Delapan Belas

45.6K 2.3K 42
                                    

Suara tembakan terdengar bersahutan, Regan yang berdiri di belakang Natalie, tersenyum bangga melihat gadisnya itu beberapa kali mengenai sasaran dengan tepat. Tadinya, ia sedikit khawatir kalau Natalie justru akan takut ia ajak ke sini. Nyatanya, begitu tangannya memegang senjata, wanita yang selama ini terlihat feminin itu seolah berubah dengan cepat. Wajahnya tampak begitu serius, matanya fokus pada target dan posturnya pun sudah sempurna dengan tangan yang terlihat rileks memegang pistol.

Jelas, ini bukan pertama kalinya Natalie menembak. Regan jadi mengerti kenapa ayahnya sampai berani meletakkan pistol di rumah Natalie. Meski ia tahu, Natalie tidak memiliki izin kepemilikan senjata.

"Papa dulu hobi menembak. Karena sejak dulu aku penasaran jadi aku minta diajari," jelas Natalie begitu pelurunya sudah habis.

Kini giliran Regan. Entah kenapa Natalie tidak meragukan kemampuan pria itu. Dengan riffle besar di tangannya, Regan tampak begitu berbahaya. Namun, hal itu tidak membuat Natalie takut, ia justru terpana dan baru tersadar kalau ia terlalu memerhatikan wajah Regan ketika terdengar suara tembakan yang keras.

Saat tadi Regan menjemputnya, Natalie sama sekali tidak terbayang kalau mereka akan ke sini. Ia pikir Regan akan mengajaknya jalan-jalan ke pusat perbelanjaan atau ke suatu tempat yang lebih umum.

Sejujurnya, ia sudah lama tidak berlatih, saat tadi awal-awal pun dia masih kaku, namun setelah otaknya mengingat pelajaran yang ia dapat dari ayahnya, ia jadi begitu menikmatinya. Mungkin dia akan kembali ke sini lagi kalau ada waktu.

"Sekarang mau ke mana lagi?" tanya Natalie setelah Regan pun selesai dengan latihannya.

"Mau ke luar kota?"

Natalie mengangguk dengan semangat. "Boleh."

Meski hanya libur 2 hari, tapi jelas masih cukup untuk bersenang-senang. "Kita ke rumah dulu ya, ambil baju."

"Tidak perlu, nanti beli saja di sana," jawab Regan.

"Tapi...."

"Aku yang menyetir, aku yang memutuskan."

Natalie memutar matanya. "Arogan sekali."

Regan menyentuh dagu Natalie, memaksa Natalie untuk menatapnya. "Apa kau bilang, Nat?"

"Tidak ada. Ayo berangkat."

***

Hari sudah menjelang malam ketika mereka sampai di hotel yang dipesan secara mendadak oleh Natalie. Hampir 3 jam perjalanan mereka lalui dengan berbagai obrolan tidak penting. Ia sudah izin pada kedua orangtuanya. Ibunya mengizinkan namun dengan berbagai wejangan seperti harus pisah kamar, tidak boleh melakukan hal yang aneh-aneh dan sebagainya. Berbeda dengan ayahnya yang justru menanyakan kapan mereka jalan-jalan bersama.

Natalie langsung menuju kamarnya setelah check in. Begitu juga dengan Regan yang kamarnya berjarak beberapa nomor dengannya. Kamar tipe double room itu cukup luas dengan kasur king size di tengah ruangan. Di sudut ruangan terdapat sofa dan meja untuk bersantai. Tepat di samping sofa itu ada jendela kaca lebar yang menampilkan pemandangan jalan dan kota.

Natalie merebahkan tubuhnya sebentar di tempat tidur. Ia cukup lelah setelah perjalanan. Niatnya untuk beristirahat pun harus terhalang karena ia ingat tak membawa pakaian satu pun selain baju yang dipakainya saat ini.

Melawan rasa nyaman dan malasnya, Natalie akhirnya keluar dari kamar, menuju ke kamar Regan.

"Masa sudah kangen," ucap Regan saat membuka pintu untuk Natalie.

Natalie mencebikkan bibirnya. "Aku ke sini cuma mau bilang, aku ke bawah dulu, mau beli baju. Om, mau ikut apa nggak?"

"Ikut saja, sekalian kita cari makan." Regan mengambil kunci kamarnya lalu keluar bersama Natalie. Ia menggenggam tangan gadis itu. Tak ada protes apa pun dari Natalie. Hanya dari pantulan di dinding lift, Regan melihat Natalie beberapa kali menunduk, menatap genggaman tangan mereka.

Baby GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang