"Kita pindah, Vi." Dari penuturan kalimat itu terdengar jelas bahwa Jay sedang kesal.
Via langsung berdiri dan berpindah ke arah yang ditunjuk Jay. Matanya tak berhenti menatap sosok wanita jahat yang membuat suaminya tidak percaya padanya. Via menggerutu dan menyumpahi Santya yang sedang menyantap bubur paginya. Aku harap nasi yang basah itu mengumpat juga, melompat keluar dari mulut yang sedang melahapnya, batin Via.
Bukan keajaiban, bukan sulap, tetapi selang beberapa detik Santya tersedak. Jay yang sudah mengambil duduk di hadapan Via pun menoleh padanya dengan raut wajah jijik dan berbalik. Via bergetar, doanya nyata terkabul. Dia beristigfar ratusan kali lalu menatap silih berganti pada benda-benda yang ada di sekelilingnya.
Santya benar-benar merasa malu karena bukan hanya Jay dan Via yang ada di sana, tetapi banyak orang lain yang sedang sarapan juga memperhatikan dirinya. Dia mengelap bibirnya dari sudut ke sudut lalu melotot pada teman di hadapannya. Dari sudut matanya dia memandang Jay dan Via yang sebenarnya tidak memperhatikannya. Dengan memicingkan mata santia memberi kode pada temannya untuk pergi. Mereka lalu beranjak tanpa menoleh sedikitpun.
Via merasa bersalah karena sudah mendoakan yang tidak baik. Tangannya tidak berhenti melakukan aksi untuk mengirimkan bubur pada mulutnya. Sama seperti hatinya yang tetap meminta ampun pada-Nya.
"Jay minta maaf sama kejadian kemarin, Vi." Suara Jay memecah keheningan.
Via perlahan-lahan mengangkat wajahnya bersihadap dengan wajah suaminya yang memunculkan raut bersedih. Dia hanya mengangguk atas jawaban dari pertanyaan Jay.
Jay yang terkejut mendapati jawaban Via hanya sebuah anggukan, melanjutkan, "Maaf kalau aku terkesan selalu melimpahkan kekesalan padamu. Sekali lagi Jay minta maaf ...."
"Tak apa, Kak. Via juga paham gimana posisi kakak. Cepetan dihabisin takutnya Ibu nunggu."
Via sedang mencari celah-apa saja-yang bisa dia lakukan untuk tidak selalu berada di dekat Jay. Via takut hatinya akan kembali luluh dan membuat Jay bisa memanfaatkannya kembali. Kenapa pikiranku selalu suuzon begini? Padahal selama hidup aku selalu diberikan kesempatan kedua. Ya, meski kesempatan itu hanyalah pengulangan dalam nilai ujian, bukankah kehidupan memang memerlukan remedial? pikir Via sambil menatap jauh.
"Ayo pulang, Jay udah beres makannya."
Via mengangguk. Dia berjalan terlebih dahulu meninggalkan Jay yang membayar bubur untuk mereka. Tak lupa, dalam genggamannya kini ada sebungkus nasi basah yang menjadi pesanan ibu. Via menunggu di tempat mereka memarkirkan motor.
Jay keluar dan menemui Via, tanpa basa-basi mereka langsung ke rumah. Jay kali ini harus memaklumi apa yang ada di pikiran Via, terutama tentangnya. Dia yakin istrinya punya cara sendiri untuk memaafkan semua kesalahannya, Jay yakin itu.
Menyusuri jalanan dengan istri tentu membahagiakan bagi para suami. Bagaimana sang istri melingkarkan tangannya pada pinggang suami, bagaimana angin menerpa kebahagiaan kedua orang yang tengah menjalin cinta. Jay baru memikirkannya sekarang.
Datang ke rumah tepat waktu, Tari sudah menanti di ruang TV, menanti menu sarapan yang dijanjikan menantunya. Tari sedikit terkejut melihat Via turun dari motor Jay. Sejak kapan anak laki-laki itu ada di sini? ibu ingin bergegas pergi, tetapi dia sudah memanggilnya lebih dulu.
"Nih, Via bawain pesanan ibu. Ini enak banget pasti. Via udah makan di sana, hehe." Via memberondongkan info yang Tari tak ingin mendengarkan kelanjutannya.
"Bu ...," panggil Jay.
"Dari mana aja kamu? Istri baru selesai keguguran, bukannya ditemenin malah kabur entah ke mana. Gimana kalau terjadi apa-apa sama rahimnya waktu malam hari?"
"Bu-" Via hendak mengucapkan kata membantu Jody, tapi ternyata ibu memotongnya lebih dulu.
"Menurutmu keguguran itu tidak menyakitkan? Biasa saja?" Ibu bangkit masih tetap menatap Jay. "Dia butuh perhatian lebih dan dukungan. Istrimu membutuhkan suaminya saat sedang berada dalam keadaan seperti ini. Tapi sayang, suaminya tidak pernah mengerti. Jangankan untuk mengerti, berpikir tentang istrinya sendiri pun tidak," tutur ibu memberondong.
Via mendekati ibu perlahan-lahan, menjatuhkan tangan pada pundak ibu, memberi gerakan pelan dan dinamis.
"Maaf, Bu. Ja-jay ga-gal untuk membahagiakan orang-orang yang sudah menjadi tanggung jawab Jay." Jay menunduk lalu beralih ke kamar.
Via tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Apa lagi pada Jay yang sepertinya akan depresi jika ibu menangis seperti ini lagi. Namun, Via masih tetap memeluk ibu dan mengusap punggungnya dan berujar menenangkan. Aku tahu seharusnya aku tidak berada di sini, pergi dari keluarga ini dan mengembalikan kehangatan antara ibu dan anak. Seharusnya ....
¥
Magrib berkumandang membuat Via tak punya pilihan lain selain memasuki kamarnya. Itu berarti dia akan bertemu dengan Jay, paling tidak berpapasan karena Via yakin Jay akan tidur di kamar Jody. Apa lagi, Jody sedang tidak ada di rumah, itu berarti kamarnya kosong.
Via membuka pintu dengan pelan sekali, dia masuk dan melepaskan jam tangan berwarna kopi di atas meja riasnya. Di cermin, tampak Jay tengah bergulung selimut memeluk tubuhnya sendiri. Via tidak mau ambil pusing dan hanya membangunkannya sebanyak tiga kali. Tak ada jawaban, Via bergegas ke kamar mandi dan berganti pakaian.
Menuntaskan kegiatan sorenya dan ingin tidur lebih cepat. Via lekas duduk di sofa yang berada di samping kanan kasur. Memperhatikan Jay dengan tangannya yang tengah merapikan rambut dengan sisir. Tubuh itu terlihat bergetar dan Via mendekatinya lagi, mengecek keadaan Jay yang terlihat tidak baik.
"Kak Jay!" seru Via, kali ini dia menggoyangkan tubuh Jay.
Kepala yang menyembul keluar dari selimut itu terlihat berkeringat banyak. Via lalu membuka sedikit dan menyentuh kening Jay. Badan Jay panas sekali. Dia demam ternyata, batin Via.
Jay kemudian mengeluarkan igauan-igauan yang tak jelas. Pertama memanggil ibu, maafkan, ya, kata-kata penyesalan yang membuat Via mengeluarkan air mata.
"Kak ... Via ambilin air anget, ya. Sebentar." Via bergegas keluar dan mendapati Nindya sedang berbincang dengan ibu.
"Ada apa, Vi?" tanya Nindya saat melihat wajah adik iparnya itu meringis.
"Kak Jay demam."
Hanya itu info yang bisa Via berikan karena dia tak punya waktu untuk memberi tahu yang lain. Dengan kata lain ibu atau Nindya harus melihatnya sendiri.
Via memasuki kamar, memberi Jay air hangat dan menyuruhnya untuk meminum. Jay bangun dari tidur dan meraih gelas yang ada di genggaman Via. Tangan Jay bergetar, tentu saja Via tak tinggal diam. Dia menengadahkan kepala Jay dan membantunya minum.
Selepas itu dia kembali menidurkan Jay yang terlihat lemah. Sejak kapan Kak Jay sakit? Bukannya tadi baik-baik saja? Via ingin bergerak kembali ke dapur dan membawa kompres, tetapi tangan Jay menahannya. Lalu ....
"Temani Jay, Vi." Suara itu lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]
Ficção Geral"Katanya kalau kita hidup di pasar jodohnya bakal sama orang pasar juga, seperti penjual dan pembeli. Begitulah selintingan yang pernah kudengar, dan aku membuktikannya. Menggeluti dunia kepenulisan, bertemu dan banyak belajar dari laki-laki itu, ak...