"Halo, Mbak Jia. Ehm, Bang Jundy ada?" tanya Jay ketika seseorang dari balik pintu itu mengeluarkan sedikit kepalanya.
"Jay!" seru wanita itu, kakinya lunglai seolah-olah tidak memiliki tulang. "Kupikir siapa."
"Heem. Ini Jay, Mbak. Bang Jundynya ada?" balas Jay ketika pintu dibuka lebih lebar dan dirinya dipersilakan masuk.
Dengan celana pendek yang menutupi setengah pahanya, wanita itu duduk di sofa tempat menerima tamu. Dia menumpangkan kakinya yang putih mulus itu pada kakinya yang lain. Jay mengambil napas sebelum memasuki rumah itu.
"Dia tadi ada, tapi lagi keluar dulu, mungkin sebentar lagi dia datang. Jay mau minum apa? Biar Jia ambilin." Jia melempar pernyataan dan pertanyaan berbarengan. Alhasil, Jay mengangguk lalu tersenyum.
"Apa aja," jawab Jay, "ehm, kira-kira berapa lama?"
Sambil beranjak Jia menjawab, "Kurang tahu." Tubuh itu meninggalkan Jay sendiri dengan kerisian. Pasalnya, keluarga Jay jarang sekali menampakkan aurat. Ibu, Nindy, dan sekarang Via, mereka semua selalu memakai jilbab.
"Assalamualaikum Ji, eh-ada Jay!" sapa laki-laki yang Jay tunggu.
Jay melemparkan senyum lalu beranjak dan memeluk Jundy. Anak-anak Jundy yang berada di belakang langsung berhamburan memeluk pamannya dan mengulurkan tangan pada mereka kemudian mencium punggung tangan Jay.
"Aku ada perlu, bisakah kita keluar sebentar, jalan-jalan di sekitar rumah atau di jalanan komplek depan." Tanpa basa-basi Jay mengajak Jundy yang baru saja pulang tanpa memikirkan lelahnya.
"Ada masalah?" tanya Jundy pada Jay.
"Tentu ... makanya aku ke sini untuk menemuimu. Aku tidak tahu harus pada siapa aku menceritakannya, aku juga tidak tahu apa orang rumah masih ada yang mau mendengarkanku atau tidak."
Mereka keluar setelah Jundy meminta izin pada Jia dan anak-anaknya. Meski sedikit rewel, Jundy harus tetap pergi dan dia tidak punya pilihan lain untuk mengikuti aturannya. Jia sebenarnya malas sekali untuk mengurus anak-anaknya, sejauh ini dia hanya memikirkan setelah mengandung dan melahirkan dua anak, lalu mensyukuri kehidupannya.
"Sini mainnya sama Ibu. Ayahnya mau nemenin Om dalam misi rahasia, ok?" Kedua anaknya laki-laki, jadi sangat mudah untuk Jia mengatur mereka meski terlambat.
Jundy dan Jay berjalan perlahan menyusuri setiap belokan atau persimpangan yang ada di sekitaran komplek. Mereka masih sama-sama diam sampai Jundy mengeluarkan suara mempertanyakan perihal apa yang terjadi pada harinya kali ini.
Jundy mengajak Jay untuk duduk di bangku taman komplek. Meskipun banyak orang di sana, tapi tak mengganggu kenyamanan dan pandangan mereka.
"Ibu mengetahui semuanya beliau menjauhiku, seharusnya aku tahu dan aku sadar sedari dulu hal ini mungkin terjadi. Ibu dan Via sama-sama menjauhiku, meninggalkanku sendiri di tengah kebimbangan dan kebingungan. Membuatku semakin merasa bersalah pada keputusan yang telah aku ambil. Terus terang aku bingung bagaimana harus menjelaskan pada mereka bahwa aku tidak punya pilihan saat itu," tutur Jay. Ini pertama kalinya bagi Jundy, Jay begitu putus asa. Terlihat dari mimik wajahnya dan cara dia meremas tangan.
"Aku punya masalah yang sama kita. Sama-sama tidak saling mencintai awalnya, kita juga sama-sama saling menghindar karena kita tidak tahu bagaimana sikap dan sifat pasangan kita. Tidak jauh berbeda, aku dijodohkan kami tidak saling mengenal bahkan aku pernah berpikir, setelah ibu tiada aku akan menceraikannya. Tapi begitu lahir seorang anak dari rahimnya yang aku buahi, aku sadar kami sudah terikat meski kadang aku sakit hati dengan perlakuannya. Namun, perlahan dia mulai berubah mungkin sekarang rasa yang tak mungkin itu sudah menjadi pasti."
Jundy menjelaskannya sanbil tersenyum dan menepuk pundak Jay, menyadarkan Jay bahwa merenung itu sesuatu yang tidak menghasilkan apa pun, Jay harus bertindak.
"Apa ibu akan memaafkanku? tapi aku tidak bisa memaafkan Vis karena sesuatu hal yang lain, dia sudah menghancurkan batas percaya aku padanya."
"Itu terserah padamu, kau yang menjalani Jay. Jangan jadikan masalah hidup itu sebagai beban yang amat berat. Sungguh. Itu salah. aku berani bertaruh kau sudah mencintai istrimu hanya kau tidak mau meyakinkan dirimu sendiri bahwa kau memang sudah punya perasaan itu. Percayalah Jay kau harus memulainya terlebih dahulu."
Jay menghadapkan dirinya pada Jundy, sosok yang dikagumi sejak lama. Dari Jundy dia belajar mengikhlaskan apa yang sudah menjadi takdirnya.
¥
Jay pulang setelah menginap sehari di rumah Jundi. Dia menguatkan hatinya terlebih dahulu sebelum melangkah masuk ke rumah. Dia tidak tahu apakah ibunya sudah berubah pikiran ataukah masih seperti kemarin. Jay juga tidak menghubungi Via kemana dia pergi. Dia takut akan diabaikan atau bahkan wanita itu tidak peduli. Istrinya sudah tidak peduli padanya. sekarang itu yang Jay takutkan.
"Assalamualaikum." Suara Jay memecah kesunyian, dia melangkah masuk dan tidak mendapati siapa pun di pagi itu. Jay langsung berjalan ke arah dapur untuk mengambil air.
"Waalaikumsalam, mau makan?" Entah darimana wanita itu sudah berada dihadapannya.
Jay menatap istrinya mengabaikan pertanyaan itu. Apakah aku benar-benar mencintainya? Apa hatiku sudah bergetar untuknya?
"Kak Jay ditanya, tuh, malah bengong." Via menyentak suaminya yang malah terlihat ingin menerkamnya. "Atau mau beli bubur? Via mau beli sekalian sama ibu."
"Beli bubur di mana? biar Kak Jay anter."
"Di mana aja, di tempat yang biasa kalau kata ibu."
"Oke deh biar jay anter. Kita makan di sana juga."
Bukan yang pertama kalinya, tetapi rasanya berbeda boncengan yang kerap kali terasa hampa, hati Via seakan-akan terasa penuh bukan berbunga, tetapi sesuatu yang lain, yang dia pun menjadi gusar di belakang punggung tegap Jay.
Mereka sampai tempat waktu di tempat biasa. ada sepasang muda-mudi juga di sana. Namun fokus Jay berhenti pada sosok wanita yang tengah menatap mereka. Via pun merasa tersentak dengan kehadiran yang tidak disengaja ini. Melihat Jay juga terkejut Via yakin kalau pertemuan ini memang tidak sengaja. Bukan karena Jay ingin mempertemukan mereka dan mempertanyakan kebenaran kejadian di hari itu.
"Via komplit?" tanya Jay yang berada di samping tukang bubur. Via bertaruh mereka tidak akan melontarkan sapa.
"Kok, kalian gitu sih udah lihat aku tapi enggak nyapa sama sekali."
"Cie ... udah baikan ya? Aku dengar Via keguguran?" ucap wanita yang tengah berhadap-hadapan.
"Tahu dari mana? Ah, Kak Jay cerita, ya?" dalih Via.
"Enggak! Aku enggak pernah cerita sama siapa pun tentang apa pun."
Wanita itu tersenyum. Jay yang memang introver pasti susah untuk menjalin persahabatan, apa lagi dengan lawan jenis. Jay lalu duduk di samping Via yang tengah memandang dua wanita di depannya.
"Kita pindah, Vi."

KAMU SEDANG MEMBACA
Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]
General Fiction"Katanya kalau kita hidup di pasar jodohnya bakal sama orang pasar juga, seperti penjual dan pembeli. Begitulah selintingan yang pernah kudengar, dan aku membuktikannya. Menggeluti dunia kepenulisan, bertemu dan banyak belajar dari laki-laki itu, ak...