Enam

52.3K 2.9K 28
                                    

Natalie baru pulang dari kampus ketika hari menjelang malam. Ia mampir ke rumahnya dulu untuk mengambil beberapa buku sebelum pulang ke rumah ibunya. Natalie langsung panik ketika pintu rumahnya tidak terkunci. Ia sangat yakin dirinya tidak pernah lupa mengunci pintu.

Saat ia masuk ke dalam rumahnya, kondisinya tidak semengerikan yang ia pikir. Beberapa barang masih berada di tempatnya, tapi TV yang seharusnya ada di ruang tengah, sudah tidak ada. Pun dengan gitarnya yang biasanya hanya tergeletak di sana tidak terpakai, kini benda itu juga tidak ada di tempatnya. Natalie meneliti setiap benda di sekelilingnya.

Ia lalu mengecek kamarnya, teringat dengan beberapa benda berharga yang tersimpan di sana, dengan jantung yang berdetak kencang, Natalie menghampiri kamar yang pintunya sudah terbuka itu. Kondisi kamarnya tidak sebagus ruangan di depan. Kamarnya benar-benar berantakan dengan baju dan buku yang berserakan di lantai, tempat tidur yang sudah sedikit bergeser dari tempatnya dan lemari serta laci yang terbuka.

Natalie mengeluarkan ponselnya. Kakinya melangkah masuk ke dalam kamar, melihat apa saja yang hilang dan berusaha untuk tidak menyentuh apa pun. Dengan tangan yang sedikit bergetar ia menghubungi ayahnya. Satu kali panggilan, telepon itu masih belum diangkat hingga di panggilan ketiga barulah ia mendengar suara ayahnya.

"Halo, Honey."

"Pa, Papa di mana?" tanya Natalie dengan suara bergetar. Ia tidak ingin menangis, toh dirinya tidak apa-apa, di rumah ini juga tidak terlalu banyak benda berharga, tapi entah kenapa air matanya justru keluar tanpa permisi. Natalie menghapus air matanya, berusaha menahan tangisnya.

"Lagi di Jepang sama Sara. Kamu baik-baik saja, 'kan?"

Entah kenapa Natalie kesal mendengarnya. "Ya, baik." Ia mematikan sambungan itu begitu saja. Natalie kemudian menghubungi ibunya, tapi lagi-lagi ia kecewa karena yang ia dengar justru suara pemberitahuan bahwa nomor yang dihubungi sedang sibuk.

Jarinya terus menggulir kontak di ponselnya hingga berhenti di nama Regan. Tak perlu waktu lama untuk panggilannya diangkat.

"Om, lagi di mana?"

"Ada apa?" tanya Regan.

"Rumahku dirampok—"

"Aku akan segera ke sana. Kau baik-baik saja 'kan?"

"Iya."

"Jangan takut, oke?"

Natalie hanya menyambutnya dengan gumaman.

"Jangan matikan teleponnya, supaya kalau ada apa-apa aku bisa mendengarmu."

Natalie mengangguk. Ia lagi-lagi memperhatikan kondisi kamarnya dan air matanya kembali jatuh.

"Nat!"

Natalie baru sadar kalau ia belum menjawab ucapan Regan. "Iya," ucapnya pelan.

Sekitar 15 menit Natalie menunggu sambil mengecek setiap ruangan di rumahnya, akhirnya Regan datang. Pria itu langsung menemui Natalie yang tengah duduk di sofa. Menatap kosong pada dinding di depannya.

"TV-nya hilang," ujar Natalie pendek.

Regan duduk di samping Natalie. Tangannya mengelus rambut gadis itu. "Tidak apa, kita bisa beli lagi. Apa lagi yang hilang?" Regan sebisa mungkin mengontrol emosinya, meskipun rasanya dia ingin memeluk Natalie dan membawanya pergi dari tempat yang membuat gadisnya sedih ini.

"Cuma beberapa barang. Di rumah ini memang tidak banyak benda berharga."

"Sudah lapor polisi?"

Natalie lagi-lagi menggeleng.

Baby GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang