Tajuk 13: Kembali Tegang

49 16 0
                                    

Via menyediakan keperluan Jay. Baju putih polos berbahan kaus, celana pendek selutut bahan katun, pakaian tidur yang nyaman di hangatnya malam. Ya, malam pun tetap gerah untuk Via. Via juga sadar kalau orang di rumah ini pun merasakan hal yang sama dengannya. Kalau pakai istilah ibu mertuanya, tidur tanpa selimut lebih nyaman.

Setelah Jay selesai, Via masuk menggantikan sang suami untuk membersihkan diri. Lengket yang seperti menyelimuti raga tak mengenakkan. Via keramas setiap hari, mungkin karena ini juga ibu menebak bahwa mereka melakukannya setiap hari. Namun, siapa yang bisa menebak apa yang terjadi di kamar pasutri? Bahkan, Via pun tak pernah bisa menebak.

Selepas salat isya Via menemui nenek. Mengobrol ngalor-ngidul tentang apa pun, tentang keluarga Jay terutama kakaknya. Via menjawabnya dengan antusias, seakan-akan yang diprediksi sang nenek tak terbukti. Tentang kita? Via bahkan tidak tahu akankah ada tentang kita antara dirinya dan suami.

Miris rasanya saat orang-orang dalam grup Doco Class menyelamati mereka dan berseloroh tentang sebuah hubungan dunia maya berakhir cinta nyata. Pada kenyataannya, hidup ini selalu tentang beban. Via sadar, sejak kecil dia menjadi beban nenek-kakeknya dan sudah dewasa dia menjadi tanggungan suaminya. Cinta nyata? Seperti hal itu terasa benar, Via kadang turut berbunga jika perlakuan Jay padanya sangat manis.

"Tidur, Nek." Via mengubah alurnya. Dia tak yakin jika akan bertahan pada pertahanan besar yang kerap kali disebut kebohongan.

"Jangan mengalihkan pembicaraan. Jay suka belain kamu atau keluarganya kalau lagi ngobrol?"

"Ish. Ya atuh belain yang bener. Kayak kakek aja gimana? Kalau aku bener yang didukung, kalau salah ya dihujat, eh," seloroh Via menjawab pertanyaan itu. Mengapa sulit untuk mengatakan kejujuran jika sedang begini? pikir Via. Neneknya hanya mengangguk tak yakin, entah percaya atau tidak Ria akhirnya berhenti bicara.

"Yaudah, Nek. Via masuk dulu, ya. Kak Jay udah waktunya tidur." Mau ngapain emang? Via menarik bibir agar senyumannya tampak lebar. "Nenek tidur juga."

Tanpa izin Via langsung keluar dari kamar ibu mertuanya. Melihat sang kakek masih di ruang TV dengan si bungsu Via hanya berkata dua patah kata dan kemudian masuk ke kamar.

Jay tengah mondar-mandir saat Via masuk. Via heran dengan bentuk bibir yang disuguhkan suaminya. Terlihat aneh.

"Kak Jay enggak ada kerjaan?" tanya Via disertai dengan ekspresi menerawang.

"J-jay enggak ada." Jay bingung. Pandangan matanya menerawang jauh ke bola mata cokelat kehitam-hitaman Via. "Jay menginginkanmu, Vi."

Via terperangah. Kesalahan bukan pada mulut Jay, tetapi pendengaran Via yang sedang tidak berfungsi. "Menginginkan?" tanya Via memicingkan mata bercanda.

"Jay serius," dalih Jay sembari mendekati Via perlahan. "Bukankah hak kita belum terpenuhi semuanya?"

Tentang kita. Jika benar-benar terjadi berarti inilah awalnya.

¥

Via terbangun dari malam panjangnya. Segala kehangatan meraup dirinya dalam dekapan bidang kokoh Jay. Seharusnya sepasang pipi Via lebih merona, kilatan pesona seharusnya lebih berwarna. Namun, jiwa Via mati untuk kebahagiaan. Hari-hari berikutnya sesuatu yang sama akan dilaluinya.

Via keluar dengan gamis blue steel dan kerudung mist bermotif bunga mawar di atas kepalanya. Tampil anggun selalu jadi pilihannya, tak masalah jika tidak cocok menurut orang lain, asal nyaman menurutnya.

Seperti biasa, Via melakukan pekerjaan rumah seorang diri. Namun, tidak untuk sekarang, nyatanya Ria ada di sebelahnya dengan sapu di tangan, siap membersihkan ruang tamu sampai halaman depan. Meskipun Via keukeuh melarang, neneknya pasti teguh untuk tak menggubris.

"Sakit?" Neneknya bertanya tanpa ancang-ancang. Via berbalik, tangannya yang sibuk membersihkan wastafel berhenti mendadak.

"Sakit apa? Siapa?" Via bertanya balik. Entah kenapa dia sekaget itu saat dipanggil.

"Jalanmu aneh, kayaknya ...." Ampun! Nenek satu ini siapa yang punya? Bahkan cara jalanku yang menahan sakit dia tahu. Via memilih pura-pura tidak kedengaran. Akan tetapi, sebelum dijawab sang nenek sudah ada di belakangnya.

"Jangan setiap hari," katanya cekikikan dan berlalu begitu saja.

"Parah ih, Nek." Via mendengkus. Dia menyelesaikan semuanya sebelum jam enam. Matanya mencari wujud sang nenek, tetapi tak didapatinya. Dia hanya menggeleng. Semoga neneknya tetap begitu, itu saja sudah cukup membuat Via tenang.

Bahan-bahan di kulkas masih ada, sisa memasak kemarin. Ada ikan Kembung enam biji dan sayur kankung. Sepertinya cukup itu untuk sarapan, pikir Via. Jari-jarinya gesit membumbui ikan, memotong-motong kankung, menggerus rempah-rempah, dan memasaknya tak kalah lihai.

Sela-sela kesibukan itu sang nenek mengganggunya lagi dengan mengetok kulkas. Via hanya menanggapinya dengan gelengan, tetapi ketukannya bertalu-talu yang mau tidak mau Via menoleh.

"Ne-"

"Ah, ada tamu ya? Aku bukan nenekmu." Via mengerjapkan mata lalu mengedarkannya ke sekeliling untuk memastikan neneknya tak ada.

"Iya, Mbak. Nenek sama kakek Via bertamu," balas Via dengan lembut. Pagi sekali dia datang ke sini, untuk apa?

"Hmm ... nenekmu pasti mau jengukin kamu? Takut di apa-apain ya sama, Jay?"

Via tak menjawab seperti biasanya. Tatapan netranya selalu dipaksakan untuk tetap datar. Namun, jika tidak menjawab pertanyaan itu sama saja membenarkan ucapan kakak iparnya.

"Di apa-apain juga gak apa-apa. Kan emang udah jadi istrinya." Via melekukkan bibir tipisnya. "Mbak ada perlu apa? Ibu sama Kak Jay masih pada tidur."

Nindya menyeringai lalu .... "Tidak ada. Aku ke sini untuk memberi tahumu."

Nindya mempersempit jarak. Mematahkan rasa tak acuh Via dan malah menanggapi wanita seperti Nindya yang jelas-jelas tak menyukainya. Keduanya sama-sama di depan kompor yang menyala dan saling menatap.

"Kau tahu Jia? Pasti tahu, dia yang kemarin di sini." Nindya menatapnya tajam. "Jundy selalu dapat pesan berisi curhatan Jay. Jia pernah mendengar alasan Jay menikahimu."

Dada Via sesak, dia tertegun di tempatnya berdiri. Matanya kembali mencari ke sekitar, mencari sosok Ria yang mungkin bersembunyi mendengarkan ini.

"Nenekmu? Tenang ... dia di kamar ibu, tidur lagi. Sayang sekali, kau mencintai Jay, tetapi dia bahkan tidak akan menganggapmu jika bukan karena ibu. Kau tahu?" Seringainya yang licik bahkan tak bisa dihalau Via.

Via berbalik, tak boleh ada air mata. Meski aku sudah tahu, aku sudah pernah mendengarnya, tetapi rasanya tetap sakit.

"Jadi, aku ingin tahu kenapa wanita sepertimu mau menikah dengan laki-laki yang ada di dunia maya? Ah, bagaimana bisa mencinta jika tak jumpa? Awas kalau kau mempermainkan keluarga kamii!" Cerocosan Nindya menerjang badai dalam dadanya. Matanya membelalak kala mata lain di seberang tengah menatapnya.

Via takut, sangat. Bukan karena takut dengan ancaman bahwa dia akan mempermainkan Jay atau keluarganya. Via mencintai Jay, tetapi sang nenek yang tengah menggeleng mengisyaratkan bahwa Via harus tetap diam.

Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang