Lebih dari tiga kali, Jay memikirkan tentang sesuatu yang besar besok. Dia kembali termenung sejak semalam. Haruskah dia melibatkan orang lain yang jelas-jelas tidak tahu apa-apa? Atau memulai perang sendiri dengan kebimbangan yang mendominasi?
¥
Mata Jay tak lepas dari sang ibu yang duduk di sampingnya, kursi bagian depan sebelah pengemudi. Dengan menatap dalam, dia terus merapal mantra ampuh kenapa dirinya bisa berada di jalanan ini untuk ke Sukabumi.
"Masih jauh, Jay?" tanya Ibu yang mulai membuka mata. Menggeser sedikit tubuhnya, beranjak bangun.
"Sebentar lagi sampai, Bu." Jay membantu membenarkan rambut ibunya, tangannya beralih mengambil tas sang ibu yang disimpan di depan. "Mau pakai jilbab?"
"Iya." Ibu membuka sabuk pengaman. Jalur yang dimasuki mobilnya kini sudah memasuki kawasan yang tak rawan.
"Nin, Jod, kalian juga bangun. Nanti bantuin bawa perlengkapannya, ya. Ibu udah enggak sabar."
"Jay, emang udah serius mau langsung nikah? Kalian ketemu di dunia maya, inget. Yang ketemu di dunia nyata aja bisa nipu apala-"
"Nin ...."
"Mpok!" panggil Jody dan Tari berbarengan. "Kalau suuzon terus sama orang, gimana mau maju idupmu, Mpok!"
Tari terkekeh dengan anaknya yang selalu bisa diandalkan. Meskipun bahasanya yang kadang kelewatan untuk melawan Mbaknya, tetapi ungkapannya selalu manjur untuk menyadarkan.
"Semoga tidak seperti yang kita khawatirkan, Mbak. Aku mengenalnya, dia wanita baik-baik." Jay mengambil alih kebijakannya. Bimbang? Tentu saja, tetapi bergerak mundur dan menunggu lagi bukan hal yang tepat.
"Sampai, Mbak. Kita turun."
Satu keluarga yang terdiri dari empat orang itu menurunkan segala seserahan yang dibawanya. Keluarga Via datang menyambut. Ada rasa tak sabar dalam diri Jay untuk melihat calonnya, ia calon, jika bisa dikatakan begitu.
Ibu yang memang cepat sekali akrab dan sifat nenek Via yang tidak jauh berbeda, sedikit mendamaikan jantung Jay. Berharap bahwa dia tidak salah pilih. Namun, Nindya sedari tadi sibuk mengunyah makanan ringan yang disediakan dengan titik fokus hanya pada ponsel, membuat Jay kesal.
"Mbak. Jangan liat hp mulu, dong." Dua kali Jay menyadarkannya, tanggapan dari kakaknya itu tetap sama.
"Hmm," balasnya dan kembali melihat ponsel.
Via datang, menyambut ibu Jay dengan mencium tangan dan memeluknya. Sama persis, batin Jay. Bola mata yang tidak sengaja melihatnya itu memalingkan wajah, Jay menimpali kelakuannya hanya dengan senyuman. Wanita itu cantik, usia dua puluh empat tahun dirasa pas dengan postur tubuh dan riasan sederhananya.
"Jay," panggil sang ibu.
Dengan menyisakan sedikit kegamangan, ucapan pria itu tegas menyampaikan maksud. Dorongan kuat dari sang ibu, Jay terus mengajukan niatnya untuk meminang Via. Namun, saat jawaban Via menggantung meski sudah dipanggil oleh nenek dan kakeknya. Jay termenung, apa aku tak sesuai ekspektasinya?
"Via siap," ucap Via teguh. Begitulah yang ada dalam pikiran Jay.
Nindya memperhatikan calon adiknya, dari atas ke bawah. Lalu membisiki sesuatu ke telinga Jay. "Cantik, awas matre!"
Jay marah, tentu saja. Bagaimana jika ada orang yang mendengar ucapan mereka atau memperhatikan gelagat mereka. Jody pun hanya memperhatikan kedua kakaknya yang sedang bisik-bisik tetangga dengan menggeleng. Baru tadi lafaz hamdalah dikemukakan banyak orang dan hanya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]
General Fiction"Katanya kalau kita hidup di pasar jodohnya bakal sama orang pasar juga, seperti penjual dan pembeli. Begitulah selintingan yang pernah kudengar, dan aku membuktikannya. Menggeluti dunia kepenulisan, bertemu dan banyak belajar dari laki-laki itu, ak...