Jay termenung setelah mendengar penuturan dokter. Ibu hanya syok dan tidak ada masalah lain. Terus? Bagaimana bisa ibu terjatuh di tangga kalau penyakitnya enggak kambuh? Ibuku enggak selemah itu. Lihat saja, kalau dia sengaja mendorong ibu aku akan menceraikannya langsung.
Jody Arkana is Calling....
Jay mengangkatnya, tetapi tak kunjung terdengar suara. Tidak ambil pusing, dia mematikan sambungan telepon dan menemui ibu. Ibu belum sadar, Jay hanya menatapnya sayu. Air mata Jay mengalir, sekali lagi dia bersumpah bahwa akan menceraikan Via, kalau-kalau ibu tidak cepat sadar.
Dirasa sudah tenang jay pergi ke kantin untuk membeli makanan. Namun dia teringat pada Jody yang meneleponnya tanpa bersuara tadi. Lantas, Jay melihat notifikasi pesan whatsapp dari Jody dan beberapa rekan kerjanya. Jody ternyata hanya menanyakan kenapa ibu bisa pingsan. Ya, pertanyaan yang sama yang berada dalam pikiran Jay.
Berada di kantin sendirian membuat jay berpikir keras tentang Via dan pernikahannya. Sampai hari ini apa ada kebahagiaan? Apa benar aku selalu berprasangka buruk pada istriku sendiri? Karena aku menikahinya tanpa niat yang benar maka kehidupan kami pun tanpa rasa percaya? Hubungan kami tidak akan pernah harmonis, begitukah? Jay meringis.
Dia melihat ke sekeliling, tak banyak orang di kantin hari ini. Hanya ada tiga keluarga manusia yang sedang mengisi perutnya dengan roti atau buras. Seadanya. Beberapa suster, penjaga, OB tengah berkeliling, hilir mudik melewati kantin dan di luar kantin.
Jay bersandar pada bangku kayu yang panjangnya cukup untuk lima orang dengan tubuh konsisten sebesar dia.
"Jay!" Nindya menepuk pundak adiknya. "Di mana ibu?"
Jari memberitahukan bahwa ibu sudah dipindahkan ke ruang perawatan. nindya mengangguk paham dan hendak berlalu meninggalkan jay namun dia memberi pesan terlebih dahulu temui dulu istrimu di ada di rumah sakit ini.
Jay terkejut tidak percaya dengan apa yang didengarnya, dia bertanya, "Kenapa dia bisa ada di sini? Suruh dia pulang dan jangan temui ibu."
"Bagaimana bisa kau berkata begitu istrimu sakit dia pendarahan jadi sedang menunggunya." Nindya dan dia menatap tajam dan melanjutkan kata-katanya aku tidak tahu prasangka aku pada via benar atau salah tapi yang pasti sekarang aku sadar bahwa istrimu tidak seperti yang kusangka.
Jay seolah-olah tertampar. Jika Nindya saja bisa percaya pada istrinya, mengapa dia tidak? Jay terpaku di tempatnya berdiri. Dia termenung, ingin membenarkan semua perkataan Nindya, tapi hatinya menolak. Dia kembali teringat pada hari di mana Via menyebarkan aib ibunya dan itu tak termaafkan.
Jai bergegas menyusuri rumah sakit dan mencari tempat di mana Via dirawat. Dia menemukan Jody di koridor ruang Instalasi Gawat Darurat.
"Bagaimana keadaannya? Apa kata dokter?" cecar Jay ketika dirinya sudah dekat dengan Jody.
"Apa yang terjadi pada ibu? Bagaimana keadaan ibu?" Bukannya menjawab Jody malah menatap Jay nyalang dan bertanya keadaan ibunya. Mereka berdiri dengan saling menatap. Tinggi mereka berbeda lima senti saja, usia mereka pun hanya berbeda tiga tahun.
"Ibu baik-baik saja. Dia tidak apa-apa, alhamdulilah ...." Jay menjawabnya santai dan kemudian berbalik menghadap pintu IGD. "Bagaimana keadaan kakak iparmu," tanya Jay lagi. Dia membutuhkan jawaban untuk yang satu itu.
"Seolah kau peduli!" dalih Jody sengit.
Jay menatap Jody yang ternyata masih menatapnya. "Apa maksudmu?" selidik Jay.
"Kau tidur di kamarku dua minggu ini. Mengganggu ketenangan malamku, menurutmu itu tidak ada alasan?" cerca Jody.
Jay yang kikuk tak berusaha menjawab. Tidak perlu Jody tahu tentang apa yang terjadi dalam rumah tangganya atau adik bungsunya akan membeberkannya pada sang ibu. Begitu prinsipnya!
"Istrimu hamil!" Jody menarik napas sebelum melanjutkan. "Pendarahannya banyak dan dia sedang transfusi darah."
Jay menatap adiknya lebih dekat, mencerna apa yang baru saja dijabarkan membuatnya tak berdaya. Matanya beralih lagi pada ruangan tertutup dengan pintu bercat putih. Astagfirullah ... apa yang aku lakukan? Aku sudah menelantarkannya.
"Karena apa kau menikahinya?" tanya Jody sengit. "Memenuhi keinginan ibu? Atau karena kau berpikir kau tak akan laku?" Jody menebak satu per satu kemungkinan yang membuat kakaknya berbelok. Jay yang tidak suka dunia luar, jarang berpacaran, mengurung diri di kamar. Sekarang, menikah dengan wanita yang ditemuinya di dunia maya? Menurut Jody itu tak masuk akal, kecuali ada penekanan yang tidak bisa dipungkirinya.
Pernikahan yang gagal dua tahun lalu, itu terjadi karena ayah memaksa. Usia Jay berusia dua puluh lima tahun, tetapi hanya bersahabat dengan fitur-fitur gambar di aplikasi Corel Draw kesayangannya. Berbeda dengan Jody yang sudah mengganti pacar dua kali di usianya yang masih dua puluh dua tahun. Ayah dan ibu tentu saja tak ingin anaknya tak normal. Jadi, kasus menikah dengan Via pun tak akan jauh berbeda.
"Kau tak mau menjawab? Ok, biar aku saja yang tebak!" lanjut Jody, "kau memanfaatkannya untuk membuktikan pada ibu bahwa kau bisa keluar dari masa lalu. Bisa membuktikan pada ibu kau bisa membahagiakan ibu. Tapi kau jupa, Bro! Wanita yang sedang terbaring di sana juga butuh kebahagiaan yang seharusnya kau berikan."
"Kau benar ...," ucap Jay. Apa? Semua yang dikatakannya memang bergulir seperti itu. Jay tidak tahu kalau keputusannya berakhir menyedihkan. Puncaknya, tidak ada seorang pun yang dapat dia bahagiakan.
Keduanya terduduk merenungi masalahnya masing-masing. Sampai dokter keluar dan memberi tahu bahwa Via sudah stabil, hemoglobinnya juga telah kembali normal.
¥
Via bangun dari tidurnya yang menyakitkan. Bukan hanya perut, dada, kaki, tetapi seluruh tubuhnya ikut merasakan. Dia mengedarkan pandangan mencari sosok yang dia harap, tetapi keadaan malah semakin pengap. Via ingin memukul dadanya keras sampai semua rasa sakitnya dapat keluar dalam bentuk apa pun. Dia ingin menghempaskan semua dahaga dan berakhir bahagia.
Jody, laki-laki itu tersenyum dan mengedipkan mata menaburkan semangat dengan kepercayaan diri semua baik-baik saja. Kalau aku lebih dulu mengenalnya, apa aku akan jatuh cinta padanya dan menikah dengannya? Ah, perasaan ini lagi ....
Setengah sadar Via merasakan perih pada bagian tangannya. Ternyata selang terpasang di sana. Kesadaran Via pulih sepenuhnya saat sadar dirinya tengah berada di rumah sakit.
"Enggak apa-apa, Teh." Jody menenangkan, tetapi Via menangis.
"Ah, Teh Via jangan sedih. Tadi Mas Jay di sini, tapi katanya ibu lagi-"
"I-ibu enggak a-ap-apa, kan?" tanya Via akhirnya. Ya, dia tak harus memikirkan yang lain. Ibu yang terpenting bagi Via sekarang.
"Baik-baik aja, kok, Teh. Ehm ...," sahut Jody. Dia ingin melanjutkannya, tetapi Via berbalik ke arah lain dan mengabaikannya. Jody yakin, ini bukan saat yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]
Fiction générale"Katanya kalau kita hidup di pasar jodohnya bakal sama orang pasar juga, seperti penjual dan pembeli. Begitulah selintingan yang pernah kudengar, dan aku membuktikannya. Menggeluti dunia kepenulisan, bertemu dan banyak belajar dari laki-laki itu, ak...