Tujuh Belas

42.8K 2.1K 21
                                    

"Hm ... aku setuju dengan usul temanmu."

"Aku tidak. Bagaimana kalau nanti pacar Om salah paham?"

"Aku tidak punya pacar, Nat."

"Yang waktu itu dibicarakan sama Mama?"

"Oh itu ... abaikan saja."

Natalie memicingkan matanya. "Sudah ditolak ya? Apa putus?"

Regan hanya bergumam, tak menjelaskan apa pun.

Natalie mendengus. Kenapa ditanya begitu saja tidak mau jawab? Jangan-jangan sudah ganti dengan yag lain.... Natalie menyandarkan punggungnya di sofa, matanya menatap langit-langit ruang tamu Regan. "Mana besok kuliah pagi. Mau bolos, tapi masa alasannya sangat tidak bermutu seperti ini."

"Ya sudah, besok aku antar."

"Tidak perlu."

"Perlu, aku kan kekasih barumu." Regan mengedipkan matanya, membuat Natalie tertawa.

"Serius, Om. Aku tidak mau menyeret nama siapa pun di sini. Lagian gosip murahan itu pasti akan hilang dengan sendirinya. Kalau nanti aku bertemu Arman, aku akan bicara dengannya."

"Aku tidak merasa diseret atau apa pun itu. Oh iya, di dekat sini ada festival musik. Kau mau ke sana?"

Natalie menggeleng. "Tidak. Aku mau malas-malasan saja."

"Asal jangan buka ponsel."

"Aku tahu. Aku juga malas membukanya."

Natalie menghabiskan waktunya sampai malam di apartemen Regan, dari mulai mengobrol hingga hanya bermalasan di sofa dan menyetel musik. Ia sama sekali tidak membuka ponselnya. Menikmati waktunya dengan Regan.

"Kau mau menginap atau—"

"Pulang. Nanti rumahku tidak ada yang menjaga kalau aku tidur di sini."

Regan mengangguk. Sebelum mengantar Natalie pulang, Regan mengajaknya makan malam di sebuah rooftop restaurant. Suasana temaram dan romantis di restoran itu membuat Natalie sedikit lucu berada di sana.

"Om, bukannya ngajak pacar ke sini, malah ngajak aku."

"Memangnya kenapa?"

"Nanti kalau aku salah paham bagaimana?" Natalie tertawa dengan candaannya sendiri.

"Aku tidak melarangmu untuk salah paham."

"Wah, aku tidak bisa membayangkan berapa wanita yang sudah terjebak dengan kata-kata itu."

"Kau pikir setiap malam aku membawa wanita berbeda ke sini?"

Natalie mengedikkan bahunya. "Bisa jadi," gumamnya tanpa mengalihkan perhatian dari pemandangan kota yang disuguhkan dari atas sini. Natalie sungguh tidak ingin membaca sikap Regan terlalu jauh. Ia takut kalau kenyataan akan membangunkannya dengan kejam. Meski perhatian dan perlakuan pria itu padanya selalu membuatnya berpikir kalau ia spesial bagi Regan.

***

Keesokan paginya, Regan sudah berada di rumah Natalie untuk mengantar gadis itu ke kampus. Ia sendiri juga sudah memakai pakaian kerja. Sehingga setelah mengantar Natalie ia akan langsung menuju kantornya. Meskipun nanti ia harus putar balik, tapi bukan masalah besar untuknya.

"Tadi aku penasaran, akhirnya buka HP. Rupanya temanku sudah menyebarkan cerita karangan itu."

"Terus?"

"Ya, aku mau minta maaf ke Om."

"Kau tidak salah apa pun kenapa minta maaf? Aku tidak keberatan dengan cerita yang dibuat temanmu. Yang penting semuanya kembali baik."

Regan mengelus rambut Natalie yang hari ini ia biarkan terurai. Baju hijau muda yang Natalie kenakan entah kenapa terlihat sangat cocok dengannya. Meski pakaian Natalie tidak terlalu terbuka, tapi Regan hampir tidak rela membiarkan gadisnya ini keluar rumah.

"Berasa jadi artis kan diomongin terus?"

Natalie menggulir chat yang masuk ke ponselnya. Ia sudah menyiapkan diri jika ada komentar negatif. Toh, memang selalu ada orang seperti itu di mana pun. Terbukti, ada beberapa pesan yang mengatakan kalau dirinya mau berpacaran dengan Regan karena hartanya. Natalie mengatakan hal itu pada Regan dan reaksinya justru tertawa.

"Rasanya kau belum meminta apa pun padaku. Kau mau apa, Nat?"

Natalie tidak menanggapi pertanyaan Regan. "Mana ... ada yang bilang Om semacam sugar daddy."

Tawa Regan semakin keras. "Aku suka julukan itu."

"Astaga, Om, aku tidak menyangka Om seperti itu." Natalie terus membaca chat yang sungguh tidak berfaedah itu. Beberapa ada yang masih mengatainya murahan dan kata-kata buruk lainnya, ada yang percaya saja dengan cerita Helena dan ada yang tidak peduli dengan hanya mengirim stiker.

Tak terasa, mereka sampai di kampus Natalie. Regan bertanya, "Mau turun di sini atau aku antar sampai ke dalam?"

"Sampai sini saja," jawab Natalie cepat. Natalie kira Regan tidak akan turun, nyatanya pria itu justru membukakan pintu untuknya.

Natalie tersenyum. "Terima kasih, Om."

"Gitu aja? Nggak mau cium pacarnya dulu?"

"Om ... jangan jail ah."

Regan memberi sebuah kecupan di pipi Natalie, membuat Natalie terdiam sejenak sebelum menggeram kesal lalu melihat ke sekeliling yang untung saja masih sepi.

"Aku masuk dulu," ujar Natalie.

"Iya, kalau ada apa-apa hubungi aku."

***

Natalie berjalan ke kelasnya dengan lancar. Hanya ada 1 2 orang yang tampak masih memerhatikannya. Sayangnya, saat tiba di kelas, suasana awkward itu masih ada, tapi Natalie mencoba untuk tak memedulikannya.

Vero dan Helena masuk ke dalam kelas dengan senyuman lebar. Apalagi Helena ia langsung duduk di samping Natalie dan berbisik, "Sudah kubilang ini akan berhasil."

"Iya, terima kasih."

"Tadi diantar pacarmu ya?" tanya Vero menggoda Natalie.

"Eh, iya. Dia maksa."

Hari itu, Natalie kembali menikmati harinya seperti biasa. Anehnya, ia tidak bertemu Arman hari itu. Helena pun mengatakan kalau Arman tidak bisa dihubungi apalagi ditemui.

Helena bahkan sudah bertanya pada teman-teman Arman, namun tak ada hasil, mereka tidak tahu di mana Arman.

"Aku sampai memakai ponsel kakakku untuk menghubungi Arman, tapi tetap saja tidak diangkat. Entah dia tahu kalau aku yang telepon atau ada hal lain."

Brea mengangguk-anggukan kepalanya. "Ya sudahlah, yang penting semua masalahnya sudah selesai."

"Sebenarnya belum selesai-selesai amat sih. Masih ada orang yang lebih percaya dengan gosip itu."

"Biar saja, kau juga sudah berusaha kan? Menuruti mereka bisa-bisa kita pusing sendiri."

Natalie menunduk, membalas pesan Regan yang menanyakan kabarnya.

"Aku sepertinya berbakat menjadi cenayang, bukan hanya pengarang cerita."

"Hah?"

"Kamu bilang kalian tidak memiliki hubungan apa pun. Tapi apa itu tadi, dia bahkan menanyakan kabarmu saat jam kerja. Vero tadi juga melihatmu diantar olehnya. Tidak ada hubungan apanya?"

Natalie mematikan ponselnya lalu memasukkannya ke dalam tas. "Kau mengintip?"

"Tidak. Aku adalah manusia sakti yang bisa tahu pesan seseorang. Jangan mengalihkan pembicaraan."

"Hm ... anggap saja dia temanku."

"Teman?"

Natalie mengangkat bahunya. "Terus mau apa? Dibilang teman Mama, tapi kayaknya aku lebih sering bersamanya."

"Kau tidak menyimpan perasaan apa pun padanya?"

"Kalau pun ada, aku juga sadar diri, perbedaannya terlalu banyak. Sudah ah, bentar lagi ada kelas 'kan?"

****


Baby GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang