Tajuk 16: Kehamilan dan Ketidakpercayaan

58 15 0
                                    

"Ada masalah apa, Teh? Eh, maksudnya ...," ucap Jay ragu. Dia menatap kaca spion di sisi kanan dan memperhatikan wajah kakak iparnya. Mungkin, sedang menerka ekspresi wajah apa yang tercetak di sana. Namun, wanita berjilbab pasmina blue steel itu hanya tersenyum sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling.

"Via enggak sakit, kok. Kata dokter juga gak apa-apa." Bohong! Sebelum berada di jalan raya ini, mimik wajah Via terkejut bukan kepalang. Namun, seseorang tidak harus tahu apa yang menjadikannya seterkejut itu.

"Kenapa Mas Jay tidur di kamar Jody, Teh? Pasti ada masalah." Jody memulai pembicaraan yang mengusik kedamaian Via.

"Tidak ada komentar," kata Via setelah beberapa saat menimang untuk memberi tahu adik iparnya itu atau tidak, dan ... itu akhirnya. "Ayo cepetan. Aku punya jadwal buat nulis sore ini. Ntar keburu ilang idenya."

Alasan itu selalu membuat Via terkekang dalam kebohongan karena setelah menikah dan berpindah ke rumah Jay, dia sudah tak lagi menyentuh aksara. Dia lebih fokus pada pekerjaannya mendesain, membantu sang suami dan lebih jauh menelaah tentang itu. Tentang menulis, rasanya otak untuk menemukan ide telah kaku.

Mereka sampai di depan rumah. Ibu yang berada di depan rumah seperti H2C (harap-harap cemas) dengan kabar yang akan didapatkannya. Via meremas gamis mist-nya dan segera menghampiri wanita itu. Tak mau kalah, ibu menyapa lebih dulu padahal jarak mereka masih jauh.

"Apa kata dokter? Positif, kan?" Mata ibu terlihat berbinar. Pancaran matanya membuat Via ragu untuk berbohong, tetapi dia sudah lebih dulu berbohong pada Jod. Bagaimana ini? batin Via.

"Ehm, Via .... Ah, ehm ... gini, Bu-"

"Lagi apa?" tanya Jay yang mengagetkan Via dan ibu. Ibu melihat Jay lalu mendelikkan mata.

"Ibu mau punya cucu kayaknya, Jay. Dirimu kurang perhatian banget sama istri."

"Oh? Masa?" Jay seakan-akan tak acuh. Bukan, dia tidak percaya jika istrinya hamil.

"Kok masa? Bener, kan, kalian ada masalah? Di belakang ibu kalian diem-diem-an, di depan kayak yang bahagia. Kenapa sih?"

"Apa sih, Bu? Kita masa gitu, kayak anak-anak?" Jay berubah ekspresi, dia melihat Via tengah menunduk. "Kita enggak ada apa-apa, kan, Vi?"

Mau tak mau Via mengangkat wajahnya, gamisnya sudah kusut karena tangan Via meremasnya lebih kuat. "Iya, Kak. Ibu nih, udah aku bilangin kita enggak apa-apa. Eh, beliau ngotot." Merasa berhasil mengendalikan diri, Via melanjutkan omong kosongnya. "Yuk ah, kita ke kamar Kak." Via mengangguk pada ibu dan mengusap bahu kirinya lantas berlalu.

Via mendahului Jay, dia mempercepat langkahnya agar tidak berbarengan dengan Jay. Sebisa mungkin dia tidak melakukan kontak mata dengan Jay. Begitu masuk dia langsung ke kamar mandi dan memuntahkan lagi semua isi perutnya. Berada di dalam kamar mandi lebih aman dibandingkan berduaan dengan suami yang dingin di kamarnya yang megah.

"Apa yang terjadi?" Jay memulai pembicaraan ketika Via baru saja keluar kamar kecil. "Kau hamil? Tidak mungkin. Kita hanya melakukannya dua kali, 'kan?kenapa bisa hamil?" Menurutmu kenapa aku bisa hamil, Kak?

Via meringis, bagaimana bisa suaminya berpikiran begitu? Ah, jadi lebih baik dia tak memberitahukan apa pun pada suaminya. Cukup hanya dia yang tahu tentang bayi yang dikandungnya.

Via lagi-lagi mengabaikan ocehan Jay yang melarang dirinya untuk bercerita pada sang ibu. Takut akan hal yang menyakiti perasaannya. Via juga mengabaikan perlakuan Jay padanya yang acuh tak acuh tak terbantahkan. Kini via sadar dia memiliki alasan yang benar untuk tetap bertahan dalam rumah tangga yang tidak memiliki kepercayaan. Dia yakin suatu saat nanti, perjuangan untuk mampu bertahan terbayar dengan hasil yang memuaskan dengan banyak kebahagiaan. Semoga.

¥

Jody mengajak Via jogging, jalan santai. Mereka bercengkerama ke sana ke mari tentang pekerjaan Jody yang dulu menjadi software developer. Via juga menceritakan dirinya yang bekerja di pasar dan sebagai penulis. Jody memberinya semangat tambahan untuk terus meyakini hari.

"Jody tahu meskipun belum berumah tangga, Teh. Selesaikan masalah dengan kepala adem. Ntar, biar Jody yang coba ngobrol sama dia. Teteh fokus sama janin, biar sehat terus." Jody menyuarakan isi hatinya. Meski Via tahu kata-kata barusan tidak mengurangi beban di hatinya, tetapi tetap saja Via membutuhkan semangat itu.

"Tahu dari mana kalau aku hamil?"

"Hasil tes dari dokter yang keselip entah di mana."

Via termenung. Terselip? Ah, aku tidak pernah menyelipkan-

"Ah," pekik Via teringat sesuatu.

"Nih, jangan dibuang, mubazir hehe. Siapa tahu si Jay entar pengen liat."

Big thanks, Jod. Senyum Via mengembang penuh percaya diri. Seperti yang dikatakan sang mertua, si bungsu kadang nyeleneh, arogan, cablak, tetapi dia mampu memberi semangat dan berkata benar. Apa Jay bisa sepertinya? Jody juga tak kurang menyayangi ibunya, tetapi dia selalu mengambil keputusan tanpa tergesa. Ah, sudahlah, tak perlu melakukan perbandingan. Toh, ini keputusanmu, Vi!

Via menyudahi lari paginya. Dia memutuskan untuk pulang lebih dulu karena mau menyiapkan sarapan. Dia menyusuri pekarangan rumahnya terlebih dahulu, melepas penat atau sesak yang tiba-tiba selalu mengganjal. Selalu. Via menyelinap lewat pintu dapur, lalu membersihkan diri di kamar mandi.

Hanya ada sayuran di kulkas, tetapi di wastafel sudah terbuka kantung putih. Kikil sapi berada di sana dengan beberapa potong sudah ada di luar. Via heran, dia memperhatikan semuanya dengan saksama. Apa ibu sudah bangun? pikirnya seraya merapikan potongan yang berceceran dan langsung membersihkannya. Di dapur ada tangga yang menuju ke loteng. Ada satu ruangan, gudang. Via mendengar suara benda jatuh dari lantai atas.

Dia naik ke lantai atas untuk yang ketiga kalinya. Dia melihat ibu sedang mencari sesuatu dan ....

"Nak ...," panggil Tari saat berbalik dan mendapati Via memperhatikannya.

"Bu, ada apa? Kenapa ibu nangis?" Via menghampiri Tari, dirangkulnya tubuh itu dan tepukan dinamis diberikannya.

"Ibu kangen bapak." Via tersenyum menanggapi wanita itu. Dia terus menepuk bahu Tari sesekali mengelus. Pelukan itu diurai dan Via menatap mertuanya.

"Ibu bisa mendoakan bapak, kan? Insyaallah nanti tenang hati ibu."

Tari semakin mengeluarkan air matanya deras. Dia tak tahu kenapa makanan favorit suaminya selalu bisa membuatnya goyah, tak tenang. Tari memeluk Via lagi dan menjatuhkan rasa rindunya pada dekapan sang menantu. Bersyukur ada dia sebagai temanku, Mas.

"Kita turun?" Via mengajak Tari, rangkulannya tidak dilepas dan mereka menuruni tangga bersama. Tari menggenggam tangan Via yang satunya. Mereka lupa bahwa lebar tangga sama dengan tubuh mereka. Jadilah, kesempitan itu membuat gamis yang dipakai ibu terinjak Via dan mereka terjatuh di undak tangga ke delapan. Cukup jauh untuk sampai ke bawah.

"Bu!" teriak Jay yang baru saja keluar kamar. Via yang masih kunang-kunang pun ikut kaget dengan kejadian yang menimpanya.

Tari menindih perut Via dan Jay tidak peduli itu, dia menarik sang ibu. Tatapan melihat ibu seakan merana, Via terkejut dan merasakan perutnya sakit.

Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang