Jody menawarkan Via untuk dipapah. Namun, bukan hal baik menimang di dalam ada suaminya. Meski tidak ada kedekatan erat, tapi dia punya kepercayaan yang tidak bisa dibantah. Dirinya dan Jody bukan mahram, itu lebih dari cukup untuk Jody mengerti.
Mereka masuk bersama. Jody melihat ibunya, mencium punggung tangan dan menetap Jay. Saling bersihadap membuat Jody menjatuhkan pandangan pada Via. Dibalas dengan senyuman. Jay menatap istrinya dengan rasa bersalah. Senyumannya yang sama-sama mengambang membuat ibu pun membuang muka dan memilih untuk ke kamar tanpa sekata pun.
"Bu ...," panggil Jay.
"Ibu mau istirahat. Jangan ganggu Ibu dulu." Tubuh ringkih itu melanjutkan langkahnya.
"Ada apa sih, gue pulang pada aneh semua. Ibu, elu Kak, Teh Via tadi nangis di depan. Bingung dah gue. Bikin enggak betah suasananya tuh," sungut Jody.
"Lu biasanya juga langsung masuk kamar," tampik Jay. Namun, tatapan matanya jatuh pada Via yang tengah mengedarkan pandangan. Kebiasaannya.
Jody emang enggak bisa diajak main rahasiaan. Ah, aku harus pergi. Tanpa menoleh lagi pada kedua laki-laki yang ada di hadapannya, Via menuju kamar. Memapah dirinya untuk bisa bertahan sedikit lagi. Bukannya kau tahu, bahwa air cucuran atap akan jatuh ke pelimbahan juga? Lantas kenapa kau melupakan itu dan terus bertahan? Hati yang telah dibangun kembali, ternyata pondasinya sama-sama belum kuat.
Mandi selalu bisa menyejukkan dirinya. Mengguyur diri dari atas kepala sampai ke ujung kaki, membersihkan seluruh tubuh sampai pada lekukannya membuat Via sedikit tentram. Dia merelaksasikan pikirannya agar menepis ego yang terus saja bersarang pada relung hatinya. Jika pilihanku hari ini salah, maafkan aku, Nek. Aku tetap tidak bisa melepas nasib itu. Mereka melekat begitu nyata meski aku berjuang untuk menghancurkannya.
¥
Dia merasa tubuhnya digoncang, dia kaget sampai-sampai badannya terduduk cepat.
"Via ... udah azan, lho." Berita yang dibawa Jay membuat jantungnya berpacu cepat. Dia langsung bangun ketika matanya pun belum terbuka. "Salat dulu, baru tidur lagi."
Via menatap Jay. Apa laki-laki ini aktor hebat yang bisa menyembunyikan semuanya, termasuk bersandiwara seakan-akan tidak tahu kalau istrinya mendengarkan percakapannya. Via membuang muka, meskipun pusingnya bertambah, dia bergegas memasuki kamar mandi untuk berwudu.
Via berharap Jay tidak ada di kamar setelah dirinya keluar. Namun, keinginannya kalah dengan kenyataan bahwa laki-laki itu kini berbaring di tempat tidur. Menelungkup tangan menutupi wajah dan terdengar suara nyaring yang lembut.
Salat bisa menghangatkan jiwa. Bukti bahwa dia melakukannya dengan khusyuk. Lain lagi saat memasuki rakaat pertama, pikiran langsung melanglang buana, seperti Via saat ini. Mencoba menelaah apa kesalahan yang dia perbuat dalam rumah tangganya. Begitu fatalkah, sampai harus berakhir perpisahan?
Kembali mengingat kejadian pagi tadi, betulkah apa yang didengarnya adalah tentang dirinya dan Jay? Jika ia, Via menginginkan alasan kenapa hal itu bisa terjadi. Salatnya diperlambat, dia merasa tak tenang dan ... kosong.
Perlahan, tetapi pasti Via menyelesaikan salatnya. Mengambil tasbih yang dia simpan di laci paling atas, berkumpul dan tertata rapi dengan Al-Qur'an dan kitab-kitab hadits lainnya. Kemudian dia mulai berzikir di atas sajadah.
Tak hentinya mulut berucap, melapalkan kalimat tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir secara bergantian. Melantunkannya membutuhkan peresapan yang nyata. Agar masalah-masalah yang dilalui tidak hanya bergeming melainkan bergulir dan setelahnya berakhir.
Namun faktanya, air mata yang dibendung jatuh juga, sakit pada hati yang tersayat tak terbayangkan. Via menidurkan badannya di sana, memeluk tubuh sendiri sambil terus mengingat Allah. Tanpa mengeluarkan suara tetapi sakitnya tetap luar biasa.
Sampai suara ketukan pintu menyudahi kegiatannya dia takut Jay melihatnya dalam keadaan miris. Dia pura-pura memejamkan mata sampai suara ketukan itu mengeras dan Jay terbangun. Melihat Via tertidur di lantai, Jay melewati tanpa membangunkannya. Laki-laki itu hanya berjalan untuk meraih kenop pintu. Via yang tahu dirinya dilewati, meneruskan untuk pura-pura tertidur.
"Mana Via? Ibu mau ngobrol sama dia."
"Jangan sekarang, Bu. Jay mohon, biar aku sendiri yang bicara sama dia berdua. Dia tanggung jawabku," pinta Jay. Ibunya terlihat kesal. Terlebih saat menantunya tertidur di lantai dan Jay di atas kasur.
"Dia wanita yang baik, Jay. Kalau tidak bisa membahagiakannya untuk apa kamu mempertahankannya?" Ibu pergi dari hadapan Jay. Meninggalkan laki-laki itu banyak kebingungan. Apa benar wanita itu sudah tidak mencintaiku? Dia benar-benar telah berubah karena aku? Jay melirik tubuh yang tertutup mukena itu.
Mereka tidak tahu bahwa ada yang waswas memperhatikan kisah mereka. Jody yang meratapi kakaknya, juga mengasihani Via. Siapa sangka, dia juga memiliki perasaan yang tak bisa diprediksi.
Sepuluh menit berlalu dan tak mendengar lagi suara, Via beranjak. Isakannya terdengar. Perutnya sakit karena tertahan kakinya sendiri selama tadi. Dia melepaskan mukena itu dengan tangan yang bergetar. Tangan kirinya lagi-lagi mengusap matanya kasar.
"Sama Kakak," tawar Jay sambil meraih mukena Via. Via mengabaikannya dan melepas kebawahannya, Jay menerima itu dan melipatnya.
Via setengah berdiri dan mengambil sajadahnya, melipatnya simetris menjadi kotak dengan tiga kali melipat. Dia akan keluar kalau saja tangan Jay tak menghentikannya.
"Tunggu sebentar." Jay menyejajarkan dirinya dengan Via. Meraih bahu wanitanya untuk berbalik menghadapnya. Bagaimana bisa aku meninggalkan wanita ini? "Ada apa?"
"Enggak ada apa-apa." Via menatap mata Jay, melihat seberapa dalam tatapan laki-laki itu saat melihatnya rapuh. Via juga ingin tahu, apa yang suaminya pikirkan tentangnya. Namun, Via ragu jika dia akan bertahan dalam tatapan tanpa suara itu.
"Kita makan bentar lagi, ya. Ibu udah masak ayam goreng kemangi buat menu malam ini. Bentar lagi juga salat, kalau mau mandi dulu Via duluan. Aku mau ngerjain desain." Jay mengelus pipi dengan jempol yang menghapus air hangat yang sedang terjun itu.
"Kak," panggil Via, tangannya meraih lengan baju Jay.
Jay memperdekat jarak yang sudah dekat. Kembali netra mereka bertemu dan wajah Via memerah. Jay lantas mengembangkan senyumnya yang khas di mata Via. Senyum yang pertama kali Via lihat saat tukar foto dulu. Senyum yang dilukiskan dengan ikhlas menurut Via. Kini, dia mendapatkannya lagi.
Sebesar keberanian yang dia punya, Via mendekatkan wajah pada Jay dengan kaki berjinjit lalu menarik lengan itu agar semakin dekat. Jay memutar matanya untuk beralih dari paras sang istri yang saat ini tidak berjilbab.
Via melihat Jay yang kikuk, membuatnya tampak bahagia. Sudut bibir semakin tertarik. Bibir itu menahan senyum sampai membentuk kerucut yang manis. Ketika Via semakin dekat hatinya melengos.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]
Художественная проза"Katanya kalau kita hidup di pasar jodohnya bakal sama orang pasar juga, seperti penjual dan pembeli. Begitulah selintingan yang pernah kudengar, dan aku membuktikannya. Menggeluti dunia kepenulisan, bertemu dan banyak belajar dari laki-laki itu, ak...