Tajuk 6: Pendekatan

60 16 0
                                    

Jay merasa bersalah, tidak seharusnya dia membentak Via dan menyalahkannya. Ibunya harus melakukan hemodialisa (cuci darah) besok pagi, mungkin karena terlalu bahagia sang ibu mengabaikan kesehatannya. Jay melupakan itu, rasa lelah, bersalah, dan gamang membuat otaknya tak berpikir jernih.

Tari yang bahkan mengabaikannya dan lebih memilih meminta bantuan si bungsu, Jody. Jay memisahkan diri, Jundy mendekatinya dan menguatkan, memberi motivasi seperti biasanya.

"Aku salah, Bang!" Jay menggumam, terdengar gelisah. Tangan kanannya memijat batang hidung, mengurutnya dari atas ke bawah. Lalu, beralih memijat pelipis yang ikut berdenyut. Pusing.

"Via pasti mengerti, kau hanya panik Jay. Minta maaflah, Jundy yakin dia pasti memaafkanmu. Wanita seperti Via bukan pendendam." Jundy dengan posisi berdiri menyentuh pundaknya, berharap perlakuan itu saja sudah bisa menguatkan Jay.

"Apa dia-"

"Coba dulu ...," ujar Jundy mengeraskan sentuhannya disusul anggukan yang meyakinkan.

Jay bangkit, mengusap kasar wajahnya menggapai tangan Jundy. "Aku coba," kata Jay. Langkah kakinya mulai keluar dari kamar untuk memasuki kamar yang lain. Pintu yang sedikit terbuka membuat Jay mengintip, ibu dan istrinya sedang berbincang. Entah apa yang mereka bicarakan, entah mereka saling terbuka atau ... sudahlah! Jangan berprasangka.

"Via ...." Keduanya menoleh karena panggilan Jay. Sang ibu mengisyaratkan rasa tak suka perihal sikapnya yang selalu gegabah. Mungkin ini juga yang tengah Jay rasakan, memilih wanita dan menikahinya dengan gegabah. Namun, itu sudah tak bisa dihindari.

Jay melangkahkan kakinya, mendekati dua wanita yang sekarang tengah menatap ke arah lain. Via yang kembali menjatuhkan pandangan pada ibu, begitu pun ibunya, nyali Jay seketika menciut. Akan tetapi, kakinya tak berhenti.

"Bu ...," seru Jay mengambil posisi duduk di samping Tari. Melihat Via bangkit, pergelangan tangan itu diraihnya. "Vi ...."

"Iya, Kak? Ehm ...." Via melepaskan pegangan tangan Jay berpindah menggaruk kepalanya. "Mau ngobrol sama ibu, kan? Via tinggalin, ya, mau makan."

"Jay mau ngobrol juga sama Via." Tanpa bisa dicegah ekspresi wajah Jay merenggut. "Jay minta maaf, Vi." Wajahnya tertunduk, lesu.

"Enggak apa-apa." Jay kembali menggapai Via.

"Biar ibu yang keluar, ya." Tari bangkit sambil tersenyum, terlihat lebih ceria. Via hendak menarik tangan ibu, tetapi langkah sang mertua jauh lebih cepat. Jay hanya tersenyum menyaksikan mereka.

Seharusnya aku tahu, wanita ini tak akan mengecewakanku. Teguhkan hatimu, Jay, yakin dia memang pendampingmu, batin Jay bergemuruh. Seolah-olah beban yang satu terlepas. Jay memeluk istrinya seraya berbisik, "Maaf. Ke depannya aku enggak akan gegabah. Ke depannya akan lebih baik."

Tak ada pilihan lain bagi Via untuk menggerakkan tangannya melingkari punggung Jay. Menerima kehangatan rangkulan pertama mereka. Saling berbagi dan ... mengerti.

"Maaf, ya." Jay mengulang kata itu. Kata maaf yang seharusnya dia lantunkan sedari tadi tanpa pemikiran panjang.

"Enggak apa-apa. Via paham, kok." Jundy benar, wanita ini sangat menghormatinya. Jay mengelus kepala yang terbungkus handuk itu lalu membukanya dan tergerailah rambut hitam panjang yang masih basah. Wangi avocado. Jay menghirup aroma itu dalam.

"Kak," panggil Via karena Jay tak bersuara.

"Ya." Suara Jay serak. Laki-laki itu tengah membara, hidungnya turun menghirup aroma lain yang ada di leher wanitanya. Pelukan mereka terurai kemudian netranya menatap jauh ke dalam mata Via. Tengkuknya diraih, tetapi sebelum bibir mereka beradu, jari-jari Via menekan dadanya.

"Maaf ... Via haid, Kak Jay." Blush! Semula pipi merona, angan telah memuncak, hasrat itu dijatuhkan seketika.

Jay menutup mata berbarengan dengan tarikan dan embusan napas yang kencang, menetralkan degup jantung dan birahinya. Mungkin karena aku belum mandi, ya, belum mandi. Jay menjatuhkan kedua tangannya pada pinggul Via, meminta sedikit hak sedikit saja untuk malam ini.

Satu kecupan saja, tolong ..., batinnya meminta, tetapi mulutnya tak bisa berucap. Dilihatnya sang istri bergerak lugu, hanya menunduk dan sesekali menatap.

"Satu kecupan?" tanya Jay akhirnya. Via yang bahkan tak menjawab membuatnya paham. Perlahan Jay melepas pinggulnya dan pura-pura tersenyum. Namun, tangannya ditahan.

"Di pipi?" Terlihat polos, tetapi Jay menanggapinya menggeleng. Via mengerutkan kening karena tanggapan Jay. Jay menyentuh pipi Via, jempol besarnya mengusap lembut kemudia mencium kening dilanjut pipi kanan wanitanya.

Terlihat bagaimana seorang wanita merona, Jay kembali menarik wajah Via dan menciumnya singkat. Jay baru sadar, tangan Via di dadanya mengepal kuat.

¥

Aku menciumnya ... aku menyentuhnya ... aku menciumnya, tepat di bibir. Pikiran Jay kacau. Padahal mereka kini berada di dalam mobil, posisi Jay yang tengah menyetir melambat perjalanannya karena otaknya yang tak karuan.

Sesekali anak-anak Nindya berceloteh dengan Via, membuat kakak Jay berulang kali membentak mereka. Jangan berisik atau kata jangan yang lainnya. Seperti biasa, Jody yang menghalau mereka dan membuat Nindya bungkam.

Ibu yang ada di depan melihat perubahan Jay. Laki-laki itu membuka dua kancing atasnya dan berkeringat lebih banyak. Sesekali matanya melihat kaca kecil yang ada di depan mobilnya untuk melihat Via. Mungkin terlihat cantik di matanya.

"Jody," seru Ibu seraya melihat ke belakang. "Bisa gantikan Jay nyetir, kan?"

"Tentu, Bu. Awas, Bro! Dari pada enggak tenang dari tadi ngeliat kaca spion terus." Jody tahu. Via yang ada di jok paling belakang terperangah. Lebih tepatnya kembali bersemu merah.

"Sini-sini pindah, biar Om Jay yang duduk di belakang," pinta Nindya pada anak-anaknya. "Cepet!"

"Ehm, eng-enggak-"

"Buruan! Atau tuh keringet mau bikin mobil banjir."

Jody dan Tari hanya tertawa, Nindya mendelik kesal. Apanya yang lucu, gadis ini enggak akan dapat apa-apa meski udah nikah sama Jay. Kagak ada yang membuatnya spesial, aku yakin. Nindya mengecap janji dalam hatinya.

Jody mengambil alih kemudi saat ibu memaksa Jay untuk tidur di bagian belakang. Anak-anak Nindya pun menuruti apa kata ibunya. Jay hanya tersenyum kaku pada Via dan langsung menutup matanya. Tak kalah dengan Jay, sang istri pun pura-pura tidur.

Dengan menyentuh dadanya Jay mengatur napas. Membelakangi Via dan menutup wajahnya dengan bantal. Akan tetapi, perangai ini dirasanya salah. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Begitu pikir Jay untuk memulai semuanya.

Dia tak pernah tahu kapan cinta akan tumbuh, tetapi dirinya tahu bahwa ikatan yang sudah terjalin adalah kewajibannya untuk mempertahankan. Jay gusar, dia membalikkan badannya menghadap Via dan menarik gadis itu. Via hanya menatapnya.

"Tidur." Perintah Jay yang tanpa suara itu langsung diangguki Via. Posisi Via yang ada di bahu Jay membuat seseorang merasa iri. Dia sudah menikah, tetapi suaminya tak pernah sekalipun memperlakukannya dengan bermanja. Alasannya selalu sama. Sebuah kesibukan.


Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang