Suara kegaduhan yang sedikit mengusik kelas sebelah dihasilkan oleh anak-anak kelas yang tidak bisa tertib di saat jam kosong. Banyak dari mereka yang mulai berteriak atau bernyanyi tidak jelas yang menyebabkan guru dari kelas sebelah yang tengah mengajar beberapa kali datang dan menegur. Tidak jarang pula, mereka kembali membuat kegaduhan sehingga sulit untuk dihentikan.
Di bangku ujung sana, salah satu siswa yang tampak tak berminat ricuh seperti teman-teman lainnya—tengah membaca materi yang diberikan sebelumnya oleh guru sejarah karena siang ini akan ada ulangan mingguan.
Kesya Adhiamita, anak sekelas tak ada yang memanggilnya Kesya ataupun Echa. Kebanyakan sering memberikan julukan-julukan aneh padanya yang sama sekali melenceng dari nama aslinya.
"Eh, gajah! Nanti pas ulangan lihat dong," seru salah seorang dari bangku depan yang kini melempar tatapan memohon pada Kesya. "Kita kongsi lah. Lo kan pinter, Jah. Gak boleh pelit loh sama temen sendiri, nanti kuburan lo sempit."
"Udah sempit lah! Lihat aja badannya segede gajah hamil, nanti diperluas aja sih liang lahatnya." Salah satu teman di sebelahnya berujar demikian membuat yang lain tertawa mendengar balasan yang sama sekali tidak lucu bagi Kesya.
"Maaf. Kalian belajar sendiri. Jangan terus terusan ngandelin aku," balas Kesya menutup bukunya.
Penolakan itu membuat mereka marah dan menghampiri meja Kesya. Salah seorang dari mereka menggebrak meja cukup keras, tatapannya menjadi kesal sekaligus emosi. Tidak terima jika Kesya—notabenya sumber contekan yang bisa diandalkan oleh kumpulan gadis-gadis tersebut menolak untuk dimintai kerja sama.
"Lo tuh ya—" Heshi, orang yang memintanya tadi menggengam tangan dan mempergakan tangan ingin melumat Kesya hidup-hidup. "Bisa gak sih, lo tuh gak usah sok di sini. Udah jelek, gak ada temen, sok banget lagi. Mending aja lo pinter bisa dimanfaatin. Seenggaknya ada kegunaan di sini daripada dijadiin sampah pajangan yang enek buat dilihat."
"Tapi aku yang udah belajar sungguh-sungguh buat ulangan, kenapa kalian enak banget cuman minta jawaban? Kalian memangnya gak belajar? Materi kemarin masih mudah loh diajarkan Pak Rahmat," balas Kesya.
"Emang kita peduli tuh guru ngejelasin gampang atau enggak? Kita cuman butuh nilai bagus!"
"Denger ya, jelek." Teman Heshi menepuk punggung Kesya cukup keras hingga terasa sakit. "Lo tuh bersyukurlah masuk ini kelas. Coba di kelas lain? Siapa yang mau nerima murid jelek, gendut, dan gak ada bakat kayak lo selain kita? Bersyukur aja deh!"
Rasanya Kesya mau tertawa sekaligus menangisi nasibnya setelah mendengar ucapan tersebut. Fakta yang selalu berhasil merobek perasaannya yang dia tahan selama ini. Benar, dia yakin kalau kela lain pasti tak ada yang mau menerima murid jelek, gendut, dan tidak ada bakat sama sekali kecuali kelebihan yang Kesya miliki hanyalah sebatas pintar dalam akademik.
Satu tahun, ternyata tak ada yang berubah daripada sekolah lamanya. Terasa sama; hambar dan pedih dalam satu waktu. Maka dari itu, Kesya selalu berdoa agar segera lulus dan menghindari orang-orang seperti ini dari kehidupan selanjutnya.
"Udah ya, jelek. Pikirin baik-baik aja perkataan gue tadi secara mateng. Enak loh. Nanti gue janji gak ejek lo, kok...." Heshi tersenyum, "tapi boong. Gak asik kalau gak manggil lu gajak atau jelek. Itu panggilan udah cocok banget buat lo."
Mata Kesya sudah panas ingin menangis namun dia masih harus tahan. Semakin dia menunjukan kelemahannya, semakin menjadi-jadi Heshi dan lainnya untuk menjadikannya bahan bual-bualan.
"Oke," final Kesya, "cuman kali ini aja. Aku mohon buat kalian kedepannya buat gak minta ini terus sama aku. Karena sama aja nanti kalian sia-sia belajar disini."
KAMU SEDANG MEMBACA
DIETARY
Teen FictionKesya, merasa selalu dibully karena memiliki tubuh gemuk dan wajah yang tidak cantik. Setiap hari, dia dijadikan objek lelucon yang tidak pantas mengenai tubuh gemuknya. Hal itu membuat dia bertekad akan melakukan diet lagi dengan bersungguh-sungguh...