Tari mengintip dari balik pintu yang terbuka. Air matanya ikut mengalir bersama kata-kata anaknya yang putus asa. Dia bersyukur karena dukanya berakhir sukacita. Otaknya berteriak ingin berhambur ke dalam dan memeluk kedua anaknya, tetapi hati tak mengizinkan mengganggu. Jadi, Tari tetap berdiri di sana menunggu sampai Jay melepaskan pelukan dan Via mengusap wajah suaminya. Setelah momennya sedikit tenang, Tari mengetuk pintu lalu masuk yang disambut dengan tatapan sendu.
"Kalian lagi bahagia enggak ngajak-ngajak Ibu," keluh Ibu seraya berjalan cepat. Via ikut berdiri kala Jay beranjak.
Ibu memeluk Jay, melepaskan semua yang menyakiti hati mereka. Begitu erat sampai mereka tak sadar, waktu bergulir dan Via hanya memperhatikan kehangatan ibu dan anak itu.
"Maafin aku, Bu? Aku gagal jadi anak ibu."
"Jangan ngomong gitu! Kamu tetep anak ibu yang paling berbakti, Jay. Ibu bangga!" Tari melepaskan pelukan dan menatap anaknya lalu beralih pada menantunya. "Bertanggung jawab untuknya adalah yang utama sekarang."
Jay mengangguk, dia merangkul kedua wanitanya. Via yang terkejut langsung sadar saat ibu tersenyum dalam dekapan itu.
Di saat yang bersamaan, Jody bertemu Santya yang berada di jalan utama menuju rumah, saat hendak bekerja. Mereka saling mengenal satu sama lain saat Jay mengajaknya untuk bertamu ke rumah. Wanita cantik dengan gamis lengan pendek itu berjalan tegas. Cara berjalannya yang-cukup sombong-membuat Jody melangkah cepat menyusul wanita itu.
"Ada perlu apa? Enggak ada siapa pun di rumah," ucap Jody cepat.
"Masa? Kayaknya aku harus periksa dulu. Aku mau minta maaf sama Jay sama Via. Enggak boleh?" sanggah Santya.
"Hahaha, sudah dimaafkan. Jadi, enggak perlu datang lagi ke rumah ini atau menemui Jay. Hey!"
Melihat Santya mengabaikannya untuk kembali pulang, Jody sadar bahwa wanita itu merencanakan sesuatu. Dia mengejar wanita itu dan mencekal lengannya. Lalu, menyeretnya sampai ke jalan utama lagi tanpa memedulikan para tetangga yang memperhatikan mereka.
"Dia pacar saya, misi ...," kata Jody jika ada warga yang menatap mereka ngeri.
Santya yang merongrong tak dihiraukan, tak diacuhkan, Jody terus menyeretnya hingga sampai di jalanan penuh angkutan umum. Hari ini Jody sengaja tidak membawa motor untuk menghirup hiruk-pikuknya. Berbekal ponsel dan laptop di tas yang ada dipunggungnya, dia akan mengawali interview kedua.
"Lepas, Jod! Tangan gue sakit."
"Lu mau apa, ha? Enggak puas lu udah hampir misahin mereka?" Jody langsung memandang tajam pada Santya yang kini riasan wajahnya dialiri keringat. "Oh, atau lu mau berhadapan sama gue?"
"Apaan sih? Gue itu mau minta maaf. Lu-nya aja yang gak tahu apa-apa langsung tarik tangan gue."
"Setan nyata kayak elu mah enggak akan bisa minta maaf kayaknya. Lu pasti mau ngedrama?" Jody mempersempit jarak, Santya mundur. "Kalau lu mau minta maaf, biar gue aja yang sampein. Kalau lu mau ngasih tahu kalau lu cinta sama kakak gue, lebih baik lu nyerah. Kejahatan lu, tuh, udah ketahuan banget. Alesan lu juga udah enggak berharga. Jadi, kalau lu masih punya harga diri. Silakan pergi atau gue yang bakal bikin Lu minggat!"
Santya menelan ludah. Benar kata Nindya dulu, Jody akan melakukan segala cara untuk menyingkirkan orang-orang yang menghalangi jalannya dan Santya tahu, dia dalam bahaya kalau Jody benar-benar marah.
"Gigih juga. Ok, terima kasih sudah memaafkanku dan titip salam buat mereka, ya."
Santya berjalan menjauh, mata kecil Jody tidak melepaskan pandangannya pada rambut panjang bergelombang dan punggung ramping Santya. Jody terkekeh, tidak seperti dirinya yang hitam, kurus kerempeng, dan rambut gelombang, kakaknya adalah laki-laki tampan yang dipuja kaum hawa.
Jody bergegas memberhentikan angkot. Jody mendecak karena wanita itu dia harus datang terlambat di hari interview. Kenapa juga aku harus sok-sok-an kagak bawa Mio, sih? rutuknya. Sebuah perjalanan yang tidak sesuai rencana membuat moodnya runtuh. Dia menjadi laki-laki paling dingin yang akan ditemui manusia yang ada di dalam angkot.
¥
Tiga bulan berlalu. Jay menepati janjinya bahwa semua akan lebih baik. Via sangat sadar, hari ini semakin baik. Kasih sayang tercurah, kemesraan terjamah, hubungan semakin serius terarah, dan segalanya berkah.
Jay sudah diterima di penerbitan besar sebagai freelance descover. Bekerja di rumah, Jay memiliki banyak waktu luang untuk keluarga kecilnya. Meski tak menutup kemungkinan kalau masalah akan selalu hadir saat bahagia sedang meraja. Masalah kecil kerap kali hadir dan tak bisa diperkirakan sebelumnya. Seperti hari ini, Jody belum pulang dan tak bisa dihubungi. Laki-laki berusia dua puluh lima tahun itu membuat ibunya menangis dan gelisah.
Secara bergantian dan berkala kakak-kakaknya menelepon, sudah berpuluh kali tetap tidak ada sambungan yang nyangkut. Via duduk di samping ibu, hanya bisa mengelus dan menenangkan. Hatinya berdoa, agar adik iparnya itu lekas kembali dalam keadaan apa pun.
Tiba-tiba lampu padam, Via merasakan tangan ibu menggenggam tangannya erat. Entah ibu takut atau hanya terkejut. Via lebih memilih melanjutkan mengelus pundak ibu agar tidak kolaps. Kak Jay menyalakan senter, memeriksa semua kondisi keluarganya yang kalut. Takut-takut kalau ibu makin gelisah.
"Happy Birthday to you ...." Seseorang menyanyikan lagu itu dengan amat sangat sederhana. Sosok itu berjalan perlahan sambil membawa kue ulang tahun yang di atasnya sudah tersedia lilin, seperti tiga orang pengibar bendera.
"Happy Birthday to you ...." Sekarang orang-orang yang ada di belakang sosok itu mulai ikut bernyanyi. Akhirnya lampu dinyalakan.
Terlihat Jody tengah cengengesan saat ditatap oleh keluarganya. Ibu yang makin terisak bangkit dan menghampiri laki-laki kerempeng itu.
"Ngapain kamu ke Sukabumi tiga hari cuma bikin kejutan gini?" tanya ibu sambil memukul pelan wajah Jody. Jody hanya nyengir dan meraih tangan ibunya.
Jay ikut tersenyum. Terus terang dia tidak pernah mengerti jalan ninja adiknya. Dia hanya tahu tentang kehumoran adiknya, tanpa tahu suasana yang diciptakannya benar-benar bisa membahagiakan.
Via memang sudah masak makanan kesukaan ibu, tapi tidak ada kejutan. Semuanya dibuat datar dan bersyukur seperti biasa. Namun, kehadiran si bungsu yang membuat semua orang keder benar-benar ide gila.
"Maaf, gue sengaja matiin ponsel."
"Anak kurang ajar!"
"Adik kurang ajar!" Satu hati, Tari, Jay, dan Nindya mengumpati keluarga bontot mereka. Semuanya hanya tertawa, tak terkecuali Via.
Jay mendekat dan merangkulkan tangannya ke pinggang Via. Enggan untuk melepaskan, Jay berjalan dengan posisi itu. Membuat seseorang merasa cemburu, beberapa orang dalam ruangan juga terlihat iri, tapi bukan mendengki. Mereka hanya menginginkan perlakuan yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]
Ficción General"Katanya kalau kita hidup di pasar jodohnya bakal sama orang pasar juga, seperti penjual dan pembeli. Begitulah selintingan yang pernah kudengar, dan aku membuktikannya. Menggeluti dunia kepenulisan, bertemu dan banyak belajar dari laki-laki itu, ak...