang pas Kamila nggak ada, lengan gue kedinginan.

Kamila mikir yang sama juga nggak, ya?

"Mil," gue berdehem-dehem. Kamila ngedongak, nunggu gue ngomong apapun yang gue mau omongin. Tumben ni anak pendiem. "Tidurnya jangan pisah, dong," pinta gue.

"Ntar hamil. Gue nggak mau hamil," tandas Kamila langsung.

Gue ngedengus. "Enggak, kok. Nggak," ucap gue.

Kamila masih diem. Anjir. Muter otak nih gue. Gue mulai cari cara supaya Kamila nggak pisah kamar lagi. Yang gue tau, Kamila lagi bete karena nggak ada kegiatan, makanya mau debay.

Ah.

Gue punya ide!

"Mil, lo mau kursus baking, nggak?" tanya gue sumringah. "Gue tau tempat yang bagus. Waktu itu–" gue hampir nyebut nama Siska. Karena Siska juga pernah ikut kursus itu. "Nggak, nggak," gue mundur.

Kamila udah penasaran. "Kursus apa?" tanyanya mendesak.

Keliatan banget bosennya ni anak.

"Baking," ucap gue, berharap tempat kursus baking yang deket rumah ini bukan cuma kursus yang pernah Siska ikutin aja.

Kamila mengerutkan alis. Berpikir keras.

"Bikin kue," gue menginfokan lebih lanjut.

Kamila mangap O lebar. "Gue tau kali, Dhil."

Iya, iya. Gue akan menganggap begitu.

"Mau, nggak?" tanya gue.

Kamila lanjut berpikir keras. Kalo udah mikir gini, tempo dia nyuapin nasi uduk ke mulutnya dua kali lebih cepet. Begitu pula ganyem tempe goreng.

Gue heran. Ni anak makannya serampangan tapi tetep aja langsing. Kakak kembar gue, Larissa, baru makan kue dikit aja pipinya gembung.

"Mau, deh," ucap Kamila.

Nah. Pucuk dicinta ulam pun tiba.

Gue mesem-mesem. "Tapi tidurnya bareng, ya."

Kamila melotot. "Nggak."

"Beneran gue nggak ngapa-ngapain, Mil," bahu gue loyo. "Pengen pelukan aja biar nyenyak tidurnya."

Iya. Tadi malem gue nggak bisa tidur. Mau ke kamar Kamila, kamarnya dikunci. Siadul.

"Janji, ya?" tanya Kamila natep gue memohon.

Gue berusaha nyembunyiin senyum. "Iya, iya. Janji."

Kamila mengangguk santai. "Ya udah entar gue pindahin lagi laptop gue ke kamar kita."

"Iya, iya."

Janji kan ada untuk dilanggar, ya?

***

Gue lagi baca naskah film yang dibuat Siska berulang-ulang. Sementara Siska di depan gue belingsatan takut dikomen. Yah, yang namanya bikin film, pasti ada aja yang dikomen. Kalo dari naskah film yang dibuat Siska, sebenernya gue masih ragu sama babak kedua sama ketiganya.

Gue ngedongak. Siska pura-pura nyeruput lemon teanya. Ni cewek. Gue sampe apal betul kelakuannya kalo nervous.

"Ka, ini bagian babak dua sama tiganya apa nggak terlalu dragging?" tanya gue nunjukkin adegan yang Siska tulis.

Siska mengambil tab gue dan ngeliat adegan itu. "Tapi ini penting sih, Dhil, buat foreshadowing adegan terakhir."

"Gitu, ya," gue ngelus-ngelus dagu. Bener sih, kalo nggak ada adegan ini, adegan penutup bakal hambar.

Saat ini gue sama Siska lagi meeting di restoran Italia yang kemarin. Sebenernya gue rada takut juga di sini, soalnya gue sadar kalo ini tempat jajahan Kamila juga sama temen-temen ceriwisnya. Gimana kalo entar kita ketemu? Apalagi sekarang jam makan siang. Waktunya Kamila keluar dari sarangnya buat ketemu orang-orang atau ke bioskop nonton film.

Iya, dia ke bioskop sendirian. Nggak takut. Malah seru katanya. Bisa milih sendiri film apa yang mau dia tonton.

Gue berharap aja nggak ketemu Kamila.

Setelah meeting gue selesai, Siska ngecek hape berkali-kali dengan muka super panik.

Kenape ni? Ade ape?

"Ka?" tanya gue.

"Dhil, gue buru-buru, nih. Sorry. Gue mau beli obat buat Ayah," ucapnya.

"Obat apa?"

Pas Siska nyebut nama obatnya, gue tau tu obat ada di lantai bawah. "Gue anterin," ucap gue pas Siska nggak ngudeng-ngudeng arahan gue buat ke apoteknya.

"Sorry ngerepotin," ucap Siska.

Jadilah gue ngebantuin mantan gue itu ke apotek. Dan tebak apa? Seperti film-film rom-com, gue ketemu Kamila! Sama temen ceriwisnya! Gila!

Kamila natep gue, terus natep Siska. Seakan ada tanduk di kepalanya, dia tersenyum jahil.

Nah, kan. Abis gue diledekin ni bocah.

"Kamila, ini Siska. Siska, ini Kamila," gue memperkenalkan mereka berdua.

Kamila nyambut tangan Siska. Gue melotot karena Kamila kelewat keras genggamnya. Sampe Siska ngeringis. Gue melerai ikatan tangan mereka.

"Siska ini penulis novel yang aku ceritain waktu itu ke kamu," tutur gue.

Bola mata Kamila membesar ketika gue nyebut kata 'aku-kamu'. Mungkin bagi dia itu kayak keajaiban dunia. Tapi ya masa gue nyebut 'gue-lo'?

"Oh, haiii. Ini Kamila. Istrinya Fadhil," Kamila tersenyum mesem-mesem kayak yang menang.

"Mil, aku masih ada urusan. Nanti kita ketemu di rumah, ya," gue sun kepalanya supaya dia nggak ganggu lagi. Bener aja, Kamila seneng. Gue ninggalin dia untuk bergegas ke apotek.

Dari belakang, gue denger temen-temen ceriwisnya mulai bersorak seneng kayak kumpulan bebek menjadi satu.

Gue diem-diem tersenyum.

Lucu bener.

Sementara, tanpa gue sadar, Siska natep gue dengan tatapan yang sulit diartikan.

***

Kamila sama Fadhil tuh moodbooster aku saat ini 🤣🤣🤣 Sayang mereka banyak-banyak! Sejauh ini, menurut kamu gimana cerita Privileges?



PrivilegesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang