"Waktu selalu penuh dengan permainan, saat kau menikmatinya, dia akan dengan kejam berlalu begitu saja. "
***
"Loh ... Na, jam segini belum siap-siap? Kita ada jadwal terapi."
Reano melipat lengan di ambang pintu kamar. Melihat Via masih terlihat mematung di depan meja rias. Kemeja linen putih yang dia kenakan terlihat hampir bercampur warna dengan kulit mulusnya. Untuk sesaat gadis itu tak ubah seperti manekin yang kerap menghiasi berbagai rumah busana.
Via tidak bergerak dari tempatnya, tetap mematung tanpa suara, memandangi pantulan dirinya sendiri dari cermin besar itu. Berbagai macam alat make up dan skincare dengan merk dagang ternama memenuhi hampir setiap inchi meja riasnya.
"Kamu baik-baik saja? Ada yang sakit?"
Merasa cemas dengan kebisuan gadis itu Reano mendekat, berjongkok di hadapan Via seraya memeriksa tangan dan kakinya.
"Bisakah hari ini tidak usah terapi?" Tiba-tiba saja Via membuka suara, tatapan matanya tetap kosong, tidak mengisyaratkan apapun. Seperti danau mati tanpa cahaya bulan di malam gelap.
"Kenapa?" Reano balas bertanya.
Selama beberapa saat gadis itu tidak mengatakan apa-apa, hanya diam membisu seraya menatap pria di hadapannya. Ada kata yang tidak sanggup terucap, menggantung di dalam angan-angan saja.
"Hari ini kau libur kan?"
"Iya, kenapa?" Sekalipun agak ganjil dengan sikap Via, Reano menganggukan kepala.
"Apa yang ingin kau lakukan hari ini?" Kejar Via. Masih dengan eskpresi yang tidak bisa dibaca. Mulai menyisir rambut yang sekarang sudah lebih panjang. Sebuah jepit keperakan berbentuk jalinan bunga dia sematkan di selah rambutnya.
"Tidak tahu," Reano menggeleng pelan, berdiri di balik bahu gadis itu.
Ini kali pertama dia melihat Via berhias, cantik sekali melihatnya. Raut wajah itu mengingatkan dirinya pada sekuntum bunga Plum yang mekar pagi hari di dataran Liang.
"Kenapa memandangiku seperti itu? Aku cantik?" Via meliriknya dari pantulan cermin.
Reano tersenyum tipis, menarik salah satu laci kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil Cartier berwarna biru dari beludru. Ketika kotak itu dibuka, seuntai kalung dengan liontin berbentuk bunga berkilau di dalamnya.
Reano mengambil jalinan kalung itu kemudian memasangkannya di leher Via. "Dengan ini semakin cantik lagi." Ucapnya, tersenyum manis seraya membetulkan kembali posisi rambut gadis itu.
Via mengerjap, menyentuh ukiran berbentuk bunga itu dengan ujung jarinya. Jantung yang semula berdetak normal tanpa bisa dicegah mulai bertambah ritmenya.
"Kau serius tidak ingin pergi ke manapun?" Gadis itu kembali bertanya. Bukan menjawab, Reano justru melingkarkan sepasang lengan di pinggangnya.
"Ini saja sudah cukup." Ucap laki-laki itu pelan, hembus napasnya menerpa leher. Memberikan kesan aneh yang belum pernah dia rasakan.
"Kalau begitu aku pergi sendiri saja." Tukas Via seraya melepaskan diri dari pelukan pria itu. Meraih sling-bag berwarna hitam dengan rantai emas dari atas nakas.
"Pergi?"
"Iya, aku sudah ada di sini tiga bulan lebih, tapi kita belum pernah sekalipun jalan-jalan ke luar tanpa ada yang mengikuti. Menyebalkan." Via mengeluh pelan, memilin bibir dengan wajah merajuk yang justru tampak lucu.
"Apakah ini ajakan kencan?" Reano tersenyum miring dengan wajah menggoda.
Via berdecih, memalingkan wajah kemudian meraih tongkat bantu jalan di sebelah meja rias.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] V : RETALIATION ( Kisah di Balik Penjara)
AçãoWARNING!!! 18+ Hampir keseluruhan isi cerita mengandung unsur kekerasan fisik, olah racun, serta aksi kejahatan dan pembunuhan. Tidak untuk ditiru apalagi dicoba!! **** V, seorang PRConsultan yang menjadi terdakwa seumur hidup setelah membunuh seo...