Sakit. Pipi Via terasa perih dengan tamparan pertamanya dari tangan sang suami. Jay? Jay menamparku karena mendengarkan kata-kata orang lain. Lebih terkejut saat suara yang tadi dia kenali dengan kelembutan sapaannya kini menyerangnya dan menambah bumbu kesakitan.
"Via enggak begitu, Kak." Via memelas. Menatap wajah suaminya yang penuh kemarahan sedang menatap ke arah Santya, wanita yang menambah perkara kejadian ini. Namun, tatapan Jay kosong.
"Terus bagaimana?" bentak Santya, "bukannya kau sendiri yang memberi tahu kami kalau mulanya kau takut. Tapi, karena Jay sudah melakukan tes dan hasilnya negatif kau mau menerimanya?"
"Waw! Tidak salah memang. Mungkin dia hanya membutuhkan uang Jay."
"Sama sekali tidak. Kau yang bertanya lebih dulu apa ibu Kak Jay sedang sakit?"
"Dan kau memberi tahu mereka?" Jay berbalik menghadap Via. Sama dengan warna motif awan dari batik Jay, matanya kini dipenuhi kabut.
"Kak ...," panggil Via lirih. Entah apa yang harus diucapkannya. Mata Via menatap Santya. "Kenapa tadi membelaku jika biangnya sendiri adalah kau!"
Jay melangkahkan kakinya cepat, meninggalkan suara-suara yang sedang berbisik tetangga. Tak mengapa dengan tatapan mereka, asal dirinya tak lagi berada di sana. Persetan dengan kedekatan yang baru saja dimulai. Jadi, selama ini dia tidak meminta haknya karena takut kalau aku positif Hepatitis C? Mungkin ini yang membuat aku selalu gelisah. Wanita yang tidak benar-benar baik. Aku salah memilih, Pah.
Jay terus membawa dirinya ke pintu utama dan bergegas ke tempat parkir mengambil mobil. Dia tak memedulikan teriakan Via yang suaranya sudah serak. Via dapat menyejajarkan dirinya dengan Jay, mengintil di belakang Jay sembil mencoba meraih tangan sang kekasih. Namun, tidak sampai atau tidak digubris oleh tangan kekar Jay.
Telepon masuk di ponsel menghentikan langkah panjangnya. Jay menghirup udara lalu berdehem, mencoba menetralkan suaranya. Via akhirnya berhasil bertatapan dengan Jay, tetapi bukan menanggapi Via, Jay malah mendorongnya menjauh.
"Iya, Bu."
"Pulang sekarang, ya. Jangan lupa beli soto bogornya. Duh, jangan soto dulu. Kalian pulang aja, ibu ... perasaan ibu enggak enak." Wanita paruh baya itu mengungkapkan isi hatinya. Mungkinkah ibu merasakan kegelisahanku sekarang?
Jay menatap Via yang tertunduk. Entah apa yang akan dirasakannya ketika melihat wanita itu nantinya. Emosi Jay membuncah, dia marah besar. Namun, ibunya tak harus tahu seberapa gagal dia memilih wanita.
"Bangun! Masuk ke mobil sekarang dan jangan bicara masalah ini sama ibu. Kalau kau menceritakannya, aku tak segan!" Tak segan apa, Kak? Pipi Via masih berdenyut, sakitnya masih terasa.
"Jangan nangis depan ibu. Kau tahu, kan, ibu sayang sama kamu tapi kamu-" Jay menarik lengan Via, menyeretnya untuk masuk ke mobil. Tidak ada lagi kelembutan, Via meringis.
Di perjalanan tak ada lagu yang mengalun untuk menemani, tak ada kata terucap yang mendominasi, tak seperti tadi saat berangkat. Via menyeka air matanya berkali-kali padahal dia sudah menahannya kuat, tetapi tetap tak terbendung. Sesekali dia melirik suaminya yang fokus pada jalanan. Bukan fokus, tatapannya pun masti menerawang, pandangan itu hampa.
Sampai di depan rumah, Via tak punya kesempatan untuk terus meyakinkan suaminya karena ibu sudah di sana menunggu kedatangan mereka. Via menggenggam erat gamisnya, mengikuti langkah Jay menghampiri ibu.
"Kenapa di luar, Bu?" tanya Jay ketika sampai di depan ibunya. Berusaha terlihat ramah lancar, tetapi sang ibu menangkap hal yang aneh.
"Kalian enggak apa-apa, kan?" Ibu memandang putranya lalu beralih pada sang menantu. "Via?"
Via hanya menggeleng meski ingin bersuara, tetapi tertahan.
"Enggak apa-apa. Hayu masuk," ujar Jay mengajak ibunya. Ibunya tetap menyelidiki ekspresi Via, tetapi Via yang tanggap tak harus menunggu lama untuk orang lain lebih curiga.
"Taraaa!" Via memperlihatkan bungkus keresek hitam berukuran sedang. "Soto Bogor pesanan ibu!" seru Via terlihat semangat.
Jay memasuki rumah lebih dulu, dia tak yakin apa ibunya sudah percaya atau tidak dengan perubahan ekspresi Via. Lebih tepatnya, Jay tak mau menyakiti siapa pun. Apa benar aku menamparnya? Apa dia benar-benar mengatakan hal itu, menyebarkan aibku? Jay bergegas ke kamar. Dia harus pergi.
Via menyusulnya ke kamar lalu .... "Kak, tolong dengarin Via dulu."
"Jay akan tidur di kamar Jody untuk sesaat. Jangan buat dia bicara, kau sudah kenal sifatnya, kan. Buat dia diam."
Terhempas sampai ke dasar. Via melupakan itu, ya, dia lupa perihal awal yang sudah diberitahu Gusti Allah padanya. Dia tak sadar bahwa hari ini dan kejadian tadi sudah diatur oleh takdir-Nya. Bahkan, Via lupa kegoyahan apa yang pernah menjadi pertanyaan terbesarnya kala menerima Jay. Sadarkan dirimu, Via!
¥
Jalan yang dilalui sudah terjal, sulit sekali untuk dilewati. Bagitu yang dipikirkan Via. Hampir dua Minggu mereka pisah ranjang dan hal itu menyakitkan. Saling sapa hanya di depan ibu atau ada keluarga yang berkunjung. Tatapan Jay selalu mengganggu Via, rasa penyesalan yang mungkin hinggap di benak suaminya. Hati Via nestapa, tidurnya tak nyenyak.
Pagi ini Via bangun untuk yang keempat kalinya setelah beberapa jam terus terbangun untuk memuntahkan isi perutnya. Sakit? Tentu saja, dirinya menangis hampir sepanjang malam. Pagi harinya Via harus terlihat segar bugar agar tak mencurigakan. Hal yang terpaksa dilakukan biasanya berujung tersiksa atau ... biasa. Aku menunggu saat di mana hari-hari berikutnya terasa biasa, biasa diabaikan, biasa melakukan yang tak ingin dilakukan. Ya, aku masih menunggu.
Via kembali memuntahkan isi perutnya setelah selesai cuci piring. Sesuatu seakan-akan meledak jika tidak dikeluarkan dan Via meragukan sesuatu.
"Kamu enggak apa-apa, Vi?" tanya Tari yang sedang mengelap meja makan.
"Enggak apa-apa, Bu. Emangnya kenapa?" Via memastikan tumpahan itu tak dilakukan di wastafel, tetapi di kamar mandinya sendiri.
"Mukamu pucat. Nanti minta Jody anter ke puskesmas aja. Siapa tahu ibu mau punya momongan." Terdengar suara girang ibu.
Hamil? Kami hanya melakukannya dua kali, Bu. Ah, ibu enggak tahu ya kalau kami sudah lama pisah ranjang? Mata Via memanas, setetes air keluar dari pelupuknya bersama perutnya yang kembali bergejolak.
Dia memuntahkan lagi cairan yang tadi menjadi penghantar kering tubuhnya. Bahkan air saja keluar lagi? Oh, Gusti ....
Via lesu, buru-buru dia meminta Jody untuk mengantarnya ke puskesmas. Setidaknya Via yakin tubuhnya butuh obat, bukan membutuhkan suami.
Via mandi dan berdandan setelah mendapatkan anggukan dari Jody. Jody pun bergegas mengeluarkan motor, memanaskannya lalu dia pun pergi mandi. Jody juga ingin bertanya ada masalah apa kakaknya dengan kakak iparnya sampai Jody harus bungkam. "Ayolah! Ini bukan gayaku!" gumam Jody.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]
General Fiction"Katanya kalau kita hidup di pasar jodohnya bakal sama orang pasar juga, seperti penjual dan pembeli. Begitulah selintingan yang pernah kudengar, dan aku membuktikannya. Menggeluti dunia kepenulisan, bertemu dan banyak belajar dari laki-laki itu, ak...