Tajuk 5: Salah Paham

55 18 1
                                    

Via terharu, angan yang dulu menjadi ingin, kini telah terlaksana nyata. Dalam satu tarikan napas, satu keyakinan, Via sudah sah menjadi istri seseorang. Mata gadis itu terpejam, tangan kanan menggenggam erat tangan Ria yang selalu menemaninya. Teriakan sah, membuat netranya banjir.

"Alhamdulillah ...," ucap semua orang. Jay dan Via hanya terbatas dinding kamar, sebentar lagi mereka akan dipertemukan, saling berpandangan, berpegangan tangan, berpelukan, dalam ikatan yang menjadi pahala.

Meski acara kian ramai, kebahagiaan begitu membahana, pikiran Via terus saja melanglang buana. Jay melakukannya setengah hati, menurut pengamatan Via. Seolah-olah menghindar dari kedekatan intim, Jay menyentuhnya, membingkai senyum di depan kamera, dan menyambut para tamu undangan seadanya. Terpaksa, jika itu kata yang pas.

Teguhkan hati pada pilihanmu, Vi. Dia sedang menyesuaikan diri sepertimu, tetapi caranya pasti berbeda dengan caramu, batin Via terus berprasangka. Via semakin tertohok karena istri sepupu Jay dan Nindya menatapnya begitu sengit sehingga dia hanya bisa tersenyum, kaku.

Lapar, itu yang dirasakan sang Ratu satu hari. Via berjalan ke meja bundar yang ada di samping kanannya, tepat bermacam-macam bolu tersedia untuk empunya acara. Jarinya mengambil beberapa bagian dan menempatkannya pada piring kertas berbentuk bulat bergerigi. Berniat mengambilkan untuk Jay yang Via yakin sama letihnya dengannya.

"Mau, Kak? Via udah ambilkan beberapa, atau Kak Jay mau yang mana nanti Via ambilin?" tawar Via hangat. Pengantin baru seharusnya saling berceloteh tentang kisah mereka, curi-curi waktu saat pengunjung mulai menipis. Namun-

"Jangan khawatirkan aku, makan aja. ...," balas Jay yang membuat telingannya kehilangan fungsi.

Tepat di sana, jantungnya seakan-akan bekerja dengan lemah. Dadanya sakit. Kenapa? Kenapa baru sekarang dia memperlakukanku begini? Via kehilangan konsentrasi, sebelum dapat mengatur kesadarannya dia bangkit dan meminta izin ingin ke belakang.

Acara pernikahan di rumah Ria, dengan dua jalur pintu depan dan belakang. Ruang tengah yang digunakan untuk pengantin menyambut tamu di sekat oleh tirai, di tempati berbagai hidangan prasmanan. Via ingin pergi menemui neneknya, bukan untuk bercerita, tetapi sekadar menenangkan hati.

Namun, yang ada di sana adalah ibu mertuanya. Via ingin memencilkan diri saat Tari menghampirinya semakin dekat. Lantai licin membuat tubuh Tari yang lemah dan piring berisi nasi dan lauknya jatuh. Dengan posisi jatuh telentang Via langsung memanggilnya dan mengangkat kepala Tari, hendak bertanya, tetapi sosok suami sudah bersebalahan dan membentaknya lebih dulu.

"Apa kau bisa hati-hati?" Suara itu menggelegar, orang rumah menonton kejadian ini. "Kau tahu kan kalau ibuku sakit! Tapi-"

"Jay ...," panggil Tari lirih.

"Maaf." Via tak bisa memikirkan kata lain selain itu. Padahal, jika dia tahu lantainya licin pasti dia yang menghampiri ibu lebih dulu.

Bukan hanya perasaannya, lututnya ikut terluka karena pecahan beling. Saat Jay beranjak untuk pergi melewati Via begitu saja. Suara seseorang memecah kebingungannya. "Tamu masih ada yang datang."

Jay membawa ibu masuk ke kamar bersebelahan dengan penjamuan, Via dengan sakit di lututnya mengikuti untuk kembali menyapa para tamu. Sebelum hari berganti, dia tak ingin mempermalukan keluarganya. Ini acara bersama, Via mengerti apa yang harus dilakukannya. Apa lagi? Teruslah tersenyum meski sakitnya bukan kepalang.

¥

Tak kuasa menahan tangis, tetapi menumpahkan juga tidak mengurangi beban. Via berada di kamar nenek, dekat pintu masuk. Ditemani bibi dan neneknya, berkesah kalau suaminya salah paham.

"Ke ibunya aja dia sayang, apa lagi ke aku nanti, kan?" tanya Via, meyakinkan neneknya yang terlihat khawatir bahkan saat Nindya bertingkah tadi pagi.

"Nenek pengen yang terbaik, Vi. Aku yang rawat kamu, besarin kamu waktu ayahmu pergi gitu aja, meninggalkan dunia, tanpa pamit. Ibumu yang enggak tanggung jawab, sampai nikah empat kali, Nenek gak mau, Vi. Gak mau kalau kamu salah pilih dan berujung kayak ibumu." Ria mengusap lembut punggung cucunya.

"Enggak akan, Nek. Via yakin jawaban Allah itu Kak Jay. Hanya masalah waktu aja," tutur Via memeluk tubuh kurus sang nenek. Kekhawatiran akan masa lalunya itu terlintas kembali, bagaimana sang ibu memperdayainya ketika SMP karena melawan suaminya. Aku takut, jelas aku takut hal itu terjadi pada keluargaku. Via membatin. Hatinya tak tentu.

Pelukan mereka terurai, Via harus menuntaskan hari ini dengan membersihkan diri, lututnya yang masih terbalut gaun putih mulai terasa perih. Dia bersyukur, para tamu tak ada yang memperhatikan lutut mereka meski dirinya bergerak gelisah. Keluarga Jay ada di luar menemani Via menyapa tamu, tentu saja dipimpin Jody.

Kenapa bukan Jody yang bertemu dulu denganku? Astaghfirullah ... istigfar Via. Pilihanmu pasti yang terpantas untukmu. Via buru-buru melepas pakaian, mulai dari hiasan kepala bertabur bunga, baju yang perlu dibantu dua orang, dan bedak pada wajah.

"Via mandi dulu, Nek." Via melepaskan jilbabnya dan mengambil handuk. "Nenek istirahat, ya. Pasti capai!"

Dia menutup kamar mandi, tak lupa menguncinya. Tangisan pun pecah, ditambah dengan rasa sakit di perutnya yang kian memuncak, dia mengakhiri cerita pendek kesedihan itu dengan kekuatan keyakinannya. "Ayo, Vi. Semangat! Menyatukan dua kepala dan dua keluarga tak semudah kentut, kan?" Menutupi kegundahan dengan senyum adalah yang terbaik. Pasti!

Haid! Via baru sadar ternyata sakit perutnya karena datang bulan. Dia melanjutkan mandinya dengan cepat. Mengingat persediaan yang mungkin sudah mulai menipis.

Dia keluar kamar mandi dengan handuk yang melilit di kepalanya. Ibu mertua dengan neneknya sudah ada di sana. Tatapan Ibu Jay sendu, Via tersenyum lalu mengambil pakaian tidur yang panjang. Suasana hatinya masih terlalu buruk untuk bertemu dan menjelaskan kejadian tadi.

"Nenek tinggal, ya, Vi." Neneknya beranjak, Via menoleh dan mengangguk. "Saya keluar dulu, Bu."

"Makasih, Nek." Tangan Ibu Jay yang masih lemah melambai. Matanya tak henti menatap Via dengan tatapan bersalah.

"Ibu minta maaf, Via." Suaranya yang serak begitu membuat Via menoleh cepat setelah memakai baju lapisan luar. Namun, dia tak ingin ibu mertuanya melihat dia meringis.

"Tak apa, Bu." Tanpa berbalik ucapan itu berhasil dirinya lontarkan.

"Lututmu pasti sakit kena pecahan piring tadi, ya?"

"Enggak kok, Bu." Via menoleh, raganya sudah berhasil ditaklukkan. "Ibu udah gak apa-apa? Via takut Hb ibu turun. Apa gak sebaiknya diperiksa dulu?"

"Enggak, Nak. Ibu cuma lelah aja, sini duduk sama ibu." Lambaian tangan itu diraih Via. Dia mendekati Tari dan memasang wajah cantiknya. "Ibu minta maaf, ya, Vi. Jay keterlaluan banget tadi ya. Ibu-"

"Kak Jay sayang sama ibu. Jadi, itu gak apa-apa. Via paham. Ibu mau makan?" Via mengalihkan pembicaraan.

"Vi ...," panggil seseorang dengan nada bersalah. Laki-laki itu berdiri mematung di ambang pintu, masih dengan pakaian lengkapnya dan menatap Via merasa bersalah.

Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang