"Mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu itu ternyata menyakitkan."
***
"Hari ini persidangan Rain, kau mau hadir?"
Luna menatap pria di seberang meja yang sejak tadi tidak kunjung berbicara. Diam saja memandangi cangkir kopi yang kian lama kian hilang asapnya, mendingin.
"Untuk apa? Gadis yang jadi asal muasal semua ini saja entah ada di mana saat ini." Andika melirik perempuan di seberang meja, dari raut wajahnya jelas dia begitu tertekan dan lelah.
Menghadapi semua kasus Via, mengurus perusahaan, membiayai ayah Via yang menyebalkan itu, juga mencari tiada henti tentang keberadaan Via jelas menguras waktu, tenaga, juga pikiran. Tubuhnya kini begitu kurus karena tidak makan dengan teratur.
Untuk ke sekian kali mereka duduk bersama seperti ini. Sejak Via menghilang, Luna memang lebih sering bertemu dengan Andika, sekadar bercakap ringan walau seringnya hanya Luna saja yang mengoceh panjang lebar. Andika tetap saja seperti itu, sibuk merenung dengan pikiran dan dunianya sendiri.
"Ini sudah hampir 3 bulan Andika, kamu tidak bisa terus menerus seperti ini." Gadis itu mencondongkan tubuh. Menatap netra sendu di depannya lurus.
"Belajarlah menerima, kalau memang dia masih hidup, berdoa saja dia bahagia dengan kehidupannya. Dan kalau dia sudah tiada, berdo'a lah agar dengan cara apapun dia bisa tenang di sisiNya." Diraihnya jemari yang terlipat di atas meja itu pelan. Digenggam erat seolah hendak menguatkan.
Andika menghela, entahlah apa sebetulnya yang dia inginkan. Menyerah jelas tidak mungkin, dia ingin walau sekali kembali bertemu dengan Via, bagaimanapun dan dalam keadaan apapun.
Lantas ... dilanjutkanpun dia sudah terlampau lelah. Lelah dengan semua ini, lelah terus menanti tanpa ada kejelasan. Lelah terus berjalan dalam kegelapan.
Bibir tipis pria itu berusaha mengukir senyum. Sebelah tangan yang lain balas menggenggam, "terimakasih sudah selalu hadir menemani masa sulit ini ya?"
Luna membalas senyuman itu, mengangguk kecil. Selama beberapa saat mereka saling bertatapan, seolah menyelam ke dasar pikiran masing-masing. Mencari sesuatu yang terpendam di dalam sana.
Drttt ....
Andika mengerjap, getar ponsel yang dia taruh di atas meja membuatnya gegas mengalihkan pandangan. Diraihnya benda pipih itu kemudian di tempelkan ke telinga kanan.
"Iya Yas? Apa?! Bagaimana bisa?!"
Luna mengerutkan dahi melihat ekspresi wajah Andika yang mengeras saat mendengar penjelasan seseorang di telpon. Terlebih saat laki-laki itu tiba-tiba saja bangkit dari atas kursi, memakai kembali jas yang tersampir di sana.
"Ada apa?" Luna ikut bangkit, dia merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
"Tongkat baseball yang jadi barang bukti kasus Via menghilang!"
***
"Bodoh! Bagaimana bisa benda sebesar itu hilang?! Apa kalian ingin kita semua dipecat?!"
Kapten Aris untuk ke sekian kali menggebrak meja. Kali ini dia betul-betul merasa sudah dipermainkan oleh kasus remeh yang tidak kunjung memiliki titik terang itu. Jejak keberadaan Via saja masih belum ditemukan, dan sekarang satu-satunya barang bukti raib begitu saja dari kantor kejaksaan!
"Saya tidak tahu pak, sewaktu meninggalkan ruangan penyimpanan barang bukti, saya sangat yakin tongkat itu disimpan dalam loker yang terkunci rapat, ini ... kuncinya saja masih saya kantongi." Petugas yang bertugas mengamankan barang bukti di kantor kejaksaan itu menunjukan kunci dari kuningan. Kapten Aris meremas kepala dengan frustasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] V : RETALIATION ( Kisah di Balik Penjara)
AkcjaWARNING!!! 18+ Hampir keseluruhan isi cerita mengandung unsur kekerasan fisik, olah racun, serta aksi kejahatan dan pembunuhan. Tidak untuk ditiru apalagi dicoba!! **** V, seorang PRConsultan yang menjadi terdakwa seumur hidup setelah membunuh seo...