Tajuk 3: Sebuah Pesan

58 21 0
                                    

"Via enggak denger, Nek." Via menatap heran pada neneknya. Perihal kata-kata yang dilontarkan Ria-sang nenek-yang sulit dipercaya.

"Dia main hp terus, sekalinya angkat bicara ngomongin yang enggak-enggak," jelas Ria. Membenahi piring-piring bekas penjamuan tadi.

Posisi Via yang bersandar pada dinding dapur, tepat menghadap Ria terkulai. Dia baru saja dilamar, acara tadi pun berjalan lancar. Namun, kini neneknya?

"Emang kamu enggak liat?" tanya Ria, membalik badan menatap cucunya. "Kamu juga enggak denger? Fokusmu ke mana sih, Nak?"

"Enggak, Nek. Aku fokus sama diriku sendiri. Ada laki-laki yang tiba-tiba ngajak nikah mana bisa tenang." Via ingin beranjak, tetapi langkah kakinya menjadi kaku karena kata-kata selanjutnya yang sangat jelas dia dengar.

"Cantik, awas matre! Itu kata kakaknya. Jay emang baik, ibunya juga." Nenek menarik napas dan mulai beralih mengambil lap berwarna putih kotak-kotak merah untuk pembersihan terakhir pada keramik tempat mereka memasak.

"Ngomong gitu?" Aku terpaku, percaya atau tidak pada kalimat yang terlontar.

"Dengar, Nak. Pernikahan itu bukan perihal dua jiwa saling bersatu atau hanya urusan selangkangan, bukan juga soal materi uang yang siap sedia untuk diberikan. Tapi mengenai penyatuan hubungan, dua keluarga bukan hanya dua kepala, Via."

Via mengangguk. Tentu, dia hapal betul tentang apa yang baru saja dijelaskan. Meski lulusan SMA, tetapi materi silaturahmi dan pernikahan banyak dia dapatkan. Dalam perkawinan, pasangan tidak hanya menjadi suami istri saja, mereka menjadi menantu, bibi, sepupu, dan lainnya yang terikat dengan pasangannya. Aku takut, tapi harus bagaimana? batin Via.

"Jangan takut, jalani!" Peralatan sudah tersimpan pada tempatnya masing-masing, Ria berjalan merapati cucunya. "Tidak ada yang perlu ditakuti, kita belum mengenal mereka. Begitu juga mereka, tidak tahu bagaimana sifat dan sikap kita. Nenek hanya mau, kamu berhati-hati dalam mengambil langkah dan keputusan. Ya?" tukasnya.

"Nek?" Netra Via menampilkan kaca-kaca sebening kristal. "Via takut."

Badan itu direngkuh Ria. Berusaha membagi ketakutan sang cucu agar bisa menerobos ke alam yang lebih indah, tidak tertinggal di masa lalu dan ... bahagia.

"Takdir bisa diubah, Nak. Nenek yakin, kamu juga harus lebih yakin!" Tangan Via memeluk erat tubuh yang sudah ringkih. Enam puluh tahun usianya, tetapi sedikit pun Via tak pernah membuat wanita ini bahagia.

¥


Suasana pagi disambut baik oleh keluarga yang sudah hadir, riuh-ramai. Rengrengan untuk kebaya keluarga, dekorasi rumah, dan kamar pengantin juga sudah tersedia. Alih-alih membantu memasang pernak-pernik yang ada, calon mempelai wanita masih meringkuk di ranjang kesayangannya.

Lima hari sudah terlewati dengan lelahnya hiruk-pikuk persiapan, mungkin itu yang dirasakan Via. Kepalanya pusing, maagnya kambuh, dan perut yang terasa sakit sekali sejak subuh tadi.

"Biasa, demam pengantin!" sahut ibu-ibu yang membantu keluarganya.

Via bangun dan hanya mengerucutkan bibir, tidak terlihat seksi, tetapi cukup menggemaskan. Ria memberikan obat, siapa tahu maagnya semakin menjadi seperti dulu, Via meminumnya tanpa ada bahasa yang keluar dari mulut.

Badmood! Ini enggak baik, batinnya menelusuri diri sendiri. Oh, tidak. Enggak-enggak, enggak boleh bete itu enggak boleh.

L_ Doco Coach_Jay is Calling....

Ada Apa Dengan Jay? [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang