Natalie berusaha sekuat tenaga untuk mendayung dan menggerakkan perahu yang dinaikinya. Sementara di belakangnya, terdengar suara tawa dari pria yang sepertinya hanya berniat menumpang dan menjadi beban di perahu ini. "Om, bantuin kenapa, dari tadi nggak jalan nih."
"Aku yakin kau bisa. Semangat."
"Ini bukan soal semangat. Tanganku pegal."
"Sini aku pijitin."
Natalie menoleh, menatap tajam pria yang masih dengan santainya duduk dan tak melakukan apa pun. Sisa tawa masih tampak dari wajah tampannya.
"Kalau nggak mau bantuin, aku ceburin nih."
"Iya, iya, lagian kamu tuh sudah bener kita jalan-jalan saja, malah mau naik sampan. Dipikir mudah? Itu juga ada speedboat, kenapa pilih ini? Dikasih mudah malah milih yang susah."
"Tapi kan ini pengalaman langka. Di foto juga lebih bagus tahu. Salah Om juga ngajakin aku ke sini."
Sampan itu bergerak begitu Regan mengayunkan dayungnya. Ia masih tidak habis pikir kenapa Natalie justru memilih susah begini. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Natalie yang mulai mengambil foto dan melupakan dayungnya. Cuma beberapa kali mengambil gambar dan Natalie sudah menyimpan ponselnya kembali.
Natalie tersenyum menikmati angin yang menerpa tubuhnya. Ia melepas topinya. Membiarkan rambutnya yang terurai sesekali diterpa oleh angin. Ini sudah menjelang sore, sehingga cuaca tidak begitu panas dan ia bisa menikmati pemandangan air laut dan hutan mangrove ini dengan tenang tanpa khawatir akan sinar matahari yang akan membakar kulitnya.
"Setelah ini aku mau bersepeda."
"Boleh."
Natalie tersenyum pada Regan. Entah ada angin apa, siang ini Regan menjemputnya dan mengajaknya jalan-jalan. Natalie tadinya malas keluar tapi sekarang ia justru bersyukur sudah menerima ajakan Regan.
Acara bersepeda itu batal karena Natalie berubah pikiran. Ia lebih tertarik untuk jalan-jalan santai di jembatan kayu yang panjang itu. Beberapa orang tampak melakukan hal yang sama bersama pasangan masing-masing. Natalie menatap Regan yang berjalan di sampingnya.
"Ada apa, Nat?"
"Ah, tidak, Om."
Natalie menghentikan langkahnya, meletakkan kedua tangannya di pagar pembatas jembatan kayu. Menunggu sunset. "Aku sudah tidak sabar."
"Setiap hari kau bisa melihat sunset, Nat."
"Om, jangan merusak kebahagiaan orang ya."
Regan justru terkekeh. "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya." Regan merangkul bahu Natalie. Gadis itu sempat menegang, namun beberapa saat kemudian tubuhnya kembali rileks. Natalie menyandarkan kepalanya di bahu Regan.
***
"Apa ini yang namanya candle light dinner?" Natalie menatap lilin kecil yang sudah digeser ke pinggir meja. Suasana di kafe itu memang temaram dengan pemandangan yang langsung menghadap ke laut.
"Bisa dibilang begitu."
Natalie tertawa. "Kita bahkan belum mandi dari siang, apalagi ganti baju dan Om sudah mengajakku ke tempat makan romantis ini. Om, nggak salah ngajak orang kan?" Natalie memerhatikan beberapa orang yang juga makan di tempat itu. Meski tidak penuh, tapi sebagian besar meja telah terisi. Wajar, dengan pemandangan seperti ini pasti banyak yang rela meluangkan waktu dan membayar lebih untuk ke sini.
"Sebenarnya tadi aku ingin mengajak William ke sini, tapi—"
"Aku harap Om bercanda."
"Memang. Aku juga tidak mau bersaing dengan ibumu."
Natalie tertawa. Mereka menikmati makan malam itu dengan suasana yang santai. Mengobrol dengan topik apa pun yang sekiranya menarik.
Jam masih menunjukkan pukul 8 malam saat Regan mengantar Natalie pulang. Sebenarnya masih banyak yang ingin dilakukannya, tapi Natalie bilang ia sudah lelah.
"Aku rasa, aku akan tidur setelah ini. Aku capek sekali padahal hanya jalan-jalan."
Regan mengantar Natalie hingga depan pintu. Ia mencium pipi Natalie, meski sejujurnya kalau bisa memilih ia ingin mencium bibir itu. Melumat bibir Natalie hingga mereka berdua kehabisan napas.
"Om...."
"Sana masuk. Katanya mau istirahat."
Natalie menggigit bibirnya, ia takut salah membaca sikap Regan, tapi jalan-jalan mereka hari ini lebih seperti kencan yang diakhiri dengan sebuah kecupan manis—
"Mikirin apa? Masih nggak rela nih ditinggal?"
Natalie mencebikkan bibirnya. "Dih ... ngarang." Saat menutup pintu, Natalie bisa mendengar suara tawa Regan. Ia menepuk-nepuk pipinya. "Jangan kepedean-jangan kepedean," gumamnya pada dirinya sendiri.
***
Kamar itu sudah gelap, pencahayaan hanya berasal dari lampu tidur yang temaram. Seorang gadis tampak tidur dengan lelap, dengan posisi terlentang. Selimutnya sudah turun hingga menampakkan kaki jenjangnya yang hanya terbalut celana pendek setengah paha. Baju tidurnya tersingkap hingga perut. Memperlihatkan kulit putihnya.
Suara pintu yang dibuka, tidak membangunkan gadis itu dari mimpinya. Tentu saja ia tidak mendengar langkah yang mendekat ke arah tempat tidurnya.
Saat seseorang menyentuh pahanya, gadis itu hanya bergerak sedikit tanpa membuka mata. Suara resleting yang terbuka pun tak mampu membangunkan gadis itu. Tanpa ia tahu, tangan seseorang sudah menyingkap bajunya hingga sampai dada. Sehingga dadanya yang tidak terbalut bra pun terlihat.
Kamar yang tadinya begitu sunyi kini sudah terdengar suara napas memburu dari seseorang. Orang itu menggigit bibirnya, menahan suara lain yang ingin keluar. Memang, kecil kemungkinan gadis itu bangun, tapi ia tidak ingin ketahuan ketika ia masih belum mendapat pelepasannya.
Di kepalanya terbayang, jika gadis itu membuka matanya sekarang dan melihat apa yang dia lakukan. Dia tidak membayangkan kemarahan gadis itu, justru yang terbayang adalah percikan nafsu di mata gadisnya yang selama ini begitu polos. Gadis itu tanpa perintah justru membuka kakinya. Memperlihatkan sesuatu yang belum pernah disentuh oleh pria selama ini.
Ya ... hanya dia yang boleh menyentuhnya. Gadis ini adalah miliknya.
Tangannya bergerak semakin cepat. Napasnya semakin memburu. Puncak itu datang dengan cepat dan keras. Matanya terpejam sesaat, tak kuasa menahan ledakan nafsu itu. Ia terengah dan kembali menatap gadisnya yang sedang tertidur. Jujur saja, dirinya tidak sabar untuk memiliki gadis itu sepenuhnya. Melepaskan benihnya di dalam kewanitaan gadis itu dan menciptakan kehidupan bersama.
Ia mengambil tisu yang berada di atas nakas, membersihkan tangannya. Ia kemudian duduk di kursi yang berada di sudut ruangan. Memejamkan mata sejenak, ia mengumpat dirinya sendiri yang seperti seorang bajingan. Ia tidak bisa mengendalikan nafsunya pada gadis itu. Tidak cukup hanya membayangkan tubuh Natalie, ia pun harus melihatnya secara langsung.
Berada di dekat Natalie, melihat senyumnya, menghabiskan waktu bersama, tentu saja membuatnya bahagia, tapi tak bisa dipungkiri kalau ia juga menginginkan tubuh Natalie. Sangat menginginkannya hingga ia rela mengendap-endap masuk ke dalam rumahnya. Hingga ia menentang akal sehatnya sendiri.
Cukup lama ia terdiam sambil menatap Natalie yang tengah tertidur. Sebelum pergi, ia mengecup kening Natalie. Langkahnya pelan keluar dari kamar itu, begitu pun saat ia menutup pintu, penuh kehati-hatian. Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari sehingga jalanan di depan rumah itu begitu sepi. Ia tidak terlalu khawatir meninggalkan gadisnya, karena beberapa hari yang lalu ia sudah memasang kamera di dalam hingga di luar rumah tanpa gadis itu ketahui.
****
See ya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Baby Girl
RomanceSelama ini, Regan pikir dirinya normal. Namun, ketika ia melihat gadis itu untuk pertama kalinya ... well, sepertinya dia tidak senormal itu. Menjadi penguntit sudah seperti rutinitas baginya, menyelinap ke kamar gadis itu adalah salah satu hal yang...