Jay menemui Jody setelah cukup merenung. Setelah mereka selesai makan, Jay keluar, mendapati ibu dan istrinya tengah tercenung. Mereka sama-sama terdiam. Laki-laki bertubuh gempal itu lebih memilih melewati kedua wanita yang sedang duduk dari pada harus berdebat dan ibu menuduhnya berselingkuh lagi.
Tangan Jay terkepal. Keinginannya untuk mencabik Santya, jika benar wanita itu yang menghasut ibunya, dan ingin sekali menenggelamkan dirinya dalam sumur yang sudah tertutup untuk menghindarkan malu seumur hidupnya. Dia sampai di kamar tidur adiknya. Bau maskulin kesukaan mereka menyemerbak ketika dirinya memasuki ruangan yang lebih kecil dari kamarnya.
"Jod!" panggil Jay. Membuat Jody dengan pakaian kasualnya yang tengah berkaca itu tersentak.
"Kaget aku!" Jody melotot sambil berbalik. "Ada apa?"
"Ehm, gini-"
"Sori, kemarin Santya ngechat gue kalau lu lagi sama dia, Mas. Makanya gue bilang gitu ke Teh Via, terus datang ibu. Aku enggak tahu kenapa ibu langsung nyangka lu selingkuh."
"Lu suka sama istri, gue?" Setelah penjelasan singkat tentang kejadian kemarin yang langsung dimengerti Jay. Jay langsung membalikkan topik pembicaraan. "Aku tahu lu baik banget sama dia, nemenin dia. Aku juga sadar karena lu. Makasih banget udah jagain dia selama aku masih ketar-ketir nyari kebenaran dari keputusan ... ya, lu tahu, Jod," ungkap Jay akhirnya.
Jody tak berhasil menyembunyikan semburat itu. Dia tahu bahwa lambat laun respeknya pada Via akan terlihat berlebih. Jody menepis hal itu dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja. Rasa di hatinya hanya suka dan kagum karena Via, kakak iparnya. Tidak lebih.
"Kau akan menemukan yang lebih baik, percayalah!" Jay merangkul adiknya. Jay tahu usia mereka yang sama membuat keduanya dekat, tetapi perlakuan Jody. Namun, dirinya pun tak bisa melarang banyak. Toh, dia yang memberikan celah itu pada adiknya.
"Gue support, Mas. Nanti gue bantu jelasin ke ibu sama Teh Via." Jody balas merangkul kakaknya. Beginilah seharusnya, Jod. Kau hanya ingin mempersatukan mereka dan membuat mereka lebih rekat.
"Thanks. Mbak Nindya sama Mas Tanjung tahu apa yang tadi pagi aku lakuin di kantor."
"Syukurlah," jawab Jody lega. "Kalau gitu gue harus berangkat. Hari pertama enggak boleh telat."
Mereka melepas tawa sembari melerai pelukan. Sebelum Jody benar-benar meninggalkan kamar, tubuh kurusnya berbalik dan .... "Selamat atas keberanianmu, Bro!"
Jay mengangguk, tangannya melambai diiringi dengan kekehan khasnya.
¥
Berpikir seribu kali pun, Via tetap terganggu dengan kata-kata Mbak Nindy dan ekspresi suaminya. Ibu tengah beristirahat, meninggalkan dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan yang terus menggelayut, kenapa sampai saat ini Jay masih mendiamkannya? Tidak memberi tahu ada apa sebenarnya? Benarkah dengan Santya? Tapi waktu ketemu di tukang bubur kemarin, mereka keliatan banget enggak deketnya? batin Via menerka.
Via beranjak ke kamar, mengistirahatkan tubuh beberapa saat akan membuat pikirannya jernih. Setidaknya, tidak perlu bertanya-tanya apakah Jay masih ingin mempertahankan pernikahan ini.
Dilihat Via, Jay sedang menatap laptopnya. Menyusun beberapa gambar vektor buatannya menjadi satu kesatuan yang padu. Cantik, pujinya dalam hati. Via melewati meja Jay dan merebahkan dirinya di kasur. Sudah cukup main-mainnya! Argh!
"Via?"
Ah, apa Kak Jay dengar jeritan otakku? Aih! "I-iya, Kak?" Via menimpalinya tanpa membalik badan. Dia takut saat berbalik, sesuatu akan menyuruhnya untuk terus menetap dan menatap.
"Bagus, gak? Seingetku kamu jago bikin cover buat humor," kata Jay pada Via yang masih membelakanginya. "Bisa kasih saran?"
Mau tak mau, wanita itu berbalik dan dengan menundukkan pandangan, dia menjawab, "Kak Jay lebih hebat urusan desain."
"Aku enggak lebih hebat. Pasalnya bisa karena terbiasa." Jay beranjak mendekati Via. Duduk di bawah lantai, di mana Via duduk di atasnya. Seperti memohon minta lamarannya diterima. Begitu kira-kira definisi Via.
"Ada apa?" tanya Via mengalihkan fokusnya ke sisi ranjang. Kalau mau minta cerai, posisi gini tuh enggak enak banget, Kak, gerutu Via dalam hati.
"Kakak mau minta maaf, Vi." Pernyataan Jay membuat Via kembali menatapnya. Memfokuskan netra pada wajah laki-laki di hadapannya. "Aku udah pernah bilang, kan, kalau menikahi Via karena meman-faatkan, aku egois." Jay menunduk, menghindari kontak mata sepertinya lebih baik. "Tapi kalau untuk selingkuh ... demi Allah, aku enggak pernah ngelakuin itu."
"Mu-mungkin i-ibu salah pemahaman dari informasi Jody, Kak. Vi-via ...," jelasnya dengan terbata, saat tangannya ditarik ke depan, mata mereka bertemu. Jay menjelajah tatapan kosong istrinya.
"Itu enggak penting lagi, Vi." Jay berdiri dan duduk di samping Via, menyejajarkan diri. "Yang jelas sekarang, aku udah tahu kalau pilihan hidupku itu tepat."
Jay merangkul, tetapi istrinya terpaku. Sesuatu yang mengganjal seolah-olah luruh dan janji yang mengungkung telah terbayar. Via yakin kini matanya telah berair dan membanjiri pundak Jay, dia yakin baju Jay telah basah karena linangan air itu. Pernikahanku berhasil? Benarkah?
Via merenggangkan tangan sebelum memeluk badan Jay. Setelahnya, tangan besar yang kini merangkul tubuh Via terasa semakin erat. Via pun mengencangkan pelukannya. Jangan sampai kehilangan lagi, jangan sampai terlepas. Beberapa lamanya, pelukan itu belum juga terurai. Jay beralih memainkan tangan kirinya di kepala Via, mengusap lembut, mengayun halus.
"Siapa yang ngasih tahu Kak Jay?" tanya Via di dalam pelukan Jay. Suaranya teredam karena hal itu.
Jay yang masih memeluknya, enggan untuk melepas. "Perlu tahu?" kata Jay dan lebih memperdalam tubuh itu pada rengkuhannya.
"Engap!" teriak Via. Jay melepaskannya dan tersenyum. Mereka saling menatap ke depan, fokusnya tidak mau buyar karena kebahagian bersarang dalam diri mereka.
"Kak Nin yang ngasih tahu aku. Kalau Santya udah tahu ibu sakit sebelum ketemu Via." Menghela napas, kemudian Jay melanjutkan, "Kata Kak Nin, dia mau jodohin aku sama Santya karena keliatannya kami deket dan aku bisa lupa soal kegagalan nikah tahun lalu."
"Ooh, gitu. Kak Santya suka Kak Jay kali. Makanya dia fitnah ak-eh ...," ungkap Via, tetapi tak berani melanjutkan.
"Sepertinya. Tapi untuk alasan apa pun, memfitnah itu tidak dibenarkan. Apa lagi sampai membuat sepasang manusia saling benci. Kakak juga salah. Harusnya lebih percaya istri dari pada temen yang emang udah lama kenal. Mereka enggak menjamin."
Via menepuk pundak suaminya. Mata Jay memerah dan mengeluarkan air. Kembali menangis dan menyesali perbuatannya hanyalah salah satu cara. Jay kembali memeluk Via dan disambut hangat oleh sang istri, tangan Via yang sekarang mengusap punggung Jay. Berharap karena itu, suaminya kembali tenang.
"Apa semua bisa kembali ke awal? Aku ngerasa bersalah banget. Enggak pantes buat Via!"
Sekali ini, Via mendengar suaminya sangat putus asa. Napas Jay yang pendek dalam tangisannya, sejalan itu pula terkikis sedikit demi sedikit ego Via.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]
Genel Kurgu"Katanya kalau kita hidup di pasar jodohnya bakal sama orang pasar juga, seperti penjual dan pembeli. Begitulah selintingan yang pernah kudengar, dan aku membuktikannya. Menggeluti dunia kepenulisan, bertemu dan banyak belajar dari laki-laki itu, ak...