Tajuk 1: Lamaran

114 23 4
                                    

Air cucuran atap jatuh ke pelimbahan juga. Peribahasa yang sangat ditakuti Via kembali terngiang, memadamkan semangatnya untuk menyambut esok hari dengan tertidur sekejap. Ya, sudah pukul 02.31 di daerah Sukabumi. Air dingin menusuk kulitnya saat berwudu tadi. Kini, wanita dengan wajah oval itu duduk bersimpuh menenggelamkan diri pada pendekatannya dengan sang Kuasa. Menenangkan hatinya dari rasa ngilu yang terus menjalar. Sekali lagi, kepanikan selalu bisa membuat kebahagiaannya menjadi gundah gulana.

Dia membuka Al-Qur'an, mencoba menemukan jawaban istikharah agar semakin meneguhkan jiwanya. Kitab suci yang sering dibawanya jika ada kajian atau acara pertemuan dengan teman-temannya itu terbungkus jilid berwarna cokelat berbahan lentur. Via membuka ritsletingnya, tetapi masih menangkupkan tangan, belum berniat membukanya. Kelopak matanya menutup, bibir merapalkan kalimat syahadat, surat Al-fatihah, shalawat tujuh kali, seperti ketentuan yang dia dapat dari ustazahnya.

Telunjuk kanan Via membuka halaman tengah Al-Qur'an, jempol kiri pun membantu untuk melebarkan halaman tersebut. Tangan kanan menyentuh selembar, lalu bergulir ke lembar selanjutnya sampai halaman ke delapan, dari atas jarinya menghitung tujuh ayat ke bawah. Sampai ayat ke delapan di halaman tersebut. Lagi? Keningnya berkerut. Ini kali kedua ayat yang ditemukannya menjurus sama, menenangkan di awal, tetapi ada bagian menggantung di akhir. Al-Qasas ayat 9

"Dan berkatalah isteri Fir'aun: "(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu." Via membacanya keras. Menekankan setiap bagiannya apa lagi pada kata penyejuk. Hari ini, dia hanya ingin ketenteraman dan bisa melewati acara nanti dengan baik. "Teguhkan hatiku di atas agamamu," ucapnya lirih. Niat hati ingin kembali mencoba mengulangi perlakuannya pada Al-Qur'an yang masih setia dirinya tatap. Namun, azan subuh telah berkumandang di susul suara teriakan dari dapur.

Nenek sudah bangun ternyata.

"Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak", sedang mereka tiada menyadari." Q.S Al-Qasas ayat 9.

Apa yang sebenarnya tidak aku sadari? Pikirannya terus mengulang akhir terjemahan dari ayat itu. Lagi, sesuatu dari masa lalunya seakan mengawasi.

"Udah salat?" tanya Ria-sang nenek yang memunculkan kepala dan sebagian badannya di pintu masuk, Via menoleh dan menggeleng cepat. Pegangannya pada Al-Qur'an semakin kuat, tanda berpegang semakin teguh pada keputusannya.

"Yaudah. Cepetan, nanti gantian." Pintu kembali akan ditutup, tetapi sosok tubuh kecil itu muncul kembali. "Kapan calonmu datangnya? Harus pasti, biar pas datang masakannya masih pada anget," tambahnya.

"Uh, Nenek emang paling pengertian. Nanti Via kabari." Kedipan mata Via lontarkan pada sang nenek yang langsung beranjak. Dia pun segera berdiri untuk melakukan sembahyang pagi di tambah dua rakaat sunah. Takbiratul ihram dia dengungkan, meski gelisah kembali merayap tak diacuhkannya. Jauh di dalam jantungnya yakin, selepas berdoa ruhnya akan kembali tenang.

Kamar yang tak berantakan karena tidak dipakai sedari malam, Via rapikan sedikit. Jendela dengan kusen terbuat dari kayu jati itu masih tertutup saat dia menghampirinya. Tangan terjulur untuk menarik engsel jendela dan membukanya lebar agar udara pagi bisa dihirup, cahaya pagi bisa menghampiri. Coba jika hatinya tidak bergetar begini, hal ini yang selalu menjadi minatnya agar menginspirasi tulisannya. Ya, dia penulis. Seorang penulis pencinta udara dan sinar pagi.

Dering ponsel berbunyi. Bukan mengalun, tetapi memekakkan telinga. Via terkekeh. Dia mengatur alarm dan dering telepon genggamnya dengan gemuruh riuh yang kerap kali dimarahi. Memangnya kenapa? Hal ini membantunya mengingat bahwa alarm dan telepon sama pentingnya.

