Guru BK kembali memanggil Marsha ke ruangannya untuk membicarakan hal serius, membuat cewek tersebut memutar bola mata malas dan mendengus pelan sepanjang jalan. Ia sudah cukup malas selama seminggu mendekap di dalam rumah dan terus menerus diceramahi oleh orang tuanya akibat skorsing yang cukup menyiksa mental.
Tatapan ejekan dilempar ke arahnya sepanjang menuju ke ruang BK. Sialan, sekarang yang ada hanya rasa malu umyang harus ia tutupi mati-matian sampai hari kelulusannya. Anak-anak di sini sungguh kejam jika ada satu orang yang terkena skandal atau masalah besar sampai harus diskorsing.
Untung saja Marsha sudah sedikit bermuka tebal. Ia berbalik menatap datar orang-orang tersebut, terkadang ia juga bersikap galak jika mereka sudah membawa-bawa masalahnya lagi.
Pintu ruangan tidak ditutup memudahkannya leluasa masuk tanpa harus repot melebarkan pintu itu lagi. Bu Evie sudah duduk manis di salah satu sofa, di sampingnya ada Kesya yang juga sudah menunggu Marsha sedari tadi. Memang pertemuan keduanya audah direncanakan oleh sang guru.
Makin malas saja Marsha untuk mendekat. Ada orang yang sangat ia benci hadir di sana, matanya ia buang ke arah lain dan duduk di hadapan Bu Evie.
"Marsha, ada yang ingin ibu minta sama kamu," ucap Bu Evie dengan serius.
"Iya." Marsha merespons singkat.
"Kemarin— tepatnya minggu lalu, kamu belum meminta maaf kepada Kesya. Kamu langsung pergi dengan kedua orang tuamu dan tidak mengucapkan sepatah kata pun untuk mengucapkan kata 'maaf' kepada korban sesungguhnya," ujar Bu Evie.
Marsha langsung menyilangkan tangan di depan dadanya dengan cepat. "Lho, kenapa saya harus minta maaf ke dia? Yang jadi korban kan Julio. Dramatis amat harus minta maaf ke dia. Alay."
"Marsha! Jaga sikap kamu! Kamu terlalu sombong dan tidak bisa melihat kesalahanmu. Apa ibu perlu mengeluarkanmu dari sekolah ini supaya kamu bisa tahu kalau kesalahan lain yang dilakukan adalah membuat siswi lain dalam terancam bahaya? Kamu pikir ibu tidak tahu perihal alergi Kesya yang selalu kambuh? Ibu sudah meminta penjelasan dari teman kamu, Heshi, mengenai hal tersebut."
Emosinya Bu Evie masih bisa ditahan dengan baik. Setidaknya ia cukup sabar menghadapi berbagai karakter dan ulah anak-anak nakal yang pernah ia tangani selama empat tahun terakhir.
Tetapi, kali ini sudah seperti ia menghadapi seseorang yang sangat tidak bisa mengakui kesalahannya karena dibutakan oleh cinta. Masa pubertas memang masa mencari jari diri dan mencoba memahami perasaan diri terhadap lawan jenis. Sayangnya, cara Marsha sudah salah dari awal untuk memahami perasan Julio..
"Memang alay tapi kan? Saya juga gak sudi minta maaf kepada Kesya." Sekali lagi, Marsha menolak.
"Dengar. Kalau kamu tidak minta maaf, ibu akan memanggil orang tua kamu lagi dan juga orang tua Kesya. Dan kepala sekolah agar semua ini bisa clear dan memperbaiki sikapmu," ancam Bu Evie, bersiap dengan ponselnya untuk menghubungi kedua orang tua Marsha dan juga Kesya.
Setelah berpikir singkat, Marsha tidak mau sampai diskorsing lagi dan berurusan lebih dengan orang tuanya. Ia lelah mendapat tekanan mental dan jika ia tidak bersekolah, ia tak dapat bertemu Julio lagi.
"Ibu, tunggu!" Marsha mencegah Bu Evie menekan nomor sang papa. "Baik, saya mau minta maaf ... kepada Kesya."
"Bagus."
Marsha membuang napasnya dengan kasar. Ia melirik Kesya dengan tatapan tak bersahabat sama sekali, terpaksa ia melakukan ini hanya demi alasan-alasan tadi.
"Sya, aku minta maaf. Aku gak akan ulangi kesalahan ini lagi sama kamu maupun Julio," katanya secara kaku dan lidahnya merasa jijik menyebut dirinya dengan 'aku' ketimbang 'gue'.
KAMU SEDANG MEMBACA
DIETARY
Teen FictionKesya, merasa selalu dibully karena memiliki tubuh gemuk dan wajah yang tidak cantik. Setiap hari, dia dijadikan objek lelucon yang tidak pantas mengenai tubuh gemuknya. Hal itu membuat dia bertekad akan melakukan diet lagi dengan bersungguh-sungguh...