Tajuk 9: Sebuah Alasan!

44 16 0
                                    

Acara syukuran berjalan lancar. Dengan dihadiri hampir seluruh keluarga dari pihak Jay, salah satunya adalah dua sejoli yang hari itu datang ke acara pernikahan, Via menelik mereka dengan saksama. Istrinya yang tidak melepaskan pandangan pada ponsel dan suaminya mengasuh dua anak mereka. Dunia memang dalam keadaan terbalik memang.

Via terus berada di sisi Jay. Bukan mau bersifat posesif, toh, ini dihadiri oleh keluarganya sendiri. Rasa malu dan canggung mendominasinya, apalagi saat Mbak Nindy dan Mbak Jia-istrinya Jundi, sepupu Jay-terus menatap dan sesekali membuang wajah pada Via saat tak sengaja berpandangan. Tak hanya sampai di sana, Mbak Nindy dan Jia membahas perihal tingkatan sekolah yang merendahkan tamatan SMA.

Via memandang Jay, berharap dia tahu kalau perasaannya tak enak. Dia juga berharap kalau suaminya tidak menanggapi ocehan mencibir itu. Namun, pada kenyataanya sang suami malah menimpali itu dengan senang hati.

"Kalian enggak ada bahasan lain apa? Toh, enggak kuliah bukan berarti enggak bisa hidup!" Jody memang pahlawan. Dia selalu bisa diandalkan saat semua orang seperti asyik mengejek. "Ah, Mas Jay bukannya kuliah IT. Kok sekarang kerjanya cuma ngukir pohon?"

Tari hanya tersenyum menimpali anak bungsunya itu, dia tahu kenapa sang anak melakukannya. Tari juga sadar, Jody akan menenangkan ketegangan dalam suasana yang diciptakannya.

"Enak aja ngukir pohon. Itu seni!" Kakak dan adik-adik Tari yang turut diundang pun hanya tersenyum simpul, cara tanggap untuk tidak ikut campur bahasan anak muda.

"Seni itu hebat," tambah Jay mencibir adiknya. "Dirimu juga IT, tapi belum kerja, kan?"

"Nah! Itu dia Bro. Makanya jangan mencibir orang-orang yang enggak kuliah. Bukan berarti mereka bodoh."

"Aku juga enggak bilang gitu, kok. Sayang aja kalau enggak dilanjut kuliah, ilmunya hany-" Penjelasan Jay terpotong karena mimik wajah sang adik yang terlihat marah dan menatap istrinya.

"Ah, Via-"

"Nih, contohnya kayak Teh Via, enggak kuliah tapi bisa beli rumah. Pekerja keras, ilmunya juga aku yakin lebih pandai dari kalian." Jody memotong Jay sengaja, laki-laki bertubuh ceking itu tersenyum sangat manis dan menyapa kakak iparnya.

"Hm, alhamdulilah, Jod." Hati Via sakit, memang menurutmu aku gak mau kuliah gitu, Jay? Aku ingin, tetapi takdirku tak sepertimu. Keluargaku tertinggal di belakang. Punya rumah saja baru tahun lalu, batin Via menggerutu.

Kakak Tari menyudahi ocehan anak-anaknya, mereka mulai makan-makan disusul dengan ritual rutin yang membuat Via semakin canggung. Keramahan keluarga mereka benar-benar berbeda. Keluarga Via yang melakukan syukuran dengan mengundang ustaz untuk mengisi hadiah dilanjut dengan makan-makan. Namun, di rumah ini tradisi mereka yang mewah membuat Via terasing. Sangat!

"Ayo!" tegas Jay. Jari yang memegang kue itu dijulurkan ke hadapan Via, tepat beberapa inci lagi sampai ke mulut. Semua orang menatapnya, mau tak mau Via melahap kue dari tangan Jay dan terdengar sorak sorai.

Pipinya memerah. Orang-orang juga menyuruhnya untuk minum bersama. Bukan! Bukan minuman keras seperti arak atau lainnya, tetapi minuman biasa yang harus dihabiskan bersama. Ya, itu sangat di luar kendali perkiraan Via. Mereka keluarga gaul yang melakukan acara secara mewah.

Akan tetapi setiap hari selalu ada akhir. Via bahagia saat semua orang pamit undur diri dari rumah Pak Lik Jae. Via ikut membereskan pekerjaan rumah sampai ia pun pamit pulang.

¥

Jundy dan istrinya menginap. Terlihat wajah bahagia dari Nindya dan Jay. Jangan tanya Jody, dia sudah mengurung diri di kamar ketika Via pulang. Via juga izin membersihkan diri dan langsung beristirahat karena dia masih dalam masa haid. Lelah.

Sebuah peringatan dari neneknya waktu itu terbayang lagi. Pasalnya, dari hari ke hari Nindya memperlakukannya dengan seenak jidat. Jika Nindya memukul jidatnya sendiri, dia pasti tahu seberapa level sakit dari pukulannya, tetapi saat dia memukul jidat orang lain, apa dia tahu berapa levelkah sakitnya? Belum lagi ada jerawat di jidat orang itu, kebayang, kan, sakitnya gimana? Via terus-terusan menggerutu karena cemeehan tentang kuliah tadi.

Sudahlah, Vi. Toh, Jody membelamu tadi. Meski bukan suami sendiri, setidaknya ada orang yang masih peduli, batinnya.

Via masuk ke kamar mandi, menuntaskan tanggungan diri agar bersih saat beranjak ke kasur. Jay masih belum masuk ke kamar, Via yakin malam ini suaminya akan tidur di kamar Jody atau bersama dengan sepupunya. Tak ada yang penting, Via pun masih merasa tidak enak untuk berbincang dengan suaminya. Dia merasa tak berharga, perasaan sensitif itu muncul lagi.

Via menyapu dulu kamarnya, mengelap meja Jay yang takutnya belum dibersihkan dalam seminggu terakhir ini. Tadinya, dia akan menunggu hingga Jay tiba. Namun, raga yang penat memilih tertidur meskipun pikirannya menolak beristirahat.

Tidak lama melelapkan diri, Via terbangun. Pukul 11.31 kantung kemihnya sudah tak kuat menampung keinginan untuk mengeluarkan cairan. Dia bergegas ke air dan melakukan permintaan organ tubuhnya yang satu itu. Lega, satu kata yang sangat sulit diartikan.

Via keluar dari kamar mandi, tetapi baru disadari bahwa suaminya tidak ada di tempat tidur. Ah, berarti bener tidur di kamar adiknya, kan? Kenapa sih, Vi, pelupa banget. Via mendaratkan tubuhnya telentang di ranjang dengan seprai bertuliskan My Love. Ingin kembali memejamkan mata, ingin kembali memupuk mimpi dari imajinasi, tetapi berkali-kali ganti posisi Via tak menemukan gaya yang nyaman.

Dia keluar dari kamar berharap dapat menemukan suaminya dan bisa diajak bicara. Namun, di ruang TV sudah tidak ada orang lain, ingin masuk ke kamar Jody rasanya tak sopan. Via ingin berbalik saat melihat dapur yang memiliki cahaya dari celah pintu.

Ruang TV, ruang tamu, kamar tidur, dan dapur selalu dimatikan saat malam hari. Kebiasaan keluarga suaminya. Namun, tidak dengan kamar mandi. Sekarang, dia tengah di dapur dan melihat pintu terbuka. Rasa penasaran selalu bisa membuat Via mencapai puncak tertinggi untuk mencari tahu. Dengan mengendap-endap menuju pintu Via keluar dan mendapati Jay dan Jundy tengah berbincang mengisap rokok.

"Karena ibu!" Sayup terdengar suara Jay. Via berdiam di tembok dekat pintu. Beruntung dua laki-laki itu berada diundak tangga di halaman belakang. Tempat menjemur pakaian.

"Bagaimana bisa kau mengajaknya menikah karena ibumu?" Suara yang tak pernah didengar Via membahana. Itu pertama kalinya dia mendengarkan Jundy berbicara lantang.

"Aku sudah bilang dia yang lebih dulu mencintaiku dan mengatakan ingin menikah. Bukan berarti aku tidak suka, hanya saja ...," ucapnya terputus. "Aku sama sekali tidak mencintainya. Bukan tidak, tapi mungkin belum. Kau lebih tahu dari siapa pun Jundy bagaimana perasaan ketika kau gagal menikah. Dua kali!"

"Baiklah, Jay. A-aku paham."

Via menutup mulutnya rapat, tangannya bergetar, tetapi masih bisa dia halau. Dia kembali masuk ke kamar. Berharap jika kalimat selanjutnya lebih menyakitkan, telinganya dalam keadaan tak mendengarkan.

Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang