Prolog

155K 5.8K 33
                                    

Nih lapak berdebu, berserangga, bersarang laba-laba, bentar lg jd sarang burung jg kalik saking lamanya tidak disentuh. Jadi nih cerita sbnrnya udh d aplod di dreame, dulu masih takut gk bakal bisa lanjutin makanya nggak dipindah2 kesini. Saya tdk mau mengecewakan kalian lagi :( Karena di ms. word udah 27k word jadi diberani2 in aja. Btw ini agak dewasa ceritanya :D

***

"Selamat datang, Regan," ucap William.

Regan tersenyum, menatap sahabat sekaligus partner bisnisnya yang baru saja menikah.

"Maaf, aku tidak bisa datang di hari pernikahanmu."

"Tidak apa, aku tahu kau sibuk."

Regan baru bisa mengunjungi sahabatnya ini satu bulan setelah hari pernikahannya. Ia disibukkan dengan urusan bisnis di luar kota. Dengan pernikahan William, maka otomatis ia lebih sibuk karena partnernya itu harus cuti selama satu bulan lebih.

"Tenang saja, aku akan masuk kerja besok."

"Syukurlah. Aku pikir kau akan honeymoon selama setahun." Regan mengikuti William masuk. Rumah itu tampak lebih rapi dan lebih hidup dari biasanya. Meja yang biasanya penuh dengan koran dan majalah di atasnya, kini tampak bersih. Hanya ada pot kecil berisi tanaman di tengah meja. Lalu ada tanaman hijau di sudut ruangan. Dinding ruang tamu itu pun terdapat lukisan yang sebelumnya tidak ada.

"Istriku hanya mau honeymoon selama 3 minggu. Sekarang saja dia sudah bekerja, apa-apaan itu?"

Regan tertawa mendengar nada frustrasi William. Ia pernah sekali bertemu dengan istri William. Saat itu William dan Patricia masih berpacaran. Lalu beberapa bulan kemudian surat undangan mereka mendarat di mejanya.

"Jadi, untuk apa kau datang ke sini selain untuk mengucapkan selamat?"

William memang paling tahu mengenai dirinya. Regan tidak suka basa-basi. Bahkan dengan sahabatnya pun tidak ada bedanya.

"Jadi...." Regan baru mulai berbicara ketika terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Ia mendongak, melihat seorang gadis muda yang membawa ransel di punggungnya dan tersenyum canggung melihat mereka berdua.

"Maaf ... saya cuma mau lewat."

"Nat, sudah mau pergi?" tanya Will.

"Iya, Om. Taksinya sudah deket katanya."

Regan masih memperhatikan gadis yang sepertinya masih berusia 17 tahunan itu. Gadis cantik dengan rambut panjang terurai itu memakai jersey sebuah tim sepak bola dan celana jeans. Jersey yang pas di tubuhnya itu membuat lekuk tubuhnya terlihat jelas. Dari dadanya yang proporsional, hingga pinggangnya yang ramping.

"Nat, kenalkan dulu, ini Regan, temanku."

"Hai, Om, Saya Natalie," sapa Natalie, masih canggung dengan Regan yang baru dilihatnya.

"Regan, dia anak Patricia."

Regan mengalihkan tatapannya ke William, tak percaya dengan informasi itu. Dia tidak tahu Patricia sudah punya anak, apalagi sudah sebesar ini.

"Maaf, saya keluar dulu. Permisi." Natalie buru-buru pergi, melewati Regan yang masih tak mengatakan apa pun dan hanya memperhatikannya.

"Hati-hati di jalan, Nat."

"Baik, Om," jawab Natalie sebelum menutup pintu rumah itu kembali.

"Dia mau ke mana?" tanya Regan pada akhirnya.

"Pulang. Anak itu sudah punya rumah sendiri. Dibelikan ayahnya saat usianya 17 tahun. Dia tadi ke sini cuma buat ambil beberapa barang yang dibelikan Patricia kemarin."

Regan menyesal tidak pernah mendengarkan William jika sahabatnya itu cerita tentang Patricia. Ia jadi tidak tahu apa-apa tentang Natalie.

"Berapa usianya sekarang?"

William menatap curiga ke arah Regan. Jarang sekali Regan peduli dengan hal-hal seperti ini. Atau mungkin tidak pernah. Saat William cerita tentang Patricia pun reaksi Regan selalu 'oh' dan 'terus?'. Sejak kapan pula Regan peduli dengan yang namanya wanita? Sejak pertunangannya yang batal waktu itu, Regan seperti menutup mata dan hatinya dari makhluk yang bernama wanita. "Jangan bilang kau tertarik dengan anakku."

"Dia anak Patricia."

"Aku menikah dengan Patricia, ya jelas ... sekarang dia anakku," tukas William.

"Tinggal kau jawab saja berapa usianya."

William menggeleng. "Aku tidak akan memberitahumu apa pun tentang Natalie."

Dalam hati Regan mengumpat sahabatnya yang mempersulitnya itu. "Baiklah terserah kau. Jadi aku ke sini untuk membicarakan proyek baru kita."

Baby GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang