1. Merhaba, Istanbul

272 32 10
                                    

Bosphorus, penghujung musim dingin 2018

Kupandangi seraut wajah beriris mata cokelat dengan alisnya yang tebal di layar ponsel. Sorot mata yang tajam, namun teduh seolah menjanjikan perlindungan. Aku tak pernah membayangkan sama sekali jika punya pacar atau suami berjambang seperti yang sedang kutatap ini. Mimpi pun tidak. Geli dan aneh saja rasanya.

"Pokoknya lo gak bakalan nyesel kalo udah ketemu dia." Dengan antusias Ayla mempromosikan lelaki yang akan dikenalkannya kepadaku. Kalau bukan karena dia, dan aku juga butuh teman baru, tak akan kusetujui rencananya itu. Tentunya harus melalui perizinan kakakku yang selalu dipersulit. Apalagi dengan lawan jenis, orang asing, sendirian pula. Aku harus bersedia mendengarkan ceramah panjang dulu dari Kak Fahri.

"Ah, terang aja karena dia masih saudara lo!"

"Gue berani taruhan, lo bakalan jatuh cinta sama dia."

"Gak semudah itu, Ndut!"

"Gue kasih tantangan buat lo kalo prediksi gue bener."

"Apaan? Traktir makan?"

"Nggak! Lo seneng liat badan gue tambah melar? Emmh ... gue tantang lo naik balon udara di Cappadocia!"

"Busyet, gila lo ya? Lo kan tau gue takut ketinggian!"

Kulempar sendal bulu kelinciku ke tubuh Ayla yang gempal. Ayla berlari meninggalkanku sambil tertawa.

Setiba di tanah Istanbul, aku tinggal bersama kakakku dan istrinya. Mereka sudah dua tahun hidup di pusat sejarah peradaban Islam di dunia ini. Kak Fahri memang bekerja sebagai pengajar bahasa Inggris di salah satu Primary School. Sebenarnya aku ingin kos, namun tentu saja kakakku tak mengizinkan. Ia khawatir bila aku jauh darinya.

***

Segera kurapikan pakaian dan hijabku setelah salat Magrib di Masjid  Örtakoy.  Tak kutemui mukena seperti biasa tersedia di masjid-masjid di Indonesia. Untung saja pakaianku cukup tertutup dan longgar. Aku tak mau telat. Sengaja kupilih masjid ini karena lokasinya tak jauh dari kafe tempat janjian bertemu. Kutinggalkan masjid tua peninggalan sejarah masa kejayaan Sultan Abdul Majid bernuansa pink itu. Tak banyak, hanya beberapa orang perempuan yang salat di shaf khusus perempuan saat itu. Bergegas menuju gerbang masjid, tak lupa kusempatkan berswafoto. Agenda wajib yang tak bisa kulewatkan begitu saja dalam perjalanan di negeri ini. Tanpa menyunting dulu, dengan penuh percaya diri segera kuunggah ke Instagram.

Tatapanku liar mencari sosok  yang akan menemui, sesuai dengan pesan  yang  kuterima dari WhatsApp tadi siang. Ciri-ciri fisik yang sudah digambarkan belum tertangkap pandanganku. Hmm, tampaknya ia belum datang.

Di kafe tepi laut yang lumayan ramai dikunjungi, aku duduk menghadap lautan. Panorama malam dengan semarak cahaya lampu dari Bosphorus Bridge, jembatan penghubung benua Asia dan Eropa yang membelah wilayah Turki itu sungguh menakjubkan. Belum pernah kunikmati pemandangan malam seindah ini.

Udara dingin dan angin pantai sesekali mengibaskan ujung hijab yang menerpa wajahku. Embusannya seperti menampar-nampar pipiku. Kunjunganku kali ini tepat di penghujung musim dingin, sehingga tubuhku sedikit menggigil diserta gigi menggemeletuk. Mantel tebal pun tak cukup membuatku merasa hangat. Aku belum terbiasa dengan perubahan cuaca di negeri orang. Untung saja langit İstanbul sudah tak lagi menurunkan butiran saljunya.
Segelas mungil çay, teh Turki beraroma khas berada dalam genggaman mengalirkan hangatnya ke tubuhku. Sepotong simit, roti berbentuk cincin besar kupesan sekadar pengganjal perut.

Merhaba, Aşkim! [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang