Tajuk 4: Pernikahan

63 18 0
                                    

"Saya terima, nikah dan kawinnya Via Maulvi Alfanisa binti Jihad dengan maskawin yang disebutkan, tunai!" Dengan satu tarikan napas, Jay mengikrarkan janji. Saat para saksi mengucapkan sah, bahkan dilihatnya sang ibu menangis memeluk Nindya, matanya ikut terharu. Sudah selesai, Jay! Dirimu harus membahagiakannya, batin Jay.

Via datang. Lebih tepatnya, keluar dari kamar dengan ditemani dua wanita di sisi kiri dan kanan. Gaun putih panjang membalut tubuhnya yang bisa dikatakan ideal, bulu mata palsu yang panjang nan lentik membingkai wajahnya menjadi paripurna. Warna cokelat mate yang terlihat natural untuk kulit kuning langsatnya, Jay memandangnya tertegun. Tentu saja Jay bisa jatuh cinta dengan cepat, kan? Siapa laki-laki yang akan berpaling dari wanita cantik seperti Via? Siapa laki-laki yang menikahinya karena terpaksa, tak mungkin, kan? Kau bodoh! Ya aku mengakuinya, pikiran Jay kembali gamang. Dia hanya bisa tertunduk.

Wanita itu terus bergerak menghampiri, ikut duduk di samping Jay, di depan penghulu. Binar mata selepas tangis bahagia masih menaburi riasan di sekeliling matanya. Netra mereka beradu, Jay menerobos masuk pada tatapan itu. Entah sendu, pilu, atau haru. Lagi-lagi ... dia hanya bisa merasa bersalah.

Pembicaraan kemarin, seharusnya Jay menyampaikan semuanya. Tentang hati, niat, tentang mereka, pernikahan, dan sesuatu yang akan terjadi selanjutnya. Akan tetapi, lidah seakan-akan tak mengizinkan bibir untuk melapal. Bukan takut, tetapi khawatir.

"Kang Jay ...," panggil Pak Penghulu seraya membenarkan pecinya. "Mangga atuh, tuker cincin. Alhamdulillah ... udah sah jadi suami istri sekarang."

"Biasa, kan, Pak. Namanya pengantin baru, tatapan matanya lama."

"Bu ...," panggil ketiga anak Tari. Jay melihat Via menoleh pada ibunya dan tersenyum bersama.

Dalam riuh ramai dua keluarga, pasangan baru itu masih malu-malu. Enggan untuk mengulurkan tangan agar segera jari segera terbingkai. Sampai Jay mengulurkan tangan lebih dulu untuk meminta tangan Via.

Deg! Sentuhan pertama mereka begitu ngilu, begitu juga dengan kerja jantung Jay yang terasa baru. Meski lambat, tetapi proses ini harus segera selesai.

"Giliranmu," ucap Jay memberikan senyum, mencoba setenang mungkin.

Via mengambil cincin dalam kotak bahan beludru berwarna putih, seperti pakaian mereka dan meraih tangan Jay. Dimulai dari jantung, otak, tangan, dan seluruh badan Jay merasa tersengat. Begini getaran pada laki-laki yang jarang menyentuh wanita.

Sungkeman dilakukan dengan khidmat, membungkuk pada orang tua masing-masing. Bukan hanya Via, tetapi Jay pun mengalirkan bulir bening dari pelupuk mata. Dia teringat sang ayah yang telah tiada. Hari di mana dia menikah, seharusnya dua orang yang sekarang berbahagia. Dengan bangga mengakui bahwa mereka berhasil mendidik putra. Air yang jatuh, melampiaskan segala gundah. Mungkin.

Sesi foto digelar, semuanya terasa baik-baik saja. Namun, saat Nindya mengajak anak-anaknya untuk ikut berfoto dia menolak dengan alasan yang tak masuk akal. Padahal anak-anaknya bergerak berlawanan.

"Enggak apa-apa kalau enggak mau, Bu. Jangan dipaksa," imbuh Ria dengan senyum mengembang. Jay menggeleng dan menghampiri, menegur Nindya dengan mengalihkan pandangan pada ibu mereka. Mulutnya merapal kosong, tetapi mereka saling mengerti.

"Nin lagi badmood, Jay. Ayah mereka belum pulang juga. Kalian aja yang difoto." Nindya berekspresi ketus, Via menunduk. Beberapa kerabat Via pun hanya tersenyum canggung.

"Mpok! Kalau badmood sana aja balik hotel. Malu-maluin banget di sini. Kamu sekolah tuntas, kan? Gelar S1 enggak berpendidikan si Mpok?" Suara itu sangat rendah, seperti telepati. Bermulut pedas. Ya, julukan si bungsu yang kadang kelewatan, tetapi Jay tahu, kakak dan adiknya satu paket.

"Kurang ajar banget," gerutu Nindya dengan mata bulat yang menyala.

"Mah!" teriak El-anak laki-laki Nindya yang baru berumur tiga tahun-menarik baju ibunya untuk tidak membawanya keluar. Nindya hanya memelototinya.

"Terserah. Tapi emang bener, kok, Mbak. Kelakuan Mbak kayak orang enggak sekolah." Jody mendengkus, mengambil alih tangan keponakannya dan beralih pada pengantin. "Teh Via cantik banget hari ini. Ayok, bibi-bibi kita foto lagi. Mumpung belum banyak orang yang datang, nih."

Jody mengedip, Jay hanya berujar 'thanks' tanpa suara dan mendekati mereka siap berfoto bersama lagi. Jangan tanya ke mana Nindya? Saat terpojok dia hanya punya satu pilihan, mengikuti aturan main acara sampai selesai.

Semua keluarga menyambut para tamu undangan, kedua mempelai terlihat sibuk menyalami para tamu. Via tak henti-hentinya berganti posisi dan membenarkan hiasan kepalanya. Memakai jilbab sudah biasa dia kenakan, tetapi dengan mahkota yang berat membuat kepalanya sedikit pusing. Tak mau repot, Jay hanya fokus pada para undangan.

Sepasang mata memperhatikan mereka dengan saksama. Meski tidak dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, tatapan mata itu mendelik saat beradu. Rasa tidak suka tertera jelas, begitu kentara sampai mereka tidak sadar bahwa sang pendamping pengantin memperhatikan mereka juga.

¥

Keadaan penat menyerang Jay yang memang belum duduk sedari siang. Para tamu undangan bukannya semakin berkurang dari waktu ke waktu, malah bertambah. Via mengambil makanan dan menawarinya, Jay hanya terpaku pada makanan dan tak acuh. Dia malas meski hanya menggeleng atau mengangguk.

"Capai, ya? Mau Via ambilin makanan lain? Kak Ja-"

"Jangan khawatirkan aku. Makan aja, besok kita harus punya tenaga untuk pulang ke rumahku." Tanpa sadar Jay bernada sengit. Bukan memberi informasi, tapi penekanan yang bersifat multifungsi.

"Via ke belakang dulu."

Jay menghela napas. Dia tidak tahu ada apa dengan dirinya, kata-kata yang dilontarkan tadi pun dia tidak ingat. Sesuatu seperti menggelitik hati dan membuatnya merasa tak nyaman.

Lama Via di belakang, para tamu pun berangsur pamit pulang. Di sana ada Nindya dan Jundy-sepupu Jay yang datang tadi siang-bersama istrinya yang selalu fokus pada benda pipih dengan frame fotonya sendiri.

Tangannya mengisyaratkan pada Jay untuk melanjutkan tugas dan mereka melanjutkan berbincang. Nindya masih melihatnya dengan gaya menantang, kejadian tadi siang benar-benar membuatnya jengah.

"Sehat kalian?" tanya Jay sedikit berteriak.

"Sangat baik, dong." Jundy menyahut dan masih berpaku jarak.

Suara piring pecah terdengar menderu bersamaan suara mengaduh dari sosok yang sangat mereka kenal. Walau raganya sudah tak kuat berdiri, Jay memaksa untuk lari ke ruang makanan dan melihat sosok yang kini setengah tidur.

"Apa kau bisa hati-hati!" bentak Jay. Via begitu terperangah, sampai dia melepaskan pegangan tangannya pada bahu Tari. "Kau tahu 'kan kalau ibuku sakit? Tapi-"

"Jay ...," panggil Tari serak. Badannya lemas.

"Maaf." Via hanya bisa melontarkan itu. Keluarga yang ada di sana menatapnya iba. Hendak memberi tahu apa yang terjadi, Jay sudah membawa ibunya ke luar, ke kamar pengantin yang dipenuhi bunga.

Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang