Tajuk 26: Kebenaran

48 13 0
                                    

"Kak Jay makin ganteng aja," celetuk Via dan mundur dua langkah, memperluas jarak di antara mereka.

Laki-laki yang dipuji hanya mematung, entah karena pujian sang istri, entah karena tatapan Via barusan, Jay merasakan debaran jantungnya yang berpacu. Namun, jiwanya menghangat.

¥

Seorang wanita berjalan gusar di depan kantor menyusuri kantor mini itu. Di dinding terdapat grafiti besar bertuliskan Doco Publishing yang memenuhi. Nindya dengan baju kantor kakhinya menuju ke ruang utama, di mana seluruh divisi berada di sana. Jay dulu bekerja di sini, tak mungkin Nindya tak tahu. Bahkan, seluk beluk kantor ini, dia sangat hafal.

"Di mana Santya?" tanya Nindya pada staf yang dia temui dalam perjalanan.

"Oh, Kak Santya ada di ruang utama. Lagi nulis artikel, kan."

"Ok, makasih."

Nindya meneruskan perjalanannya. Separuh hak tingginya mengeluarkan suara tegas, menyampaikan pada orang di sekitarnya bahwa aku ke sini bukan untuk basa-basi. Dia mengetuk pintu ruangan itu dan langsung membukanya tanpa aba-aba dari sang empunya rumah. Dia merasa tidak perlu berbasa-basi itu hanya sekadar mengucapkan salam.

"Di mana Santya?" tanya Nindya pada seluruh karyawan yang ada di ruangan tersebut. Matanya berkeliling mencari sosok wanita yang ingin dia temui sedari kemarin. Akan tetapi, matanya tak menemukan sosok yang dicari.

"Santya lagi liburan," jawab salah seorang karyawan yang saat itu tengah menghadap pada monitor, dia menengadahkan kepala untuk melihat Nindya dan hanya tersenyum licik. Wanita itu yang membantu Santya untuk menghina dan memfitnah Via.

"Bohong, Santya ada di sini. Aku hanya ingin berbicara, tidak akan melakukan sesuatu yang akan aku sesali di kemudian hari." Nindya tersenyum mengejek. "Jadi, di mana Santya?" tanyanya lagi.

"Ada apa sih, Mbak? Kangen, ya, sama calon adik ipar yang gagal?" Santya yang keluar dari ruangan CEO Doco itu menghela napas. Kata-kata bernada mengejek itu tidak membuat Nindya kesal, dia hanya tersenyum dengan merendahkan.

"Seperti dirimu pantas saja dipersunting seorang laki-laki?" ejek Nindya. "Kita di luar ngobrolnya, takut kamu makin malu di sini."

Nindya mengawali dengan penekanan sengit. Wanita cantik itu mau tidak mau melangkahkan kakinya mengikuti kemauan Nindya, dia takut kalau ternyata Nindya sudah membicarakan yang sebenarnya. Langkah kaki mereka sampai tepat di pintu masuk. Nindya lalu berbelok dan berhenti tepat di samping percetakan.

"Apa maksudmu memfitnah Via?" Nindya menatap tajam. "Kalau alasannya agar mereka berpisah, kau hampir sukses melakukannya."

"Waw! Bagus, dong. Bukannya kemauan Mbak Nin itu aku nikah sama Jay, kan?" balasnya dengan tatapan sama. Seluruh tubuh mereka beradu seakan-akan hendak menerkam satu sama lain.

"Aku menginginkanmu menikah dengan Jay sebelum tahu sifat aslimu. Aku kira Jay dan kamu itu dekat, wanita sepertimu bisa jaga rahasia. Tapi apa yang kau tahu, kau jadikan bahan untuk mencela? Waw!" Nindya melipat kedua tangan di depan dada dan maju selangkah untuk lebih dekat dengan Santya. "Kalau kau tidak mau karirmu sebagai blogger dan penulis artikel Doco itu hancur, bukannya kau lebih baik meminta maaf pada Jay dan Via? Shh! Aku hanya memberi saran, San. Sebelum aku sendiri yang memberi tahu mereka soal ini dan Jay ...." Nindya sengaja menggantungkan ucapannya. "Akan mendampratmu keluar dari dunia yang kau bangun!"

Santya mendengkus dan seolah-olah merasa tersakiti air matanya jatuh. "Kenapa memangnya? Kau yang memberi tahu ibumu sakit, padahal aku sudah siap menerima lahir batin. Tapi-" Santya menarik lalu membuang napasnya yang pendek dengan kasar. "Dia malah ... ma-malah menikahi wanita lain dan bukan aku? Aku bahkan menerima dia apa adanya dan mengajak dia kemari untuk bekerja, memperbolehkan Jay bekerja di rumah. Tapi yang dia lirik? Wanita yang dia temui di dunia maya? Chh! Persetan dengan memfitnah, toh kalian juga memberi harapan dan menghancurkannya. Bukankah kita sama?"

Nindya merasa bersalah. "Sori, San. Hanya aku yang memintamu untuk menerima apa adanya Jay, tanpa memberi tahu Jay bahwa aku ingin kalian menikah. Aku tidak tahu kalau kau memiliki alasan lebih banyak kenapa menerima keluarga kami. Lupakan Jay, hiduplah bahagia."

"Tidak! Aku meninginkan Jay lebih banyak dari pada yang orang lain tahu. Meskipun dia sudah menikah, aku tak akan membiarkan pernikahannya damai. Dia pasti masih marah pada istrinya, kan? Haha, dia tak akan pernah memaafkan kesalahan istrinya yang sudah menghina ratunya. Aku berharap ratunya cepat mati dan-"

Suara wanita itu terpotong karena sebuah tamparan melayang tepat di pipi kanannya. Sakit sekali. Nindya pun terkesiap dengan kehadiran dua laki-laki yang tidak diajaknya.

"Aku akan menghancurkanmu, San," ancam Jay menodongkan telunjuk yang mengarah pada wanita dengan jilbab kuning itu. "Menurutmu sifat seorang laki-laki tidak mudah berubah? Kau salah! Salah besar! Aku tidak lagi menginginkan bisu. Pilihanku sudah jelas sekarang."

Jay memandang kakaknya yang sekarang sudah dirangkul Tanjung. Dia bertanya dalam inti matanya, Nindya pun merasa bersalah karena pernah ikut campur dalam urusannya. Mereka semua kalut.

"Aku keluar dari Doco Publishing." Jay mengatakan itu sambil berbalik, Santya memegang pipinya dan menangis. Dia malu, sungguh.

Tanjung mengajak istrinya untuk pergi dari sana. Tanjung hanya mengantar Jay ke mana Nindya pergi, dia tidak tahu kalau istrinya menemui orang lain di sini. Alhasil, dia pun mendengar percakapan istrinya.

"Semuanya akan baik-baik saja, Nin." Tanjung menyandarkan tubuh sang istri pada sandaran mobilnya, setelah pintu di tutup di pergi memutar untuk duduk di bagian pengemudi.

"Aku melakukan kesalahan dengan percaya pada orang lain, Mas. Nin-nindya kira, wanita itu hanya menyukai Jay. Tapi ternyata dia terobsesi," rutuk Nindya yang ditimpali kekehan dari suaminya. Nindya menatap suaminya dengan penuh pertanyaan sambil mengusap air matanya.

"Jay kan emang anak ibu paling ganteng, Nin. Wajar kali kalau temen sekantornya suka sama dia," ujarnya sambil tersenyum. "Makanya, lain kali jangan gegabah dan mengambil keputusan terburu-buru. Ok?"

Nindya membentuk sudut yang indah. Tanjung mendapatkan itu lalu mengelus pipi istrinya. Meski lama, akhirnya bola mata coklat itu kembali fokus ke depan dan siap melintas jalanan yang macet. Suasana siang memperparah perjalanan, mereka terjebak pada jalur-jalur yang bersimpangan.

Santya masih terpaku dengan kata-kata Jay. Semuanya sudah berakhir, San. Kenapa kau harus repot-repot ingin memisahkan mereka padahal karena dirimu sendiri mereka menjadi dekat, Santya membatin.

Santya masuk ke ruangan yang tadi dia tinggalkan dan berusaha serapi mungkin untuk bertemu teman-temannya. Dia tidak boleh memperlihatkan kehancuran itu, sedang orang lain akan iba atau menertawakannya.

Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang