Tiga

63.6K 3.1K 89
                                    

Sejak ia keluar dari hotel tadi, Natalie merasa ada seseorang yang memerhatikannya. Namun sudah berkali-kali ia menoleh, tetap tak menemukan siapa pelakunya.

Akibatnya, meski ia berada di tempat yang ramai—dikelilingi oleh banyak orang yang juga sedang menikmati pemandangan di tempat wisata itu— ia tetap merasa tidak tenang.

Natalie hanya mengambil beberapa foto di danau yang terkenal itu lalu buru-buru kembali ke hotel. Anehnya, dari lobi hotel hingga ke kamarnya, ia tak lagi merasakan perasaan itu.

"Apa cuma perasaanku saja?" gumam Natalie ketika sampai di kamarnya. Ia meletakkan tasnya di atas nakas. Mengeluarkan ponsel dan kameranya lalu duduk di kasur. Ia mengecek beberapa foto yang ia ambil tadi. Di tengah kegiatannya itu, ponselnya berdering.

Natalie awalnya bingung melihat nama sang penelepon. Ia lalu ingat kalau Regan yang menambahkan nomornya sendiri waktu itu. Natalie mengangkat panggilan itu.

"Iya, Om, ada apa?"

"Halo, Nat, tidak ada apa-apa. Cuma mau memastikan kalau bajingan itu tidak mengganggumu lagi."

Natalie menggeleng, lupa kalau Regan tidak bisa melihatnya. "Eh, nggak kok, Om. Nico tidak mengganggu lagi. Apalagi sekarang aku tidak di rumah."

"Di mana?"

"Di hotel." Natalie berdiri dari duduknya, lalu menuju balkon kamarnya. Keheningan terjadi selama beberapa saat sehingga Natalie melihat ponselnya, memastikan kalau panggilan itu masih tersambung. "Om?"

"Iya, Nat?"

"Kenapa aku merasa ada yang mengikutiku ya?"

"Kau lihat orang yang mengikutimu?"

Lagi-lagi Natalie menggeleng, kemudian baru berkata, "Tidak. Apa mungkin hanya perasaanku?"

Regan menjawab pertanyaan itu dengan yakin, "Ya, hanya perasaanmu. Nanti cobalah untuk keluar lagi. Jika kau masih merasa diikuti, kau bisa menghubungiku."

Natalie tidak bertanya tentang bagaimana cara Regan membantunya hanya lewat sambungan telepon. Ia hanya berkata 'baik' lalu menutup panggilan itu karena Regan bilang dia ada urusan.

Natalie melihat ke bawah, ke arah kolam renang hotel yang tampak cukup ramai dengan anak-anak. Ia juga ingin menikmati liburannya, tidak terjebak di kamar hotel. Natalie menghela napas sebelum berbalik ke kamarnya dan kembali mengambil tasnya.

Mungkin benar kata Regan ... dia harus mencobanya lagi.

Menginjakkan kakinya di luar hotel, Natalie melihat ke kanan dan kiri, tidak ada yang mencurigakan, ia hanya melihat beberapa turis yang juga keluar dari hotel. Natalie berjalan di sepanjang trotoar, sengaja tidak menghentikan taksi agar dia bisa merasakan kalau ada yang mengikutinya. Namun, sudah lelah ia berjalan, perasaan diikuti dan diperhatikan itu tak ada lagi. Di belakangnya juga tidak ada orang. Hanya terdengar suara klakson yang bersahutan dan kendaraan yang lalu lalang.

Perasaan sialan, untung aku tidak mengikutimu.... batin Natalie yang merasa liburannya bisa hancur karena perasaan tidak jelas itu.

Natalie memutuskan untuk menghentikan taksi. Ia ingin menuju ke sebuah desa wisata yang tidak jauh dari hotelnya ini.

***

Regan menyalakan saklar di kamar itu. Seolah berada di kamarnya sendiri, ia membuka lemari pakaian yang berada di sudut kiri kamar itu. Matanya menatap dengan teliti semua pakaian yang ada di sana. Ia tidak menyentuhnya, hanya melihat deretan baju yang tertata rapi itu.

Regan berjongkok, membuka laci yang berada di bagian bawah lemari itu. Seperti dugaannya, di dalamnya terdapat sesuatu yang sangat pribadi untuk gadisnya. Sama seperti pakaian-pakaian di atas, deretan celana dalam dan bra itu tersusun rapi. Kali ini, Regan tak hanya melihat. Tangannya sudah tergerak untuk menyentuh benda itu.

Sebuah celana dalam berwarna merah sudah berada di tangannya. Regan bisa merasakan miliknya semakin mengeras membayangkan gadisnya memakai celana dalam itu.

Regan berdiri, melepas sendalnya sebelum membaringkan tubuhnya di kasur yang selama beberapa hari ini akan ditinggal pemiliknya. Regan masih bisa mencium aroma gadisnya di bantal dan kasur itu. Dengan rakus ia mencium aroma bunga yang samar itu.

Baru sehari Regan tak melihatnya, tapi ia sudah merindukannya. Ia merasa gila. Satu tangannya tanpa rasa bersalah mulai membuka resleting celananya. Membebaskan sesuatu yang sudah meminta dibebaskan semenjak mendengar suara gadisnya tadi.

Regan membawa celana dalam yang ia pegang ke wajahnya, menghirup aromanya dan sesekali mencium kain tipis itu. Sementara satu tangannya memegang kejantanannya. Ia benar-benar gila. Tidak terhitung sudah berapa kali sisi warasnya menentang apa yang dirasakannya ini, tapi dengan begitu mudahnya kewarasan itu hilang saat diterpa oleh bayangan wajah gadisnya di kepalanya.

"Natalie­...." Nama itu beberapa kali keluar dari mulutnya, bagai doa. Regan membuang segala kewarasannya, melemparkan dirinya dalam fantasi gelap. Ia membayangkan gadisnya di sini. Tangan lentiknya mengelus kejantanannya, bibir gadis itu menggumamkan namanya, mengatakan kalau dirinya adalah milik Regan.

Semakin lama, fantasi itu berubah menjadi gadisnya berada di atasnya. Dengan semangat menggerakkan tubuhnya untuk mengejar puncak. Keringat membasahi wajah dan tubuhnya. Bibirnya merah dan sedikit bengkak karena ciuman mereka. Bibir itu tak lelah menggumamkan nama Regan.

"Baby girl!" teriak Regan ketika ia mencapai puncak. "Fuck!"

Ia terengah. Hanya terdengar suara napasnya di kamar yang sepi itu. Butuh beberapa menit untuknya mengumpulkan kesadaran kembali. Saat ia menunduk, baru ia sadar, ia sudah mengotori pakaiannya sendiri.

Regan berjalan menuju kamar mandi. Membersihkan dirinya sebaik mungkin. Begitu keluar dari kamar mandi, ia menyimpan celana dalam tadi di saku celananya. Tidak lupa ia membereskan kembali tempat tidur itu sebelum pergi.

Selama beberapa hari ia tidak bisa bertemu dengan gadisnya karena setelah ini ia harus buru-buru ke bandara. Ada pekerjaan di luar kota yang tidak bisa ditinggalkannya.

****

Jangan kaget, Regan memang dibuat agak gila bgtu wkwk

See ya...


Baby GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang