"Selalu ada keheningan menjelang badai. Tapi, kebanyakan manusia sering lalai, abai dan terbuai, tidak sadar kalau Malaikat Maut tengah mengintai."
***
"Apa sebenarnya yang terjadi? Kenapa para wartawan dan polisi itu membubarkan diri?"
Baru saja kembali ke dalam rumah, Reano mendapati seorang perempuan berdiri mematung di depan lift. Memeluk diri sendiri dengan wajah kebingungan.
Reano tidak menjawab, tubuhnya limbung. Menubruk perempuan itu kemudian menjatuhkan diri ke dalam pelukannya. "Hei ... kau kenapa Re? Apa yang terjadi?" Gadis itu seketika cemas, memapah laki-laki bertubuh tinggi itu dengan susah payah. Membantunya duduk bersandar di atas sofa.
"Loh ... wajahmu terluka! Tunggu sebentar, aku akan mengambil kotak P3K." Gadis itu membulatkan mata, mendapati luka lebam di pipi, pelipis serta sudut bibirnya. Dia hendak beranjak pergi, namun sebelah tangan Reano mencegahnya.
"Jangan pergi." Bisik laki-laki itu hampir tidak terdengar. "Mendekatlah," lanjutnya.
Gadis itu ragu-ragu mendekat, duduk di sebelahnya. Dan Reano tanpa diduga menyandarkan kepalanya di bahu gadis itu, melingkarkan sebelah tangan di pinggangnya.
"Maafkan aku ...," dia kembali berbisik. "Maafkan aku yang terpaksa membunuhmu Via." Lanjutnya.
Gadis itu membeku, "apa maksudmu?"
Reano tidak langsung menjawab, lebih dulu melepaskan pelukan kemudian tersenyum ke arah perempuan yang masih memakai baju terusan itu. Yang berbeda hanyalah rambutnya saja yang kini berubah menjadi cokelat terang, tergerai berombak.
"Aku meminta beberapa anak buahku menaruh jasad seseorang di sebuah gudang kosong dekat dengan rumah lama-mu. Menggiring polisi ke sana. Dan memastikan mereka menganggap itu adalah mayatmu." Jelasnya.
Via terperangah. "Bagaimana bisa?!"
"Aku sudah tahu ini akan terjadi, makanya tiga bulan lalu kuminta anak buahku menyiapkan skenario ini. Mencari penjahat dengan postur tubuh yang mirip dengan kamu, lalu menangkapnya dengan cara yang sama bagaimana kamu di lukai." Kembali, pria itu menjelaskan, sesekali meringis menahan ngilu.
"Ceritanya tahan dulu, aku akan mengambil obat untuk membersihkan lukamu." Via menepuk bahu pria itu pelan, tergesa pergi ke dalam kamar. Mengambil kotak P3K yang ada di laci dekat kepala ranjang.
Dia tidak lama kembali lagi, mengeluarkan alkohol, kapas, serta betadine kemudian mulai membersihkan luka-luka itu.
"Aw, sakit! Kau mau membunuhku ya?!" Reano mengerang kesakitan. Hendak menepis tangan Via namun gadis itu mencegahnya. "Kau membunuh perempuan yang tidak berdosa saja bisa, kenapan menahan sedikit perih harus merengek-rengek?" Gadis itu mendesis, tatapan matanya meruncing.
"Aku tidak punya pilihan lain." Reano berkilah.
"Selalu ada pilihan lain Re, kau bisa membiarkan aku tetap-"
"Menyerahkan diri kepada pria brengsek itu? Masuk ke dalam penjara lagi? Dihukum seumur hidup? Tidak Na, aku tidak bisa membiarkan itu." Reano menggeleng tegas.
"Tapi ini percuma Re, aku sudah lelah terus bersembunyi. Lambat laun trik kotormu ini pasti akan ketahuan juga. Dan saat itu terjadi, mungkin keadaannya akan lebih buruk dari ini." Via mendesah lelah.
"Siapa yang menyuruhmu bersembunyi? Aku hanya membunuh Via Nadhira, bukan Nadhira Daniswara. Calon istriku."
Tangan pria itu terulur menyentuh lembut pipi tirus nan pucat dari gadis di hadapannya. "Mulai sekarang, hiduplah sebagai Nadhira. Tidak perlu bersembunyi lagi, tidak usah masuk penjara lagi. Kau berhak hidup dengan normal dan bahagia Na." Lanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] V : RETALIATION ( Kisah di Balik Penjara)
AcciónWARNING!!! 18+ Hampir keseluruhan isi cerita mengandung unsur kekerasan fisik, olah racun, serta aksi kejahatan dan pembunuhan. Tidak untuk ditiru apalagi dicoba!! **** V, seorang PRConsultan yang menjadi terdakwa seumur hidup setelah membunuh seo...