L_ Doco Coach_Jay id Calling....

Hampir saja aku melupakan permintaan nenek tadi, pikirnya.

Tangannya menggeser ikon bulat di layar dan mengarahkannya pada ikon bulat warna hijau di bawah.

"As-wa'alaikumussalam. Hi, maaf." Via mengambil posisi duduk di atas ranjang.

"Jay udah sampai Cicurug, Vi. Kira-kira satu jam lagi sampai."

"Enggak macet, ya? Cepet!" timpal Via sekenanya. "Hm-"

"Udah sih, gitu aja. Dah, ya!" Laki-laki di seberang sana memutus telepon secara sepihak. Via terkejut bukan main, kali ke berapa sejak Jay mengajaknya berhubungan serius, laki-laki itu selalu melakukan sesuatu sepihak. Memutus telepon seperti barusan yang paling tak wajar. Biasanya mereka akan bercengkerama sampai tuntas dan berujar sampai jumpa. Entahlah, Via harus membantu keluarganya dan segera bersiap.

¥

Pukul 08.18 terbilang cukup pagi untuk waktu bertamu. Namun, keluarga Via tak punya alasan untuk tidak menjamu mereka. Toh, jika dengan pernikahan ini keluarga mereka bersatu, tak ada alasan lain untuk saling menghormati nantinya.

Kedatangan Jay dan keluarga disambut keluarga Via, nenek menjabat tangan ibu Jay, Tari. Keramahan Tari meminta maaf karena kunjungan yang mendadak dan tidak memiliki persiapan banyak, mengharuskan tuan rumah kewalahan. Berbincang santai, begitulah jika ibu-ibu sudah bertemu. Tak dapat dipisahkan dari obrolan bermutu. Mengalir.

Via keluar ruangan karena seruan sang nenek lalu memberi salam pada calon mertuanya. Via lamat-lamat mengedarkan pandangannya, bola mata kecilnya tak sengaja menubruk wajah Jay. Seulas senyum dia tebarkan.

Kendalikan dirimu, Vi. Tadi itu memalukan, batinnya merutuk. Entah disadari atau tidak oleh Jay, tetapi kelakuannya tadi bak anak-anak gadis berusia lima tahun yang baru melihat laki-laki tampan seusianya. Parah memang!

Ibu Jay tersenyum dan berucap sopan, "Kenapa, Neng?"

"Ah," tukas Via. Dia menghadapkan kembali wajahnya pada Tari, gelagatnya yang kikuk memberi pesona anggun di mata sang calon mertua. "Enggak kenapa-kenapa."

"Jay," panggil Tari. Jay segera menoleh disusul anggukannya, lalu maksud itu diucapkan dengan tegas.

Tak ada yang bisa dilakukan Via selain menunduk dalam. Mengusap dengkulnya, menggigit bibir, berharap bisa mengatur deru jantungnya. Kendalikan dirimu, Via. Lagi, hanya itu yang selalu dia katakan pada diri sendiri. Satu kata yang tidak pada tempatnya akan merusak segalanya. Hal itu yang selalu dia ingat. Menjadi prinsip utama.

"Via siap?" Suara kakek mendominasi. Seperti naik histeria di Transtudio Bandung, dirinya hanya mampu mengatur kepanikannya sendiri.

"Via." Bukan suara kakek. Jelas, itu vokal orang luar yang sering dia dengan di telepon. Via menatap lurus ke depan, mata mereka bertemu dan tetap diam membisu.

Apa? Apa aku harus bilang bahwa aku takut dan menjadi ragu setelah dirinya datang ke sini, setelah aku memberi harapan padanya bahwa aku siap. Bukan, tentu saja bukan karena Kak Jay jelek atau tidak sesuai di foto. Muka misteriusnya dulu yang disembunyikan benar-benar mempesona. Aku takjub, batin Via.

Namun, sesuatu seperti menggelitik pikirannya untuk tidak menerima, tetapi tidak menolak. Ya, ketakutan terbesar yang selalu membuai. Jika berhenti di sini, dia tak akan mampu menatap masa depan.

"Via siap," sahutnya mantap.

Terdengar kata lega, tetapi kebimbangan mulai lebih terasa.

¥

Selamat membaca teman-teman.
Semoga bermanfaat, ya. Ketemu di chapter berikutnya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang