Sebenarnya Jay terusik dengan kata-kata Via dan ekspresi wajahnya yang sedang meyakinkan Jay bahwa dirinya tidak pernah membicarakan aib suaminya pada siapa pun. Apalagi membicarakan ibu, dia tidak tahu apa dia harus percaya atau tidak karena yang dia dengar, apa yang keluar dari mulut istrinya adalah salah.
Jay merasa dia tidak harus berlelah-lelah untuk mencari tahu kejadian apa sebenarnya di hari itu. Dia yakin meski kebenarannya terungkap dia tetap akan melakukan hal yang sama, menempar atau menghina istrinya di depan umum karena dia tak tahu bahwa dalam hati kecilnya, rasa bersalah hanyalah tameng hati yang sudah mencintai sang istri sedari awal.
Dia keluar dari kamar meninggalkan Via yang ingin istirahat, tapi dia tahu istrinya sedang mengutuki dirinya atau paling tidak dia akan menghakimi dirinya sendiri karena sudah membebani orang lain.
Jay merasa bersalah tentu saja, dia harus membawa perasaan bersalahnya itu sampai mati, sampai dia benar-benar menghadap penghakiman-Nya kelak. Jay merutuki dirinya sendiri. Seharusnya tadi dirinya menanyakan kabar istrinya apa yang saat ini diperlukan? Apa yang saat ini ia rasakan? Akan tetapi, Jay tak bisa, dia tak bisa lagi menyembunyikan apa yang seharusnya Via ketahui saat dulu. ketika dia meminang meminta wanita itu pada orang tuanya, dia seharusnya sudah mengungkapkan itu sejak dulu.
Hatinya menangis, tetapi sesuatu dalam dirinya tak pernah bisa keluar. Ya, tangisan. Air itu tak pernah keluar, kegiatan itu tidak akan pernah dia lakukan. Hal yang mengerikan itu lagi, menangis untuk seorang wanita selain ibunya. Aku egois? Ya, aku egois!
Jay kembali melangkah ke ruangan ibunya. Dia menyusuri koridor rumah sakit dan ruang perawatan tempat Via sampai ke kamar ibunya. Tari tengah berbincang dengan Nindya, setelah pintu terbuka sang ibu menatapnya. Berharap memberi kabar apa yang terjadi pada Via. Jay hanya tersenyum, itu yang bisa dilakukan.
"Gimana? Kenapa dia kok bisa sih Via masuk rumah sakit?" cecar Tari saat Jay baru memasuki ruangan.
"Via udah mendingan, kok. Jadi ibu enggak usah khawatir ibu istirahat aja. Fokus sama diri ibu dulu." Jay terlihat berpikir dia ingin menanyakan sesuatu pada ibunya. "Kenapa ibu bisa ada di lantai atas?"
"Kemarin itu, 'kan, Ibu lagi masak kulit, pas lagi cuci kikilnya, Ibu jadi inget bapakmu, itu kan makanan kesukaan bapakmu. Jadi, ibu kangen sama dia." Ibu terlihat mengingat-ingat kejadiannya dengan detil. "Bersyukur istrimu nyusul ibu, tahu kalau ibu ada di atas. Jadi ibu nggak terpaku sama nostalgianya ibu. Eh, waktu itu di tangga Ibu malah nginjek gamis Ibu sendiri. Jadi jatuh. Untung ibu jatuhnya di atas Via, Ibu nggak papa. Makannya Ibu tanya Via gak apa-apa kan soalnya kayaknya kenceng banget jatuhnya?" jelas ibu panjang lebar.
Jay merasa tertohok. Via nggak salah, dia sadar bahwa Via-lah yang menyelamatkan ibunya. Jelas di dalam dirinya tersenyum, mengutuk diri sendiri. Betapa bodohnya aku? istriku menyelamatkan ibu dan aku mendorongnya sampai bayi yang ada di dalam kandungannya wafat. Aku ayah yang buruk kalau anak itu benar-benar lahir.
"Syukurlah Ibu sama Via nggak apa-apa. Lain kali jangan ke atas sendirian lagi ya? Biar Jay yang bawain barang-barang ayah buat Ibu. Nanti kita adain acara di rumah buat mengenang tiga tahunnya ayah, ya?Ibu harus cepat sembuh."
¥
Tari pulang ke rumah, di temani Jay dan Nindya. Mendapati keadaan rumah begitu rapi dia yakin menantunya tidak apa-apa. Masalah keguguran, Jay meminta semua orang untuk tidak memberitahukannya pada ibu.
Via menyambut ibunya. Jody dan Jay menjemput Via kemarin sebelum ibu. Meski dokter melarang, Via mengatakan bahwa dia tak apa-apa.
Via membersihkan rumah dibantu Jody. Masih terseok-seok, masih merasakan sakit, tapi dirinya tak boleh terlihat lemah. Ya semuanya Via lakukan untuk membuktikan bahwa dia tidak apa-apa da siap untuk menjalani kehidupan selanjutnya. Mungkin, menemani ibu setiap hari dan lari pagi dengan Jody setiap pagi.
Wanita yang baru saja melepas kenangan pahit itu sudah mengatur jadwalnya. Mengatur seluruh kehidupan yang akan membuatnya bahagia, membuat dirinya sendiri percaya bahwa kehendak Allah ada untuk dilalui. Bersamaan dengan senyum Via yang mengembang untuk ibu, Jay memperhatikan Via.
"Kak Jay mau makan apa? Via mau masak." Via mengatakan itu sambil beranjak.
"Apa pun." Sesingkat itu. Jay sekali lagi memperhatikan sang istri yang kemarin masih terlihat sangat pucat. Di sana, di dapur terdengar suara tawa istrinya diiringi suara adiknya. Terdengar mengalun dan nyaman.
Apa aku bisa membahagiakan dia dengan tawa seperti yang diberikan adikku? Tidak! Bahkan semenjak hari itu, dua hari yang lalu. Kami tak lagi bicara, Via memilih menjawabnya dengan gerakan kepala atau isyarat. Barusan, Jay mendengar suara istrinya lagi.
"Ibu enggak tahu kalian ada masalah apa. Tapi ibu mau, kalian menyelesaikannya secara baik-baik. Maaf karena ibu menjadi bebanmu." Ibu berdiri. Kata-kata itu Tari lontarkan ketika dengan sadar dia menatap putranya yang terlihat gelisah.
"Ibu ...." Jay memanggil ibunya lirih. Namun, ekspresi wajah ibu tak menginginkan hal lain selain memasuki kamar dan beristirahat. Ibunya beranjak. Nindya mengantar Tari memasuki kamar.
Apa Via memberi tahu ibu apa yang terjadi? Jay terburu-buru melangkahkan kaki dan ingin marah. Pantas wanita itu tak mau berbicara denganku, tapi dia berbicara pada seseorang yang membuat Jay lemah.
"Apa-apaan ini, Vi!" bentaknya saat menuju lantai dapur dengan motif keramik berbeda. Tatapan Jay nyata membius dua orang di sana yang tengah gemar memasak.
"Apa?" jawab Via santai. Jody cukup terkejut dengan perubahan sang kakak ipar.
"Kau marah padaku, sampai tak berbicara padaku, tapi kau membicarakan tentang kita pada ibu! Apa yang kau inginkan sebenarnya? Apa kura-"
"Ja-"
"Maaf, Kak Jay!" potong kedua orang itu, Jody dan Via, berbarengan.
"Karena dirimu pernah tertipu wanita bukan berarti tidak bisa percaya dengan wanita lainnya, kan?" Via menatap suaminya dalam. Untuk kesekian kalinya dia tertimpa kekesalan suaminya, tapi sekarang tidak lagi.
"Maksudmu?"
"Aku tidak memberi tahu ibu apa pun. Hari ini adalah hari aku bertemu ibu setelah beliau di rumah sakit. Hand phone-ku juga ada di rumah. Jadi enggak mungkin aku yang ngasih tahu ibu." Via menghela napas. Sesuatu dalam dirinya merasa puas.
Jay terpaku di tempatnya berdiri. Lagi-lagi dia akan melimpahkan kekesalan pada istrinya. Bagaimana bisa? batin Jay.
"Aku yang memberi tahu ibu. Puas?" Jody mengambil wajan dan menyimpannya di kompor, lalu menghela napas. "Ibu memaksaku. Jadi, jangan salahkan aku, salahkan dirimu sendiri."
Benar saja. Jay harus membawa itu dalam hidupnya. Salahkan dirimu sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]
Narrativa generale"Katanya kalau kita hidup di pasar jodohnya bakal sama orang pasar juga, seperti penjual dan pembeli. Begitulah selintingan yang pernah kudengar, dan aku membuktikannya. Menggeluti dunia kepenulisan, bertemu dan banyak belajar dari laki-laki itu, ak...